Masa Pra sejarah menurut Prof. H.
Idris Jakfar, SH di Alam Kerinci (Seri Sejarah Kerinci I, hal. 69) dimulai
sejak permulaan adanya manusia sampai ditemukan adanya keterangan tertulis
tentang kehidupan “Kecik Wok Gedang Wok.
Manusia” tertua ini diperkirakan telah
ada di alam Kerinci sejak 35.000 SM. Akan
tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Anthony J. Whitten (1973) di Goa
Tiangko yang berada di wilayah Kecamatan
Sungai Manau Kabupaten Merangin (wilayah ini dahulunya termasuk dalam wilayah
Kerinci rendah, pen) dari hasil temuan ini dipastikan manusia Kecik Wok Gedang
Wok telah ada di Alam Kerinci sejak
10.000 SM.
Penulis pada tahun 1986/1987 bersama peneliti sejarah dari Aucland DR. Barbara
Waltson Andaya telah mengunjungi situs purbakala yang ada di alam Kerinci
termasuk mendamipingi DR. Barbara Waltson Andaya melakukan penelitian Suku
Batin di wilayah Kecamatan Limun dan
Sarolangun. Terakhir pada Agustus 2011, penulis kembali melakukan perjalanan ke
pemukiman manusia purba di Goa Tiangko dan lokasi Taman Bumi (Geo Park) di sepanjang Sungai
Batang Merangin. Perjalanan menggunakan motor perahu tempek ukuran kecil
dimulai dari Desa Biuku Tanjung hingga ke Teluk Wang Kecamatan Bangko Barat Kabupaten Merangin.
Di wilayah Kerinci rendah
khususnya di Kabupaten Merangin
yang berada di lokasi kawasan, Kecamatan
Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Bangko Barat, Muara Siau, Kecamatan Lembah
Masurai, Kecamatan Jangkat hingga
kawasan Lubuk Gaung, Nalo Tantan
dan Ngaol banyak ditemukan tinggalan
kebudayaan prasejarah yang nyaris hampir sama dengan tinggalan kebudayaan
zaman prasejarah yang berada di
kawasan Kerinci Tinggi (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai
Penuh) Hasil penelitian peneliti dari luar negeri dan penelitian yang dilakukan
oleh Prof. H. Idris Jakfar, SH
mengungkapkan bahwa di kawasan Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi terdapat kawasan pemukiman manusia purba
“Kecik Wok Gedang Wok”. Umumnya lokasi gua gua tempat pemukiman manusia purba
itu berada daerah sulit dijangkau, lokasi banyak cerukan dan kondisi gua gua
batu itu merupakan batu Stalagnit dan Stalagtit.
Di gua Tiangko misalnya terdapat puluhan pintu pintu
berupa gua gua bertingkat dan dipintu
masuk terdapat ruangan yang cukup besar, dibelakang gua terdapat celah tempat
sinar matahari memasukkan cahayanya. Kondisi
gua dari luar terlihat tertutup, setelah
gua dimasuki diatas sebuah bukit kecil tampak suasana gua yang menakjubkan, pengunjung
dapat memasuki lorong lorong gua yang berliku, dikedalaman gua kondisi agak gelap karena cahaya sinar matahari tidak dapat menembus gua batu Tiangko.
Pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Nomor 90 Tahun 1919 telah menetapkan gua gua yang berada di kawasan
Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah
sebagai Cagar Alam Budaya. Goa goa yang dijadikan sebagai kawasan cagar alam
budaya itu adalah Goa Tiangko, Goa Sengering, Goa Keruh, Goa Mesjid, Goa
Terentak, Goa Pancur, Goa Tali, Goa Senamat,Goa Putih, Goa Batu, Goa Sungai
Batang. Goa goa lain yang diperkirakan
pernah menjadi kediaman manusia “Gedang Wok Kecik Wok” adalah Gua Kasah,Gua
Kapeh,Gua Kelelawar, Gua Tiang Bungkuk, Gua Sengayau, Gua Batu Kuning, sejumlah
gua gua di daerah Ex. Marga Serampas dan Ex. Marga Sungai Tenang, Muara Siau dan di wilayah Lembah Masurai, wilayah ini dikenal sebagai daerah yang
kaya dengan Flora dan Fauna yang dikonsumsi oleh Manusia Purba ”Gedang Wok
Kecik Wok”.
DR. Barbara Waltson Andaya
dalam diskusinya dengan penulis (1986/1987) mengemukan manusia purba
yang mendiami lembah alam Kerinci merupakan mayarakat nomaden yang
menggantungkan hidupnya pada hasil alam
dan hewan buruan, mereka hidup dalam
kelompok kelompok kecil, sebelum memilih
tinggal di dalam gua gua batu, manusia purba ini tinggal sementara di di dalam ceruk pangkal kayu yang besar/bane kayu
(Lubang kayu).
