Minggu, 26 Januari 2014

SITUS-SITUS PENINGGALAN SEJARAH DAN KEPURBAKALAAN ALAM KERINCI



Masa Pra sejarah menurut Prof.  H. Idris Jakfar, SH di Alam Kerinci (Seri Sejarah Kerinci I, hal. 69) dimulai sejak permulaan adanya manusia sampai ditemukan adanya keterangan tertulis tentang kehidupan “Kecik  Wok Gedang Wok. Manusia” tertua ini diperkirakan  telah ada di alam Kerinci sejak   35.000 SM. Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Anthony J. Whitten (1973) di Goa Tiangko yang  berada di wilayah Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin (wilayah ini dahulunya termasuk dalam wilayah Kerinci rendah, pen) dari hasil temuan ini dipastikan manusia Kecik Wok Gedang Wok   telah ada di Alam Kerinci sejak 10.000 SM.

Penulis pada tahun 1986/1987 bersama peneliti sejarah dari Aucland DR. Barbara Waltson Andaya telah mengunjungi situs purbakala yang ada di alam Kerinci termasuk mendamipingi DR. Barbara Waltson Andaya melakukan penelitian Suku Batin di wilayah  Kecamatan Limun dan Sarolangun. Terakhir pada Agustus 2011, penulis kembali melakukan perjalanan ke pemukiman manusia purba di Goa Tiangko dan lokasi  Taman Bumi (Geo Park) di sepanjang Sungai Batang Merangin. Perjalanan menggunakan motor perahu tempek ukuran kecil dimulai dari Desa Biuku Tanjung hingga ke Teluk Wang  Kecamatan Bangko Barat Kabupaten Merangin.

Di wilayah  Kerinci rendah khususnya  di Kabupaten  Merangin  yang berada di lokasi  kawasan, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan  Bangko Barat, Muara Siau, Kecamatan Lembah Masurai, Kecamatan Jangkat hingga  kawasan  Lubuk Gaung, Nalo Tantan dan Ngaol banyak ditemukan tinggalan  kebudayaan prasejarah yang nyaris hampir sama dengan tinggalan  kebudayaan  zaman prasejarah yang berada di  kawasan  Kerinci  Tinggi (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh) Hasil penelitian peneliti dari luar negeri dan penelitian yang dilakukan oleh Prof. H. Idris Jakfar, SH mengungkapkan bahwa di kawasan Kerinci Rendah dan Kerinci Tinggi terdapat kawasan pemukiman manusia purba “Kecik Wok Gedang Wok”. Umumnya lokasi gua gua tempat pemukiman manusia purba itu berada daerah sulit dijangkau, lokasi banyak cerukan dan kondisi gua gua batu itu merupakan batu Stalagnit dan Stalagtit. 

Di gua Tiangko  misalnya terdapat puluhan pintu pintu berupa  gua gua bertingkat dan dipintu masuk terdapat ruangan yang cukup besar, dibelakang gua terdapat celah tempat sinar matahari memasukkan cahayanya. Kondisi  gua  dari luar terlihat tertutup, setelah gua dimasuki diatas sebuah bukit kecil tampak suasana gua yang menakjubkan, pengunjung dapat memasuki lorong lorong gua yang berliku, dikedalaman gua kondisi  agak gelap karena cahaya  sinar matahari tidak dapat menembus  gua batu Tiangko.

Pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 90 Tahun 1919 telah menetapkan gua gua yang berada di kawasan Kerinci Tinggi dan  Kerinci Rendah sebagai Cagar Alam Budaya. Goa goa yang dijadikan sebagai kawasan cagar alam budaya itu adalah Goa Tiangko, Goa Sengering, Goa Keruh, Goa Mesjid, Goa Terentak, Goa Pancur, Goa Tali, Goa Senamat,Goa Putih, Goa Batu, Goa Sungai Batang. Goa goa  lain yang diperkirakan pernah menjadi kediaman manusia “Gedang Wok Kecik Wok” adalah Gua Kasah,Gua Kapeh,Gua Kelelawar, Gua Tiang Bungkuk, Gua Sengayau, Gua Batu Kuning, sejumlah gua gua di daerah Ex. Marga Serampas dan Ex. Marga Sungai Tenang, Muara Siau dan  di wilayah Lembah Masurai, wilayah  ini dikenal sebagai daerah  yang  kaya  dengan  Flora dan Fauna yang  dikonsumsi oleh Manusia Purba ”Gedang Wok Kecik Wok”. 

