(Oleh: Ustadz DR. Muhammad Arifin Badri, MA) 
Segala puji hanya milik Allâh Ta'ala, shalawat dan 
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallâhu 
'Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya.
Harta benda beserta seluruh kenikmatan dunia 
diciptakan untuk kepentingan manusia, agar mereka bersyukur kepada Allâh
 Ta’ala dan rajin beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tatkala Nabi 
Ibrahim 'alaihissalam, meninggalkan putranya, Nabi Ismail 'alaihissalam di sekitar bangunan Ka’bah, beliau berdoa:
Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku  di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. 
 
Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat,  maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka  dan berilah mereka rizki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qs. Ibrâhîm/14:37)
Inilah hikmah diturunkannya rizki kepada umat 
manusia, sehingga bila mereka tidak bersyukur, maka seluruh harta 
tersebut akan berubah menjadi petaka dan siksa baginya.
…Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak  dan tidak menafkahkannya pada jalan Allâh,  maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. 
Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka:  “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri,  maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”. (Qs. at-Taubah/9:34-35)
Ibnu Katsir rahimahullâh berkata:
“Dinyatakan bahwa setiap 
orang yang mencintai sesuatu dan lebih mendahulukannya dibanding 
ketaatan kepada Allâh, niscaya ia akan disiksa dengannya. Dan 
dikarenakan orang-orang yang disebut pada ayat ini lebih suka untuk 
menimbun harta kekayaannya daripada mentaati keridhaan Allâh, maka 
mereka akan disiksa dengan harta kekayaannya. Sebagaimana halnya Abu 
Lahab, dengan dibantu oleh istrinya, ia tak henti-hentinya memusuhi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
 maka kelak pada hari kiamat, istrinya akan berbalik ikut serta menyiksa
 dirinya. Di leher istri Abu Lahab akan terikatkan tali dari sabut, 
dengannya ia mengumpulkan kayu-kayu bakar di neraka, lalu ia 
menimpakannya kepada Abu Lahab. Dengan cara ini, siksa Abu Lahab semakin
 terasa pedih, karena dilakukan oleh orang yang semasa hidupnya di dunia
 paling ia cintai. Demikianlah halnya para penimbun harta kekayaan. 
Harta kekayaan yang sangat ia cintai, kelak pada hari kiamat menjadi hal
 yang paling menyedihkannya. Di neraka Jahannam, harta kekayaannya itu 
akan dipanaskan, lalu digunakan untuk membakar dahi, perut, dan punggung
 mereka”.[1] 
Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullâh berkata:
“Dan hikmah 
dikembalikannya seluruh harta yang pernah ia miliki, padahal hak Allâh 
(zakat) yang wajib dikeluarkan hanyalah sebagiannya saja, ialah karena 
zakat yang harus dikeluarkan menyatu dengan seluruh harta dan tidak 
dapat dibedakan. Dan karena harta yang tidak dikeluarkan zakatnya adalah
 harta yang tidak suci”.[2] 
Singkat kata, zakat adalah persyaratan dari Allâh 
Ta’ala kepada orang-orang yang menerima karunia berupa harta kekayaan 
agar harta kekayaan tersebut menjadi halal baginya.
NISHAB ZAKAT EMAS DAN PERAK
Emas dan perak adalah harta kekayaan utama umat 
manusia. Dengannya, harta benda lainnya dinilai. Oleh karena itu, pada 
kesempatan ini saya akan membahas nishab keduanya dan harta yang semakna
 dengannya, yaitu uang kertas.
Dari Sahabat ‘Ali radhiyallâhu'anhu, ia meriwayatkan dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, Beliau bersabda: 
“Bila engkau memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat sebesar lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban membayar zakat sedikitpun –maksudnya zakat emas– hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Bila engkau telah memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu satu tahun (sejak memilikinya), maka padanya engkau dikenai zakat setengah dinar. Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”.  (Riwayat Abu Dawud, al-Baihaqi, dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni)
Dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallâhu'anhu, ia menuturkan: Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda: 
“Tidaklah ada kewajiban zakat pada uang perak yang kurang dari lima Uqiyah “. (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadits riwayat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu dinyatakan:
Dan pada perak, diwajibkan zakat sebesar seperdua puluh (2,5 %). 
(Riwayat al-Bukhâri)
Hadits-hadits di atas adalah sebagian dalil tentang 
penentuan nishab zakat emas dan perak, dan darinya, kita dapat 
menyimpulkan beberapa hal:
| 1. | 
Nishab adalah batas 
minimal dari harta zakat. Bila seseorang telah memiliki harta sebesar 
itu, maka ia wajib untuk mengeluarkan zakat. Dengan demikian, batasan 
nishab hanya diperlukan oleh orang yang hartanya sedikit, untuk 
mengetahui apakah dirinya telah berkewajiban membayar zakat atau belum. 
Adapun orang yang memiliki emas dan perak dalam jumlah besar, maka ia 
tidak lagi perlu untuk mengetahui batasan nishab, karena sudah dapat 
dipastikan bahwa ia telah berkewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, 
pada hadits riwayat Ali radhiyallâhu'anhu di atas, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyatakan: “Dan setiap kelebihan dari (nishab) itu, maka zakatnya disesuaikan dengan hitungan itu”. 
 | 
| 2. | 
Nishab emas, adalah 20 (dua puluh) dinar, atau seberat 91 3/7 gram emas.[3] 
 | 
| 3. | 
Nishab perak, yaitu sebanyak 5 (lima) ‘uqiyah, atau seberat 595 gram.[4] 
 | 
| 4. | 
Kadar zakat yang harus dikeluarkan dari emas dan perak bila telah mencapai nishab adalah atau 2,5%. 
 | 
| 5. | 
Perlu diingat, bahwa yang dijadikan batasan nishab emas dan perak tersebut, ialah emas dan perak murni (24 karat).[5] 
 