Sepintas pola kehidupan manusia
purba penunggu lembah alam Kerinci
memiliki banyak kesamaan dengan pola kehidupan manusia suku pedalaman
Jambi/suku anak dalam yang hidup nomaden, meramu dan melakukan kegiatan berburu, pendapat penulis
besar kemungkinan suku anak
dalam yang ada dalam kawasan Taman
Nasional Buki Dua Belas, Bukit 30 dan sebagian besar suku anak dalam di
wilayah Hitam Ulu, hingga Senamat, Pelepat dan Tebo di duga merupakan sisa sisa
manusia purba di lembah alam Kerinci yang masih tersisa.karena terdesak oleh
perkembangan zaman mereka mengasingkan diri ke hutan Belantara di Pedalaman
Jambi yang saat itu sangat sulit untuk dijangkau. Kesamaan
yang terlihat jelas antara manusia purba dengan suku anak dalam
adalah hidup nomaden, dulu orang kubu juga tinggal di ”Bane kayu”, kehidupan
mereka sama sama tergantung dari alam
dan hasil kegiatan berburu, suku kubu tradisional/tidak berpakaian lengkap, dan pola hidup dan pola pengolahan untuk dikonsumsi masih sangat
sederhana.
Sistim kemasyarakatan dan pola
kehidupan mereka yang masih
sungguh sangat sederhana, maka para ilmuawan sepakat
bahwa manusia Kecik Wok Gedang
Wok adalah manusia pertama yang hidup pada zaman batu tua (Paleolitikum). Manusia ”Kecik Wok Gedang Wok” telah mengenal api, hasil
penelitian ahli sejarah pada sejumlah gua gua yang dilakukan penelitian
terdapat bekas tempat unggun api, mereka membuat unggun api untuk
memanaskan ruangan gua pada malam hari.
Dari pengamatan penulis dilapangan dan
dan wawancara dengan budayawan
alam Kerinci Iskandar Zakaria (70 Tahun) 06 -
07 Agustus 2010 serta pendataan yang dilakukan bidang
sejarah dan kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi
Jambi, di sebutkan nenek moyang orang
suku Kerinci pada masa lalu menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, mereka
sangat mempercayai kekuatan benda dan kekuataan roh. Benda benda itu mereka
yakini memiliki “Steih” semangat,
mereka sangat meyakini bahwa para nenek moyang yang telah meninggal dunia
rohnya tetap hidup dan abadi, roh roh ini mereka yakini masih hidup menetap
pada batu batu besar, pohon pohon besar,gunung, mereka sangat memuja
arwah/roh para leluhur, ketergantungan terhadap roh roh nenek moyang sangat mereka andalkan, mereka
memuja dan meminta perlindungan, keselamatan dan meminta rezeki kepada para roh
roh nenek moyang mereka, Dan sisa sisa peninggalan purba sampai saat ini masih dapat di lihat
di alam Kerinci, namun sisa sisa tersebut telah berubah dalam bentuk kebudayaan
yang dikemas untuk sebuah pertunjukkan seni.
Walau masa kuno telah belalu,akan tetapi peninggalan kebudayaan nenek
moyang sampai saat ini sisa sisa peninggalan
masih dapat kita temui pada sejumlah situs sistus peninggalan batu
tua,batu tengah,maupun zaman batu baru, untuk mengenal lebih dekat peninggalan
peninggalan masa lampau, penulis akan menampilkan sejumlah peninggalan nenek
moyang suku kerinci yang mendiami Alam Kerinci:
1. Situs Batu Silindrik Kumun Mudik
Situs
Kumun mudik terletak di Dusun Kumun mudik, Desa Ulu Air, Kota Sungai
Penuh, Propinsi Jambi yang secara
astronomis berada pada koordinat 02º06’12.97” LS dan 101º22’42.16” BT.
Tinggalan megalitik yang terdapat di situs ini berupa batu silindrik yang
berbentuk bulat memanjang dan pada bagian ujungnya dipangkas sehingga
menyerupai bentuk gendang. Batu silindrik ini berukuran 2,05 x 0,7 x 0,85 m.
Seluruh bagian permukaannya, kecuali bagian bawah, dihias pahatan berbentuk
tonjolan.
2. Situs Kompleks Menhir
Pendung Mudik
Situs
Pendung mudik terletak di Dusun Baru, Desa Pendung Mudik, Kecamatan Air Hangat,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 01º57’17.84” LS dan 101º23’38.92” BT, berada di Bukit Koto Payung Semurup dan pada sisi barat sekitar 20
m mengalir Sungai Gedang Pendung.
Tinggalan
tradisi megalitik yang ada di situs ini berupa kompleks menhir atau batu tegak.
Dalam kebudayaan prasejarah, menhir dipercaya bagian dari kegiatan ritual penghormatan terhadap arwah nenek moyang. Di Situs Pendung mudik terdapat sepuluh kelompok menhir yang berdiri
di atas punden batu dengan ukuran dan
jumlah yang berbeda-beda. Tiap-tiap kelompok bertebaran dengan radius 1000 m
persegi.
3. Situs Batu Bergambar di Jerangkang Tinggi Desa Muak
Situs
Muak terletak di perkampungan kuno Jerangkang Tinggi ,Desa Muak, Kecamatan Batang
Merangin, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada Koordinat
02º10’56.76” LS dan 101º32’50.27” BT. Situs ini terletak di perkampungan
penduduk yang berada pada ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Berada
sekitar 500 m dari Sungai Jernih dan 2 km dari Danau Kerinci. Jenis tinggalan
megalitik, yaitu,lumpang batu dan batu monolit.