DR. Barbara Waltson Andaya  dalam diskusinya dengan penulis (1986/1987) mengemukan manusia purba yang mendiami lembah alam Kerinci merupakan mayarakat nomaden yang menggantungkan  hidupnya pada hasil alam dan  hewan buruan, mereka hidup dalam kelompok kelompok kecil, sebelum memilih  tinggal di dalam gua gua batu, manusia purba ini  tinggal sementara di di dalam  ceruk pangkal kayu yang besar/bane kayu (Lubang kayu).

Sepintas pola kehidupan  manusia purba  penunggu lembah alam Kerinci memiliki banyak kesamaan dengan pola kehidupan manusia suku pedalaman Jambi/suku anak dalam yang hidup nomaden, meramu dan  melakukan kegiatan berburu, pendapat  penulis  besar kemungkinan  suku anak dalam yang ada dalam  kawasan Taman Nasional Buki Dua Belas, Bukit 30 dan sebagian besar suku anak dalam di wilayah Hitam Ulu, hingga Senamat, Pelepat dan Tebo di duga merupakan sisa sisa manusia purba di lembah alam Kerinci yang masih tersisa.karena terdesak oleh perkembangan zaman mereka mengasingkan diri ke hutan Belantara di Pedalaman Jambi yang saat itu sangat sulit untuk dijangkau.  Kesamaan yang  terlihat  jelas antara manusia purba dengan suku anak dalam adalah hidup nomaden, dulu orang kubu juga tinggal di ”Bane kayu”, kehidupan mereka sama sama tergantung dari alam dan hasil kegiatan berburu, suku kubu tradisional/tidak berpakaian  lengkap, dan pola hidup dan pola pengolahan untuk dikonsumsi masih sangat sederhana.

Sistim kemasyarakatan dan pola  kehidupan mereka yang masih  sungguh sangat sederhana, maka para ilmuawan  sepakat  bahwa  manusia Kecik  Wok Gedang  Wok  adalah manusia pertama  yang hidup pada zaman batu tua  (Paleolitikum). Manusia ”Kecik  Wok Gedang Wok” telah mengenal api, hasil penelitian ahli sejarah pada sejumlah gua gua yang dilakukan  penelitian  terdapat  bekas tempat unggun api, mereka membuat unggun api untuk memanaskan ruangan gua pada malam hari.

Dari pengamatan penulis dilapangan dan  dan wawancara dengan budayawan alam Kerinci Iskandar Zakaria (70 Tahun) 06 - 07 Agustus 2010 serta  pendataan yang dilakukan  bidang  sejarah dan kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jambi, di sebutkan nenek moyang orang suku Kerinci pada masa lalu menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, mereka sangat mempercayai kekuatan benda dan kekuataan roh. Benda benda itu mereka yakini memiliki “Steih” semangat, mereka sangat meyakini bahwa para nenek moyang yang telah meninggal dunia rohnya tetap hidup dan abadi, roh roh ini mereka yakini masih hidup menetap pada batu batu besar, pohon pohon besar,gunung, mereka  sangat memuja  arwah/roh para leluhur, ketergantungan terhadap roh roh  nenek moyang sangat mereka andalkan, mereka memuja dan meminta perlindungan, keselamatan dan meminta rezeki kepada para roh roh nenek moyang mereka, Dan sisa sisa peninggalan   purba sampai saat ini masih dapat di lihat di alam Kerinci, namun sisa sisa tersebut telah berubah dalam bentuk kebudayaan yang dikemas untuk sebuah pertunjukkan seni. 

Walau masa kuno telah belalu,akan tetapi peninggalan kebudayaan nenek moyang sampai saat ini sisa sisa peninggalan  masih dapat kita temui pada sejumlah situs sistus peninggalan batu tua,batu tengah,maupun zaman batu baru, untuk mengenal lebih dekat peninggalan peninggalan masa lampau, penulis akan menampilkan sejumlah peninggalan nenek moyang  suku  kerinci yang mendiami Alam Kerinci:

1. Situs Batu Silindrik Kumun Mudik
Situs Kumun mudik terletak di Dusun Kumun mudik, Desa Ulu Air, Kota Sungai Penuh,  Propinsi Jambi yang secara astronomis berada pada koordinat 02º06’12.97” LS dan 101º22’42.16” BT. Tinggalan megalitik yang terdapat di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dan pada bagian ujungnya dipangkas sehingga menyerupai bentuk gendang. Batu silindrik ini berukuran 2,05 x 0,7 x 0,85 m. Seluruh bagian permukaannya, kecuali bagian bawah, dihias pahatan berbentuk tonjolan.