Dengan
 demikian, bila seseorang memiliki emas yang tidak murni, misalnya emas 
18 karat, maka nishabnya harus disesuaikan dengan nishab emas yang murni
 (24 karat), yaitu dengan cara membandingkan harga jualnya, atau dengan 
bertanya kepada toko emas, atau ahli emas, tentang kadar emas yang ia 
miliki. Bila kadar emas yang ia miliki telah mencapai nishab, maka ia 
wajib membayar zakatnya, dan bila belum, maka ia belum berkewajiban 
untuk membayar zakat. 
 | 
 
Orang yang hendak membayar zakat emas atau perak yang ia miliki, dibolehkan untuk memilih satu dari dua cara berikut.
Cara pertama, membeli emas atau perak sebesar zakat yang harus ia bayarkan, lalu memberikannya langsung kepada yang berhak menerimanya.
Cara kedua, ia 
membayarnya dengan uang kertas yang berlaku di negerinya sejumlah harga 
zakat (emas atau perak) yang harus ia bayarkan pada saat itu.
Sebagai contoh, bila seseorang memiliki 
emas seberat 100 gram dan telah berlalu satu haul, maka ia boleh 
mengeluarkan zakatnya dalam bentuk perhiasan emas seberat 2,5 gram. 
Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk mengeluarkan uang seharga emas 2,5 
gram tersebut. Bila harga emas di pasaran Rp. 200.000, maka, ia 
berkewajiban untuk membayarkan uang sejumlah Rp. 500.000,- kepada yang 
berhak menerima zakat.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin rahimahullâh berkata:
“Aku berpendapat, 
bahwa tidak mengapa bagi seseorang membayarkan zakat emas dan perak 
dalam bentuk uang seharga zakatnya. Ia tidak harus mengeluarkannya dalam
 bentuk emas. Yang demikian itu, lebih bermanfaat bagi para penerima 
zakat. Biasanya, orang fakir, bila engkau beri pilihan antara menerima 
dalam bentuk kalung emas atau menerimanya dalam bentuk uang, mereka 
lebih memilih uang, karena itu lebih berguna baginya.”[6] 
Catatan Penting Pertama.
Perlu diingat, bahwa harga emas dan 
perak di pasaran setiap saat mengalami perubahan, sehingga bisa saja 
ketika membeli, tiap 1 gram seharga Rp 100.000,- dan ketika berlalu satu
 tahun, harga emas telah berubah menjadi Rp. 200.000,- Atau sebaliknya, 
pada saat beli, 1 gram emas harganya sebesar Rp. 200.000,- sedangkan 
ketika jatuh tempo bayar zakat, harganya turun menjadi Rp. 100.000,-
Pada kejadian semacam ini, yang menjadi pedoman dalam pembayaran zakat adalah harga pada saat membayar zakat, bukan harga pada saat membeli.[7] 
NISHAB ZAKAT UANG KERTAS
Pada zaman dahulu, umat manusia 
menggunakan berbagai cara untuk bertransaksi dan bertukar barang, agar 
dapat memenuhi kebutuhannya. Pada awalnya, kebanyakan menggunakan cara 
barter, yaitu tukar-menukar barang. Akan tetapi, tatkala manusia 