Lumpang
batu berbentuk persegi tidak beraturan dengan ukuran 72 x 60 x 25 cm. Di
atasnya terdapat lubang yang menyempit ke bawah dengan diameter 30 cm. Selain
lubang lumpang, juga terdapat lubang dakon sebanyak 8 buah dengan diameter 4-8
cm. Di sebelah lumpang batu terdapat batu monolit yang berbentuk lonjong tidak
beraturan dengan ukuran tinggi 35 cm dan diameter 66 cm. Pada seluruh
permukaannya terdapat pahatan berbentuk manusia, kuda, gajah, kerbau, anjing,
dan tumbuhan sulur-suluran.
Benda cagar
budaya Monilit ini menurut Iskandar Zakaria sebelum tahun 1960 dikawasan lain
dalam wilayah Jerangkang Tinggi (Desa Muak) pada tahun 1960 Batu ini diletakkan
masyarakat di pintu masuk dusun, dan pada tahun 1993 benda budaya ini
dipindahkan ketempat yang lebih aman sekitar 100 meter dari simpang tiga
jalan masuk ke dusun, pemerintah pada saat itu membangun
cungkup untuk pengamanan.
Benda
peninggalan zaman Pra sejarah ini dibuat oleh masyarakat masa lampu erat
kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang suku Kerinci yang mempercayai
kekuatan roh roh, batu berelief ini merupakan media pemujaan bagi masyarakat
suku Kerinci di masa pra sejarah.
3. Situs Batu Silindrik Pondok
Situs
Pondok terletak di Dusun Pondok, Desa Pondok, Kecamatan Batang Merangin,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat
02º15’24.32” LS dan 101º33’55.14” BT. Situs ini terletak di tengah pematang
yang berada pada ketinggian 960 m di atas permukaan laut. Tinggalan megalitik
yang terdapat di situs ini berupa batu silindrik (penduduk menyebut dengan batu
bedil, batu larung, batu gong, batu meriam). Batu tersebut berbentuk bulat,
memanjang dengan ukuran 4,2 x 0,65 x 0,7 m. Kini kondisi batu silindrik tersebut sudah patah
pada bagian tengah, oleh karena itu masyarakat setempat juga menyebutnya
Batu Patah. Tinggalan batu silindrik ini tidak berdiri sendiri, karena tidak
jauh dari tempat berdirinya juga ditemukan deretan batu bulat yang menyerupai
umpak.
4. Situs Batu Silindrik Pulau Sangkar
Situs
Pulausangkar terletak di Desa Pulau Sangkar, Kecamatan Batang Merangin,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat
02º09’43.78” LS dan 101º35’24.32” BT. Situs ini berada pada ketinggian 895 m di
atas permukaan laut, sekitar 100 m dari tepi Sungai Paun. Tinggalan megalitik
yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang
dengan ukuran 3,9 x 1 x 0,8 m.
5. Situs Batu Silindrik Bukit Talang Pulai
Situs
Bukit Talang pulai, terletak di Dusun
Koto Baru, Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi.Secara astronomis
berada pada koordinat 02º10’40.54” LS dan 101º28’14.59” BT. Situs ini terletak
di atas Bukit Talang Pulai dengan ketinggian 995 m di atas permukaan laut.
Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk
bulat memanjang dengan ukuran 1,5 x 0,98 x 1,2 m. Sisi depan dihias pahatan
berbentuk manusia memakai penutup dada (kemben), sedangkan sisi belakang dihias
pahatan berbentuk manusia memegang semacam gada dan memakai kain sarung.
6. Situs Dolmen Pulau Tengah
Situs
Dolmen Pulau Tengah terletak di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi
Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º09’51.89” LS dan
101º27’42.16” BT.Situs Dolmen di Pulau Tengah berada pada ketinggian 850 m di
atas permukaan laut, sekitar 50 m di dekat aliran Sungai Labo, tepatnya di tepi
jalan raya Desa Pulau Tengah. Tiga Dolmen tersebut, yakni:
Dolmen
1, merupakan dolmen yang terbesar dengan ukuran 1,4 x 0,78 x 0,15 m. Dolmen
tersebut terbuat dari batu andesit yang ditopang oleh enam kaki (empat di sisi
kiri dan dua di sisi kanan) dengan orientasi timur laut. Dolmen 2 terletak di sebelah utara dolmen 1
dengan ukuran 1,66 x 1,1 x 0,35 m. Dolmen tersebut ditopang oleh 4 kaki dengan
orientasi timur laut. Di bagian tengah atas permukaan terdapat 2 buah lubang
dakon dengan diameter 3,5 dan 6,5 cm, dan dalam 1 dan 3,5 cm. Dolmen 3 terletak
di sebelah barat daya, sekitar 2 m dari dolmen 1. Dolmen ini berbentuk melengkung dan licin pada bagian permukaan atasnya
dengan ukuran 1 x 0,65 x 0,15 m, serta ditopang oleh 2 buah kaki.
7. Situs Batu Silindrik Lolo kecil
Situs
Lolokecil terletak di Desa Lolo Kecil, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten
Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º13’30.81”
LS dan 101º30’40.54” BT, kedudukannya berda pematang sawah dengan ketinggian
1.030 m di atas permukaan laut.
Tinggalan
megalitik yang ada di sini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang
dengan ukuran 4,4 x 1,5 x 0,78 m. Batu
silindrik ini dikenal dengan batu bedil, karena bentuknya seperti laras bedil
yang makin mengecil pada bagian ujungnya.
