(Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA)
Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu
'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia
diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh
Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi
Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati.
Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat
manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta
tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap
orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding
ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan
dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk
menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka
mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu
Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa
dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut,
dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin
terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia
paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan.
Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal
yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu
akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung
mereka”.[1]
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah
dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh
(zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena
zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak
dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah
harta yang tidak suci”.[2]
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh
Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan
agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat
manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna
dengannya, yaitu uang kertas.
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda:
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas– hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. (Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “. (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %).
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang
penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat
menyimpulkan beberapa hal:
1. |
Nishab adalah batas
minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar
itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan
nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk
mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum.
Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia
tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat
dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu,
pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.
|
2. |
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3]
|
3. |
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4]
|
4. |
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%.
|
5. |
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5]
Dengan
demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas
18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni
(24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan
bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia
miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia
wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban
untuk membayar zakat.
|
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia
membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga
zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki
emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh
mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram.
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5
gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia
berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang
berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat,
bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak
dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam
bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima
zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima
dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka
lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6]
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan
perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja
ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu
tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya,
pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan
ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7]
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia
menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar
dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara
barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia
menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan
dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga
akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang
berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan
sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali
merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga
kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan
peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang
kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat
transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama
menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara
memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan
dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8]
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab
emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total
uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba
mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual
seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp.
25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 =
Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp.
14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1
Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang
tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang
tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka
pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total
zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,-
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan
nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang
beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak
Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita
mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang
pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan
tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama
menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak
boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban
membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,-
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang
dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya
(emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka
penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai
tersebut”.[9]
Catatan Penting Kedua.
Dari pemaparan singkat tentang nishab
zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai
ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah
satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa
nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau
sebaliknya.[10]
Berdasarkan pemaparan di atas, bila
seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan
asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang
tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5
%. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia
miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan,
jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,-
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang
mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila
seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia
diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya.
Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang
petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat,
maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar
dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban
zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan
seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan
zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama,
maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan.
Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
1. |
Zakat hasil pertanian
adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan
biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun
zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini
merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng.
|
2. |
Gaji diwujudkan dalam
bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat
emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar
nilai barang.
|
3.
|
Gaji bukanlah hal
baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus.
Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang
menunjukkan hal itu:
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”. (Riwayat Muslim)
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk
berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan
beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?”
Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”.
‘Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?”
Abu Bakar menjawab: “Subhanallâh, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?”
Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”. (Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi)
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini.
Sungguh, kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku. Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri)
Riwayat-riwayat
ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan
sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada
satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini
membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal,
yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah
berlalu satu haul (1 tahun).
|
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang
berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun
bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun,
bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11]
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah
diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas
dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas
dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang
tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai
yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu
sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan
uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk
menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu
tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga
tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib
pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12]
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat
membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar
menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.
[1] |
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305).
|
[2] |
Lihat Fathul-Bâri, 3/305.
|
[3] |
Penentuan nishab
emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram,
sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il,
18/130 dan 133).
|
[4] |
Penentuan nishab
perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih
al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa
Rasâ‘il, 18/141.
|
[5] |
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129.
|
[6] |
Lihat Majmu’ Fatâwâ
wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564.
|
[7] |
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96.
|
[8] |
Sebagaimana
ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah
Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16
Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173.
|
[9] |
Lihat Majmu’
Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881)
dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz
bin Bâz (14/125).
|
[10] |
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125.
|
[11] |
Maqalât
al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa
juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam
Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178.
|
[12] |
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360.
|