menyadari bahwa cara ini kurang praktis - terlebih bila membutuhkan 
dalam jumlah besar maka manusia berupaya mencari alternatif lain. Hingga
 akhirnya, manusia mendapatkan bahwa emas dan perak sebagai barang 
berharga yang dapat dijadikan sebagai alat transaksi antar manusia, dan 
sebagai alat untuk mengukur nilai suatu barang.
Dalam perjalanannya, manusia kembali 
merasakan adanya berbagai kendala dengan uang emas dan perak, sehingga 
kembali berpikir untuk mencari barang lain yang dapat menggantikan 
peranan uang emas dan perak itu. Hingga pada akhirnya ditemukanlah uang 
kertas. Dari sini, mulailah uang kertas tersebut digunakan sebagai alat 
transaksi dan pengukur nilai barang, menggantikan uang dinar dan dirham.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama 
menyatakan bahwa uang kertas yang diberlakukan oleh suatu negara 
memiliki peranan dan hukum, seperti halnya yang dimiliki uang dinar dan 
dirham. Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum riba dan zakat.[8] 
Bila demikian halnya, maka bila seseorang memiliki uang kertas yang mencapai harga nishab
 emas atau perak, ia wajib mengeluarkan zakatnya, yaitu 2,5% dari total 
uang yang ia miliki. Dan untuk lebih jelasnya, maka saya akan mencoba 
mejelaskan hal ini dengan contoh berikut.
Misalnya satu gram emas 24 karat di pasaran dijual 
seharga Rp.200.000,- sedangkan 1 gram perak murni dijual seharga Rp. 
25.000,- Dengan demikian, nishab zakat emas adalah 91 3/7 x Rp. 200.000 =
 Rp. 18.285.715,- sedangkan nishab perak adalah 595 x Rp 25.000 = Rp. 
14.875.000,-.
Apabila pak Ahmad (misalnya), pada tanggal 1 
Jumadits-Tsani 1428 H memiliki uang sebesar Rp. 50.000.000,- lalu uang 
tersebut ia tabung dan selama satu tahun (sekarang tahun 1429H) uang 
tersebut tidak pernah berkurang dari batas minimal nishab di atas, maka 
pada saat ini pak Ahmad telah berkewajiban membayar zakat malnya. Total 
zakat mal yang harus ia bayarkan ialah:
Rp. 50.000.000 x 2,5 % = Rp 1.250.000,- 
 
(atau Rp. 50.000.000 dibagi 40)
Pada kasus pak Ahmad di atas, batasan 
nishab emas ataupun perak, sama sekali tidak diperhatikan, karena uang 
beliau jelas-jelas melebihi nishab keduanya. Akan tetapi, bila uang pak 
Ahmad berjumlah Rp. 16.000.000,- maka pada saat inilah kita 
mempertimbangkan batas nishab emas dan perak. Pada kasus kedua ini, uang
 pak Ahmad telah mencapai nishab perak, yaitu Rp. 14.875.000,- akan 
tetapi belum mancapai nishab emas yaitu Rp 18.285.715.
Pada kasus semacam ini, para ulama 
menyatakan bahwa pak Ahmad wajib menggunakan nishab perak, dan tidak 
boleh menggunakan nishab emas. Dengan demikian, pak Ahmad berkewajiban 
membayar zakat mal sebesar :
Rp. 16.000.000 x 2,5 % = Rp. 400.000,- 
 