8. Situs Silindrik Lempur
Mudik
Situs Lempur Mudik terletak di
Dusun Cempaka Tunggal, Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten
Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º15’16.22” LS dan 101º32’34.05” BT. Situs
ini berada di pematang sawah dengan ketinggian 980 m di atas permukaan laut,
sekitar 300 m dari aliran Sungai Lempur. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk
bulat memanjang dengan ukuran 3,45 x 0,9 x 0,62 m.
9. Situs Batu Silindrik Lolo gedang
Situs Lolo Gedang terletak di Desa Lolo Gedang, Kecamatan Gunung Raya,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini
berupa batu silindrik yang salah satu
ujungnya berbentuk bulat runcing.
10. Situs Siulak Panjang (Gedang)
Situs Siulak Panjang (Gedang) terletak di Desa Siulak Panjang (Gedang),
Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang secara
astronomis berada pada koordinat 01º54’11.35” LS dan 101º17’42.16”
BT. Kepurbakalaan yang ada di situs ini berupa menhir dan bedug/tabuh. Menhir
yang ada di situs ini berupa sebuah batu pipih yang berbentuk kerucut (semakin
ke atas semakin kecil) setinggi 1,55 m dan berdiameter 0,5 m. Saat ini salah satu sisinya ditempel
nisan dari semen yang berbentuk persegi panjang yang arsitekturnya menyerupai
punden berundak berukuran 1,8 x 1,4 m.
11. Situs Batu Kursi Lempur Mudik
Batu Kursi atau Palinggih terbuat dari batuan andesit merupakan sarana
pemujaan penduduk Kerinci pada zaman Pra sejarah, terhadap roh roh leluhur/nenek moyang, pengamatan di
lokasi terlihat batu ini sudah berpindah tempat dari lokasi awal, pemindahan
kedudukan batu “Palinggih” karena adanya pembukaan jalan di daerah itu. Batu memiliki kesamaan seperti kursi, pada batu ini
tidak terlihat adanya motif, diduga batu ini dibuat belum mengalami campur
tangan manusia, karena fungsinya sebagai tempat pemujaan. Palinggih dalam
bentuk sederhana dapat kita temukan pada situs situs prasejarah berupa susunan
batu mirip kursi. Batu ini disebut juga Stone Seat (Tahta Batu), batu sejenis
ini banyak ditemui pada pura pura agama Hindu dan Budha, yang menurut kalangan budayawan
batu ini dulunya merupakan tempat pertapa para Pendera Hindu/Budha untuk
mendekatkan diri kepada sang Pencipta.
12. Batu Sorban dan Batu Jung
Batu Sorban berada dipinggiran Desa
Sungai Liuk Kota Sungai Penuh, diatas batu
tampak hiasan seperti Sorban yang dibentangkan, yang menurut masyarakat setempat batu
ini adalah tempat ber ibadah nenek moyang, dan diatas ketinggian bukit sekitar
250 meter terdapat makam “Nenek Telago Undang Koto Bingin”. Pada zaman dahulu
lokasi disekitar daerah ini merupakan situs pemukiman masyarakat purba, salah
satu tempat pemukiman nenek moyang orang Kerinci.
Batu Jung berada di wilayah Desa Kemantan Kebalai Kecamatan Air Hangat Timur,
batu andesit ini memiliki ukuran panjang 3,40 Meter Lebar 1,37 Meter Tinggi
1,10 meter, karena bentuknya seperti perahu, oleh masyarakat batu ini disebut
batu Jung (N. Nasir), disamping Batu ini terdapat dua buah batu datar dan batu
batu lain yang disebut batu tapak, pada zaman dahulu batu ini berfungsi
sebagai tangga untuk naik kesebuah balai adat.
Penggalian di sekitar daerah ini tepatnya dibawah lantai sebuah mesjid ditemui susunan pondasi dari batu batu datar, kuat dugaan dilokasi ini pada zaman dahulu berdiri sebuah bangunan Kuno yang megah dan lantai terdiri dari susunan batu andesit dengan bangunan terbuat dari material kayu.
Penggalian di sekitar daerah ini tepatnya dibawah lantai sebuah mesjid ditemui susunan pondasi dari batu batu datar, kuat dugaan dilokasi ini pada zaman dahulu berdiri sebuah bangunan Kuno yang megah dan lantai terdiri dari susunan batu andesit dengan bangunan terbuat dari material kayu.
Disamping peninggalan tersebut diatas, di alam Kerinci juga terdapat
peninggalan kebudayaan purba (Dpt. H. Alimin - Iskandar Zakaria) seperti Tuguk Batu di Desa Koto
Lolo, Batu Kepala Naga di Desa
Pondok Kecamatan Batang Merangin, Batu “Tlou” (Batu Telur) di Desa Talang Kemuning Kecamatan Gunung Raya. Di desa Sungai Liuk
Koto Bingin dan juga ditemukan Belincung, jenis yang sama juga ditemukan di desa Pulau Sangkar.
Batu Kecubung dan pecahan gerabah, alat Serpih (Flakes Culture) tergolong dalam alat alat rumah tangga pada masa prasejarah (10.000 - 2000 SM) yang ditemukan di daerah Kerinci berasal dari zaman mesolithikum dan neolithikum.