2. Situs Kompleks Menhir Pendung Mudik
Situs Pendung mudik terletak di Dusun Baru, Desa Pendung Mudik, Kecamatan Air Hangat, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 01º57’17.84” LS dan 101º23’38.92” BT, berada di Bukit  Koto Payung Semurup dan pada sisi barat sekitar 20 m mengalir Sungai Gedang Pendung.

Tinggalan tradisi megalitik yang ada di situs ini berupa kompleks menhir atau batu tegak. Dalam kebudayaan prasejarah, menhir dipercaya bagian dari kegiatan ritual penghormatan  terhadap arwah nenek moyang. Di Situs Pendung mudik terdapat sepuluh kelompok menhir  yang  berdiri di atas punden  batu dengan ukuran  dan  jumlah yang berbeda-beda. Tiap-tiap kelompok bertebaran dengan radius  1000  m persegi.

3. Situs Batu Bergambar di Jerangkang Tinggi Desa Muak
Situs Muak terletak di perkampungan kuno Jerangkang Tinggi ,Desa Muak, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada Koordinat 02º10’56.76” LS dan 101º32’50.27” BT. Situs ini terletak di perkampungan penduduk yang berada pada ketinggian 910 m di atas permukaan laut. Berada sekitar 500 m dari Sungai Jernih dan 2 km dari Danau Kerinci. Jenis tinggalan megalitik, yaitu,lumpang batu dan batu monolit.           

Lumpang batu berbentuk persegi tidak beraturan dengan ukuran 72 x 60 x 25 cm. Di atasnya terdapat lubang yang menyempit ke bawah dengan diameter 30 cm. Selain lubang lumpang, juga terdapat lubang dakon sebanyak 8 buah dengan diameter 4-8 cm. Di sebelah lumpang batu terdapat batu monolit yang berbentuk lonjong tidak beraturan dengan ukuran tinggi 35 cm dan diameter 66 cm. Pada seluruh permukaannya terdapat pahatan berbentuk manusia, kuda, gajah, kerbau, anjing, dan tumbuhan sulur-suluran.

Benda cagar budaya Monilit ini menurut Iskandar Zakaria sebelum tahun 1960 dikawasan lain dalam wilayah Jerangkang Tinggi (Desa Muak) pada tahun 1960 Batu ini diletakkan masyarakat di pintu masuk dusun, dan pada tahun 1993 benda budaya ini dipindahkan ketempat yang lebih aman sekitar 100 meter dari simpang tiga jalan  masuk ke  dusun, pemerintah pada saat itu membangun cungkup untuk pengamanan.

Benda peninggalan zaman Pra sejarah ini dibuat oleh masyarakat masa lampu erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang suku Kerinci yang mempercayai kekuatan roh roh, batu berelief ini merupakan media pemujaan bagi masyarakat suku Kerinci di masa pra sejarah.

3. Situs Batu Silindrik Pondok
Situs Pondok terletak di Dusun Pondok, Desa Pondok, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º15’24.32” LS dan 101º33’55.14” BT. Situs ini terletak di tengah pematang yang berada pada ketinggian 960 m di atas permukaan laut. Tinggalan megalitik yang terdapat di situs ini berupa batu silindrik (penduduk menyebut dengan batu bedil, batu larung, batu gong, batu meriam). Batu tersebut berbentuk bulat, memanjang dengan ukuran 4,2 x 0,65 x 0,7 m. Kini kondisi batu silindrik tersebut sudah patah pada bagian tengah, oleh karena itu masyarakat setempat juga menyebutnya Batu Patah. Tinggalan batu silindrik ini tidak berdiri sendiri, karena tidak jauh dari tempat berdirinya juga ditemukan deretan batu bulat yang menyerupai umpak. 

4. Situs Batu Silindrik Pulau Sangkar
Situs Pulausangkar terletak di Desa Pulau Sangkar, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º09’43.78” LS dan 101º35’24.32” BT. Situs ini berada pada ketinggian 895 m di atas permukaan laut, sekitar 100 m dari tepi Sungai Paun. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 3,9 x 1 x 0,8 m.

5. Situs Batu Silindrik Bukit Talang Pulai
Situs Bukit Talang  pulai, terletak di Dusun Koto Baru, Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi.Secara astronomis berada pada koordinat 02º10’40.54” LS dan 101º28’14.59” BT. Situs ini terletak di atas Bukit Talang Pulai dengan ketinggian 995 m di atas permukaan laut. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 1,5 x 0,98 x 1,2 m. Sisi depan dihias pahatan berbentuk manusia memakai penutup dada (kemben), sedangkan sisi belakang dihias pahatan berbentuk manusia memegang semacam gada dan memakai kain sarung.