(atau Rp. 16.000.000,- dibagi 40)
Komisi Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dibawah kepemimpinan Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz rahimahullâh pada keputusannya no. 1881 menyatakan:
“Bila uang kertas yang 
dimiliki seseorang telah mencapai batas nishab salah satu dari keduanya 
(emas atau perak), dan belum mencapai batas nishab yang lainnya, maka 
penghitungan zakatnya wajib didasarkan kepada nishab yang telah dicapai 
tersebut”.[9] 
Catatan Penting Kedua. 
Dari pemaparan singkat tentang nishab 
zakat uang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nishab dan berbagai 
ketentuan tentang zakat uang adalah mengikuti nishab dan ketentuan salah
 satu dari emas atau perak. Oleh karena itu, para ulama menyatakan bahwa
 nishab emas atau nishab perak dapat disempurnakan dengan uang atau 
sebaliknya.[10] 
Berdasarkan pemaparan di atas, bila 
seseorang memiliki emas seberat 50 gram seharga Rp. 10.000.000, (dengan 
asumsi harga 1 gram emas adalah Rp. 200.000,-) dan ia juga memiliki uang
 tunai sebesar Rp. 13.000.000, maka ia berkewajiban membayar zakat 2,5 
%. Dalam hal ini walaupun masing-masing dari emas dan uang tunai yang ia
 miliki belum mencapai nishab, akan tetapi ketika keduanya digabungkan, 
jumlahnya (Rp. 23.000.000,-) mencapai nishab.
Dengan demikian orang tersebut berkewajiban membayar zakat sebesar Rp. 575.000,- berdasarkan perhitungan sebagai berikut:
(Rp 10.000.000,- + Rp. 13.000.000,-) x 2,5 % = Rp. 575.000,- 
 
(atau Rp. 23.000.000,- dibagi 40)
ZAKAT PROFESI 
Pada zaman sekarang ini, sebagian orang 
mengadakan zakat baru yang disebut dengan zakat profesi, yaitu bila 
seorang pegawai negeri atau perusahaan yang memiliki gaji besar, maka ia
 diwajibkan untuk mengeluarkan 2,5 % dari gaji atau penghasilannya. 
Orang-orang yang menyerukan zakat jenis ini beralasan, bila seorang 
petani yang dengan susah payah bercocok tanam harus mengeluarkan zakat, 
maka seorang pegawai yang kerjanya lebih ringan dan hasilnya lebih besar
 dari hasil panen petani, tentunya lebih layak untuk dikenai kewajiban 
zakat. Berdasarkan qiyas ini, para penyeru zakat profesi mewajibkan 
seorang pegawai untuk mengeluarkan 2,5 % dari gajinya dengan sebutan 
zakat profesi.
Bila pendapat ini dikaji dengan seksama,
 maka kita akan mendapatkan banyak kejanggalan dan penyelewengan. 
Berikut secara sekilas bukti kejanggalan dan penyelewengan tersebut:
| 1. | 
Zakat hasil pertanian
 adalah (seper-sepuluh) hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan 
biaya, dan (seper-duapuluh) bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun 
zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 % sehingga Qiyas semacam ini 
merupakan Qiyas yang sangat aneh (ganjil) dan menyeleweng. 
 | 
| 2. | 
Gaji diwujudkan dalam
 bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila dihukumi dengan hukum zakat 
emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli dan standar 
nilai barang. 
 | 
3. 
 
 
  | 
Gaji bukanlah hal 
baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus. 
Keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa bukti yang 
menunjukkan hal itu: 
 
Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu
 pernah menjalankan suatu tugas dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi 
Wasallam. Lalu ia pun diberi upah oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi 
Wasallam. Pada awalnya, Sahabat ‘Umar radhiyallâhu'anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah”. (Riwayat Muslim) 
 
Seusai Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu
 dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk 
berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan 
beliau berjumpa dengan ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallâhu'anhu, maka ‘Umar pun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” 
 
Abu Bakar menjawab: “Ke pasar”. 
 