Batu Kecubung dan pecahan gerabah, alat Serpih (Flakes Culture) tergolong dalam alat alat rumah tangga pada masa prasejarah (10.000 - 2000 SM) yang ditemukan di daerah Kerinci berasal dari zaman mesolithikum dan neolithikum.
Penduduk asli suku Kerinci juga menyimpan Pusaka Pedandan (Dpt. H. Alimin –
Iskiandar Zakaria) yang merupakan pusaka benda bersejarah peninggalan nenek
moyang orang Kerinci, umumnya disimpan di rumah rumah masyarakat yang merupakan
rumah adat dalam dusun/larik. Benda pusaka yang disimpan itu jenisnya beragam
antara lain Keris, Tombak, Tanduk dan Ruas Bambu
beraksara Incung, Pedang,
Al Qur’an tulisan tangan, Bendera Perang, Piagam Cap Raja, manik manik
dan sebagainya.
Setiap benda benda pusaka itu mengandung
maksud tertentu, seperti hubungan geneologis antara masyarakat adat di daerah Kerinci, bahkan hubungan
masyarakat Kerinci dengan masyarakat diluar daerah Kerinci. Di luhah Datuk
Singarapi putih Sungai Penuh terdapat sebuah peti yang dinamai “Peti Bergiwang”
dan benda benda budaya peninggalan abad ke XIII.
Benda budaya lain yang masih disimpan adalah Cap Raja Raja atau Stempel yang terdapat pada piagam Depati - Depati di Kerinci, pada naskah
Piagam aksara Arab - Melayu, umumnya piagam piagam ke Depatian
itu dikeluarkan oleh Raja Jambi, akan
tetapi ada juga Cap Piagam yang dikeluarkan oleh Sultan Indrapura Minangkabau. Piagam Sultan Jambi
ini berisikan pengakuan Sultan Jambi terhadap kedaulatan Depati-Depati di alam
Kerinci. Piagam di tulis pada masa pemerintahan
kerajaan Jambi dibawah Sultan Sri Ingalogo ( 1665 – 1690 ).
Secara umum Piagam tersebut menerangkan hukum-hukum yang harus diterapkan
kepada masyarakat terutama hukum
Islam (Dpt. H. Alimin), untuk
masyarakat yang mendiami daerah alam Kerinci
pada masa Kesultanan Jambi.
Dengan adanya piagam ini membuktikan bahwa orang Kerinci pada masa lalu telah menjalin hubungan diplomatik dan persahabatan yang baik dengan Kerajaan Jambi dan Kerajaan Inderapura di Minangkabau, pada periode itu alam Kerinci berada dibawah Pemerintahan Depati Empat Pemangku Lima Manti Rang Empat Delapan Helai kain.
Dengan adanya piagam ini membuktikan bahwa orang Kerinci pada masa lalu telah menjalin hubungan diplomatik dan persahabatan yang baik dengan Kerajaan Jambi dan Kerajaan Inderapura di Minangkabau, pada periode itu alam Kerinci berada dibawah Pemerintahan Depati Empat Pemangku Lima Manti Rang Empat Delapan Helai kain.
Di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten
Kerinci terdapat bedug (tabuh) antara lain Tabuh Sigeger Bumi dan Tabuh
Larangan. Tabuh Sigeger Bumi mempunyai panjang 6 m dan diameter 0,8 m. Bedug
yang terbuat dari batang kayu utuh ini
pada sisi belakangnya dihias dengan motif geometris, sulur-suluran, dan tumpal.
Bedug ini diletakkan di atas bale-bale
yang tiangnya mempunyai hiasan yang sama. Bedug tersebut berangka tahun
1901. Tabuh Larangan mempunyai panjang 3,15 m dan diameter 0,7 m. Bedug ini
juga diletakkan di atas bale-bale. Bagian belakang bedug dihias dengan motif
tumpal, Beduk/Tabuh Larangan juga terdapat di daerah Rawang, Siulak, Pondok
Tinggi, Kemantan, dan Kubang.
13. Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Agung Pondok Tinggi terletak di
Kelurahan Pondok Tinggi, Kota Sungai
Penuh, Propinsi Jambi. Secara astronomis
berada pada koordinat 01º04’15” LS dan 101º01’32” BT. Masjid Agung Pondok
Tinggi merupakan salah satu masjid kuno dengan arsitektur khas nusantara,
beratap tumpang dan berkontruksi kayu. Demikian halnya pada interior masjid
berupa dinding-dinding dan tiang kayu yang didominasi dengan ukiran khas
Kerinci, motif sulur-suluran, hiasan geometris, dan pada bagian lain dinding
juga terdapat ukiran terawangan yang juga berfungsi sebagai fentilasi
udara. Di dalam masjid juga tersimpan
sebuah bedug larangan yang cukup panjang lebih dari 5 meter. Menurut
adat masyarakat Kerinci fungsinya adalah dibunyikan sebagai sarana komunikasi
untuk berkumpul atau menandai peristiwa tertentu.
Masjid Agung Pondok Tinggi berdenah
bujur sangkar dengan ukuran 30 x 30 m dan memiliki atap berbentuk tumpang 3
(tiga). Pada bagian atasnya terdapat mustaka yang puncaknya dihias dengan bulan
sabit dan bintang. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran
motif flora dan mempunyai kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Pada
setiap sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai
masjid terbuat dari ubin.
Seniman dan Pemangku adat wilayah
adat Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh,
Depati Satmar Lendan mengungkapkan Masjid ini mempunyai 2 buah
pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran. Di dalam masjid terdapat
36 buah tiang kayu berbentuk segi
delapan dan berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran. Tiang-tiang
tersebut dikelompokkan menjadi 3, yakni kelompok 1 terdiri atas 4 buah tiang
berdiameter 0,90 m yang terletak di tengah-tengah ruang utama masjid. Kelompok
2 terdiri atas 8 buah tiang berdiameter 0,65 m yang mengelilingi tiang kelompok
1. Kelompok 3 terdiri atas 24 buah tiang berdiameter 0,65 m yang mengelilingi
tiang kelompok 2.
Mihrab masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang dengan ukuran 3,10 x 2,40 m. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik.
Keunikan lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di atas tiang utama masjid. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif sulur-suluran dan diakhiri sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Sedangkan bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 m, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.
Mihrab masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang dengan ukuran 3,10 x 2,40 m. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik.
Keunikan lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di atas tiang utama masjid. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif sulur-suluran dan diakhiri sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Sedangkan bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 m, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.
Sebelum tahun 1953, Mesjid ini bernama Mesjid Pondok Tinggi, (Dpt. H. A. Norewan
& Depati Satmar Lendan) pada tahun 1953
oleh Wakil Presiden Republik Indonesia
Muhamad Hatta yang ketika itu mengunjungi Kerinci. Pada saat itu Kerinci masih berada
dalam lingkungan administrasi
Kabupaten Pesisir Selatan - Kerinci Propinsi Sumatera Tengah menambah nama
mesjid menjadi mesjid Agung
Pondok Tinggi. Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia
sangat kagum pada konstruksi, seni ukiran dan keunikan
mesjid Agung di Pondok
Tinggi, Wakil Presiden RI
menyarankan agar mesjid ini dibiarkan dalam bentuk konstruksi asli
dan jangan diberi loteng dengan tujuan
dimasa mendatang mesjid ini akan dijadikan objek penelitian bagi generasi
generasi selanjutnya. Berdasarkan fakta sejarah, nama Mesjid Agung
Pondok Tinggi ini diresmikan oleh Wakil Presiden Republik
Indonesia Drs. H. Muhamad Hatta.
Berdasarkan catatan (Satmar
Lendan, Depati) Mesjid Agung Pondok Tinggi didirikan pada hari Minggu tanggal
1 Juni 1874, jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda ke Kerinci tahun 1903. Sejak
didirikan tahun 1874 sampai dengan tahun 1890, Mesjid ini telah dimanfatkan
masyarakat sebagai tempat beribadah dan kegiatan keagamaan walaupun pada saat
itu kondisi mesjid masih sangat sederhana berdinding bambu. Mesjid ini dibangun secara
swadaya/gotong royong warga Pondok Tinggi, namun semangat gotong royong
dan rasa kekeluargaan masih sangat
kental, hal ini dibuktikan seluruh ramuan/bahan bangunan kayu diusahakan secara bersama, dan pada saat itu ramuan kayu
gelondongan untuk bahan bangunan mesjid ditarik secara bersama sama dengan
menggunakan tali yang berasal dari Rotan Manau, kegiatan menarik ramuan kayu
kayu tersebut oleh masyarakat disebut “Naheik Pamau”.
Jenis ramuan kayu untuk bangunan mesjid
menggunakan kayu berkualitas tinggi seperti kayu Letou, Kayu Tuai atau kayu
medang Jangkat, kegiatan pengambilan
kayu mulai dari proses penentuan jenis kayu, penebangan kayu hingga ditarik ke
lokasi pembangunan dilakukan secara bergotong royong yang pengerjaannya
dikepalai oleh beberapa kepala tukang yang
ahli, para ahli adat dan ulama ulama, dengan diiringi kesenian
tradisi Kerinci “Tale asuh“ dan Sike untuk memberi semangat bagi para pekerja bangunan. Untuk makanan
ringan mereka disuguhi makanan khas kerinci “Lempouk/Lemang” dan minuman air
serbuk ”daun kawo” dengan campuran gula
enau, untuk makan siang para wanita wanita dan ibu ibu rumah tangga mempersiapkan
makanan khas Kerinci berupa “Nasei Ibat” (nasi dibungkus daun pisang), gulai merah, “Temedeak” (gulai nangka
muda masakan khas Kerinci), samban suhein, samban kapanjang, samban puaing, samban umbu penyelang, dengan sayur "Cekehaa", ”anyang daun Sapilo mudea” dan gulai ”Kaladoi“.
Pada tiang tiang, alang dan dinding terdapat ukiran ukiran yang
pengerjaannya dilakukan oleh ahli ukir dari masyarakat setempat. Tokoh tokoh
yang ikut mengagagas pembangunan Mesjid tersebut antara lain H. Ridho dari Rio
Mendaro, H. Sudin dari Rio Senggaro, H. Thalib dari Rio Pati dan H. Rajo Saleh
dari Rio Temenggung, khusus untuk Desain digunakan Desain yang dibuat oleh H.