‘Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukanmu?” 
 
Abu Bakar menjawab: “Subhanallâh, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” 
 
Umar pun menjawab: “Kita akan memberimu secukupmu”. (Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dan al-Baihaqi) 
 
Imam al-Bukhâri juga meriwayatkan pengakuan Sahabat Abu Bakar radhiyallâhu'anhu tentang hal ini. 
Sungguh, kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku.  Sedangkan sekarang aku disibukkan oleh urusan kaum muslimin,  maka sekarang keluarga Abu Bakar  akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul-mâl),  sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka. (Riwayat Bukhâri) 
 
 
Riwayat-riwayat
 ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan 
sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada 
satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini 
membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, 
yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah
 berlalu satu haul (1 tahun).
  
 
 | 
 
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang 
berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu 
satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun 
bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, 
bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.[11] 
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah 
diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas
 dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas 
dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang 
tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai 
yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu 
sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan 
uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk 
menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu
 tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga 
tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib 
pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.[12] 
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berikut:
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat 
membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar 
menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.

 
| [1] | 
Tafsir Ibnu Katsir (2/351-352). Hal semakna juga diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni dalam kitabnya, Fathul-Bâri (3/305). 
 | 
| [2] | 
Lihat Fathul-Bâri, 3/305. 
 | 
| [3] | 
Penentuan nishab 
emas dengan 91 3/7 gram, berdasarkan keputusan Komisi Tetap Fatwa 
Kerajaan Saudi Arabia no. 5522. Adapun Syaikh Muhammad bin Shâlih 
al-’Utsaimin menyatakan, bahwa nishab zakat emas adalah 85 gram, 
sebagaimana beliau tegaskan dalam bukunya, Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 
18/130 dan 133). 
 | 
| [4] | 
Penentuan nishab 
perak dengan 595 gram, berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih
 al-’Utsaimin pada berbagai kitab beliau, di antaranya Majmu’ Fatâwâ wa 
Rasâ‘il, 18/141. 
 | 
| [5] | 
Lihat Subulus-Salâm, ash-Shan’ani, 2/129. 
 | 
| [6] | 
Lihat Majmu’ Fatâwâ
 wa Rasâ‘il 18/155. Demikian juga difatwakan oleh Komisi Tetap Fatwa 
Kerajaan Saudi Arabia pada fatwanya no. 9564. 
 | 
| [7] | 
Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ‘il, 18/96. 
 | 
| [8] | 
Sebagaimana 
ditegaskan pada keputusan konferensi Komisi Fiqih Islam di bawah 
Rabithah ‘Alam al-Islami, no. 6, pada rapatnya ke 5, tanggal 8 s/d 16 
Rabiul-Akhir, Tahun 1402 H. Dan juga pada keputusan Komisi Tetap Fatwa 
Kerajaan Saudi Arabia no. 1881, 1728, dan difatwakan oleh Syaikh 
Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatâwâ wa Rasâ`il, 18/173. 
 | 
| [9] | 
Lihat Majmu’ 
Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (9/254 fatwa no. 1881) 
dan Majmu’ Fatâwâ wa Maqalât al-Mutanawwi‘ah oleh Syaikh ‘Abdul-’Aziz 
bin Bâz (14/125). 
 | 
| [10] | 
Lihat Maqalaat a- Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/125. 
 | 
| [11] | 
Maqalât 
al-Mutanawwi’ah, Syaikh ‘Abdul-’Aziz bin Bâz, 14/134. Pendapat serupa 
juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam 
Majmu’ Fatâwâ wa ar-Rasâ`il, 18/178. 
 | 
| [12] | 
Majmu’ Fatâwâ, Komisi Tetap Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, 9/281 fatwa no. 1360. 
 |