Ridho dari Rio Mendaro.
Hingga saat
ini Bangunan Mesjid Agung Pondok Tinggi masih berdiri kokoh dan anggun serta masih dimanfaatkan untuk kegiatan kegiatan
Ibadah dan kegiatan peringatan hari hari besar ke agamaan.
14.
Masjid Keramat Pulau Tengah
Masjid
Keramat Koto Tuo Pulau Tengah terletak di wilayah Kecamatan Keliling Danau
Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, melihat arsitektur dan corak spesifik yang
ada di dalam bangunan inti. Masjid ini merupakan masjid Kuno tertua yang ada di bumi
Alam Kerinci.
Secara
astronomis berada pada koordinat 02º59’51.89” LS dan 102º27’42.16” BT. Bedasarkan
sumber dari orang Belanda (1895) menyebutkan, bahwa masjid ini merupakan salah
satu masjid tertua dan berasitektur termegah dan unik di Kerinci. Berkontruksi
kayu dengan atap berbentuk tumpang serta interiornya didominasi bahan kayu yang
diukir dengan hiasan sulur-suluran dan geometris. Seiring dengan perjalanan
waktu pada tahun 1926, lantai masjid
diganti dengan semen, sedang atap ijuk diganti dengan seng. Atap masjid
berbentuk tumpang tiga masih bertahan hingga saat ini, dengan puncak berupa
mustaka berbentuk bawang. Secara keseluruhan denah masjid, bujur sangkar
berukuran 27 x 27 m dengan masing-masing sisi dibatasi oleh dinding, baik yang
masih berupa kayu maupun yang sudah diganti dengan tembok. Dinding bagian timur terbuat dari tembok,
selebihnya masih terbuat dari kayu. Dinding tembok berhias tempelan ubin
keramik, dan baluster kayu yang berfungsi sebagai ventilasi. Sedangkan dinding
yang masih terbuat dari kayu, setiap sudut terdapat hiasan sulur-suluran.
Sebelum
memasuki ruang masjid terdapat tangga dihias dengan tempelan tegel keramik.
Pintunya sendiri berjumlah 2 buah, berdaun ganda berukir motif geometris dan
tempelan tegel keramik. Memasuki ke ruang dalam, secara umum kontruksi masjid
ditopang oleh 25 buah tiang kayu yang berbentuk segi delapan dan berhias
ukiran motif tumpal. Satu buah tiang saka guru yang dikelilingi oleh 2 kelompok
tiang yang masing-masing berjumlah 4 dan 20 buah tiang. Tiang saka guru tersebut
pada tahun 1927-1928 mulai mengalami
perubahan, diberi lapisan semen setinggi 4,5 m dan dihias dengan keramik
bermotif flora dan geometris. Namun tempat adzan yang berada di atas tiang
utama tetap dipertahankan, tempat muadzinnya sendiri mirip sebuah panggung
kecil, bagian tepi terdapat pagar keliling yang berhiaskan ukiran motif
sulur-suluran.
Sebagai
pelengkap ruang masjid, yaitu terdapat sebuah mihrab dan mimbar. Mimbar masjid
berukuran 2,24 x 1,48 m dilengkapi tangga berhias motif sulur-suluran. Mimbar
ini mempunyai 4 buah tiang berbentuk segi delapan semakin ke atas makin kecil
dan berhias ukiran motif sulur-suluran. Pada bagian mihrab berdenah segi lima
dan dihias dengan ukiran motif sulur-suluran, tempelan tegel keramik, dan pada
sisi luar atapnya berbentuk kubah berpuncak mustaka.
15. Masjid Kuno Lempur Tengah
Masjid
Kuno Lempur Tengah terletak di Desa Lempur Tengah, Kecamatan Gunung Raya,
Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat
02º14’51.89” LS dan 101º32’42.16” BT. Masjid ini dibangun pada abad ke-19 M,
kemudian sejak tahun 1940 sudah tidak difungsikan lagi karena masyarakat telah
membangun masjid yang lebih besar. Masjid Kuno Lempur Tengah sangat unik, dan
termasuk masjid kayu yang dianggap masih utuh. Sebagaimana layaknya bangunan
kayu di Kerinci, arsitektur bangunan termasuk kategori rumah panggung. Hal ini
tampak pada bagian lantai terbuat dari
susunan papan kayu, meskipun bagian kolong telah ditutup dengan dinding bata.
Keunikan
lain dari Masjid lempur Tengah, yaitu interior ruang masjid dan dinding luar
penuh dengan pahatan motif geometris dan flora. Termasuk adanya motif
terawangan sulur gelung yang terdapat pada keempat sudut dinging. Sedangkan
atapnya sendiri berbentuk tumpang dua dengan kemuncak berbentuk gada. Atap
tersebut ditopang oleh 12 tiang kayu berbentuk segi delapan, 4 buah tiang saka
guru berpahat motif tumpal dan sulur-suluran.
16. Masjid Kuno Lempur Mudik
Masjid Kuno
Lempur Mudik terletak di Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten
Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 01º15’22” LS
dan 101º32’34.45” BT. Masjid ini dibangun pada abad ke-19 M, seperti halnya
masjid kuno Lempur Tengah, demikian pula Masjid Kuno Lempur Mudik sejak tahun
1931 sudah tidak difungsikan dan tergantikan dengan masjid baru yang lebih
besar dan luas. Semula masjid ini terbuat dari kayu dan beratap ijuk, namun
sekarang telah diubah menjadi bangunan semi permanen dengan lantai semen dan
beratap seng. Masjid Kuno Lempur Mudik memiliki atap berbentuk tumpang 2, pada
bagian kemuncak berbentuk bulan sabit dan bintang.
Masjid
berdenah bujur sangkar berukuran 11 x 11 m, kontruksinya ditopang oleh 16 buah
tiang kayu yang berbentuk segi delapan.
Empat buah tiang saka guru berdiameter 0,75 m dan 12 saka rawa
masing-masing berdiameter 0,61 m. Keseluruhan tiang dan permukaannya dipahat
dengan motif sulur-suluran, sedangkan
pada dinding kayu berukir motif flora, tali, medalion, dan baluster. Ukiran ini
merupakan hasil seni pahat khas masyarakat Kerinci, dan yang sangat mengesankan
yaitu ukiran terawangan sulur gelung yang ditempatkan pada keempat sudut
dinding bangunan. Kekhasan Masjid Lempur Mudik yang mempunyai kesamaan dengan
masjid-masjid kuno di Kerinci, yaitu adanya tempat muadzin mengumandangkan
adzan yang berupa panggung kecil dan terletak menempel tiang saka guru.
Hasil
pemantauan penulis di lapangan, terlihat puluhan peninggalan Kebudayaan masa
lampau yang tersebar di seantero alam Kerinci kurang mendapatkan perawatan dan perhatian dari Pemerintah Kabupaten
Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Diantara peninggalan Kebudayaan yang mulai
mengalami kepunahan adalah Masjid tua di Desa Tarutung Kecamatan Batang Merangin,
rumah rumah tua dan bilik bilik padi di dalam
laheik Jajou dalam Kota Sungai
Penuh, Desa Seleman, Desa Tanjung Tanah dan hampir di seluruh dusun dalam
Kabupaten Kerinci, termasuk berbagai
situs kebudayaan belum mendapat
perhatian yang serius dari instansi terkait.
Sebuah
Ironi Masjid Kuno didaerah Lolo Kecamatan Gunung Raya telah menjadi kenangan
masa lalu, sementara Masjid Tua di Desa Tarutung Nyaris Rubuh, Bangunan ibadah
yang bersejarah yang merupakan sisa sisa
peradaban masa lalu luluh dihancurkan. Dilain pihak, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Kerinci dan Kota
Sungai Penuh seakan melakukan proses pembiaran, kurangnya pemahaman,
minimnya penyuluhan dan rendahnya
kwalitas sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah yang mengelola sektor kebudayaan dan Pariwisata
di alam Kerinci merupakan faktor utama yang
mempercepat proses pemusnahan benda benda budaya.
Alam
Kerinci merupakan “Museum Alam“ terbesar, hampir disetiap penjuru alam
Kerinci baik di Kerinci Tinggi maupun di
Kerinci Rendah menyimpan berbagai jenis artefak zaman Prasejarah maupun zaman
sejarah. Hampir di seluruh dusun ”Negeri/Neghoi” terdapat peninggalan budaya
seperti Aksara Incung yang di tulis pada media tanduk Kerbau, tanduk Kambing,
Kertas Daluang, Keris, Pedang, tombak, piagam piagam, dll.
Puluhan
peninggalan artefak seperti Situs Situs batu silindrik, masjid masjid kuno, rumah
rumah tua, Menhir, Punden Berundak dan ratusan peninggalan kebudayaan
masa lampau tersebar di alam terbuka, sebagian masih tersimpan di perut bumi
“Ranouh Alam Kincai”. Dari sekian banyak
peninggalan kebudayaan itu, beberapa diantaranya ”Raib” dibawa para
makelar dan pemburu barang barang antik. Ironinya, sejumlah barang barang hasil
peninggalan Kebudayaan alam Kerinci itu ada yang dikoleksi sejumlah Kolektor di
sejumlah daerah di Nusantara dan di Negara tetangga seperti Malaysia.
Kedepan,
untuk menyelamatkan asset kesejarahan dan benda benda kebudayaan Alam
Kerinci, sudah sepatutnya Pemerintah Propinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten Kerinci
dan Pemerintah Kota Sungai Penuh membangun Gedung Museum Sejarah, Kebudayaan
dan Perjuangan Rakyat Alam Kerinci.
Pengamatan
dan pemantauan penulis terlihat puluhan artefak dan benda budaya alam Kerinci
berangsur hilang dan sebagian mengalami kerusakaan karena dimakan zaman dan
kurang mendapat perawatan. Alangkah lebih baik pihak Kementerian Pariwisata dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Lembaga teknis terkait
untuk segera menyelamatkan asset dan benda budaya Alam Kerinci dari kepunahan
dan kehancuran yang sia sia.
DIRINGKAS DARI :
Buku “Sejarah Kebudayaan Alam Kerinci”
PENULIS
:
Budhi Vrihaspathi Jauhari Rio Temenggung
Depati Eka Putra, SH. M.PdI
Leo Candra, S.ST.Par, M.SiBudhi Vrihaspathi Jauhari Rio Temenggung
Depati Eka Putra, SH. M.PdI