6. Situs Dolmen Pulau Tengah
Situs Dolmen Pulau Tengah terletak di Desa Pulau Tengah, Kecamatan  Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º09’51.89” LS dan 101º27’42.16” BT.Situs Dolmen di Pulau Tengah berada pada ketinggian 850 m di atas permukaan laut, sekitar 50 m di dekat aliran Sungai Labo, tepatnya di tepi jalan raya Desa Pulau Tengah. Tiga Dolmen tersebut, yakni:

Dolmen 1, merupakan dolmen yang terbesar dengan ukuran 1,4 x 0,78 x 0,15 m. Dolmen tersebut terbuat dari batu andesit yang ditopang oleh enam kaki (empat di sisi kiri dan dua di sisi kanan) dengan orientasi timur laut.  Dolmen 2 terletak di sebelah utara dolmen 1 dengan ukuran 1,66 x 1,1 x 0,35 m. Dolmen tersebut ditopang oleh 4 kaki dengan orientasi timur laut. Di bagian tengah atas permukaan terdapat 2 buah lubang dakon dengan diameter 3,5 dan 6,5 cm, dan dalam 1 dan 3,5 cm. Dolmen 3 terletak di sebelah barat daya, sekitar 2 m dari dolmen 1. Dolmen ini berbentuk melengkung dan licin pada bagian permukaan atasnya dengan ukuran 1 x 0,65 x 0,15 m, serta ditopang oleh 2 buah kaki. 

7. Situs Batu Silindrik Lolo kecil
Situs Lolokecil terletak di Desa Lolo Kecil, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º13’30.81” LS dan 101º30’40.54” BT, kedudukannya berda pematang sawah dengan ketinggian 1.030 m di atas permukaan laut. 

Tinggalan megalitik yang ada di sini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 4,4 x 1,5 x 0,78 m. Batu silindrik ini dikenal dengan batu bedil, karena bentuknya seperti laras bedil yang makin mengecil pada bagian ujungnya.  

8. Situs Silindrik Lempur Mudik
Situs Lempur Mudik terletak di Dusun Cempaka Tunggal, Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat  02º15’16.22” LS dan 101º32’34.05” BT. Situs ini berada di pematang sawah dengan ketinggian 980 m di atas permukaan laut, sekitar 300 m dari aliran Sungai Lempur. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 3,45 x 0,9 x 0,62 m.

9. Situs Batu Silindrik Lolo gedang
Situs Lolo Gedang terletak di Desa Lolo Gedang, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang  salah satu ujungnya berbentuk bulat runcing.

10. Situs Siulak Panjang (Gedang)
Situs Siulak Panjang (Gedang) terletak di Desa Siulak Panjang (Gedang), Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang secara astronomis berada pada koordinat 01º54’11.35” LS dan 101º17’42.16” BT. Kepurbakalaan yang ada di situs ini berupa menhir dan bedug/tabuh. Menhir yang ada di situs ini berupa sebuah batu pipih yang berbentuk kerucut (semakin ke atas semakin kecil) setinggi 1,55 m dan berdiameter 0,5 m. Saat ini salah satu sisinya ditempel nisan dari semen yang berbentuk persegi panjang yang arsitekturnya menyerupai punden berundak berukuran 1,8 x 1,4 m.

11. Situs Batu Kursi Lempur Mudik       
Batu Kursi atau Palinggih terbuat dari batuan andesit merupakan sarana pemujaan penduduk Kerinci pada zaman Pra sejarah, terhadap  roh roh leluhur/nenek moyang, pengamatan di lokasi terlihat batu ini sudah berpindah tempat dari lokasi awal, pemindahan kedudukan batu “Palinggih” karena adanya pembukaan jalan di daerah itu. Batu memiliki kesamaan seperti kursi, pada batu ini tidak terlihat adanya motif, diduga batu ini dibuat belum mengalami campur tangan manusia, karena fungsinya sebagai tempat pemujaan. Palinggih dalam bentuk sederhana dapat kita temukan pada situs situs prasejarah berupa susunan batu mirip kursi. Batu ini disebut juga Stone Seat (Tahta Batu), batu sejenis ini banyak ditemui pada pura pura agama Hindu dan Budha, yang menurut kalangan budayawan batu ini dulunya merupakan tempat pertapa para Pendera Hindu/Budha untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta.

12. Batu Sorban dan Batu Jung
Batu Sorban berada dipinggiran Desa Sungai Liuk Kota Sungai Penuh, diatas batu tampak hiasan seperti Sorban yang dibentangkan, yang menurut masyarakat setempat batu ini adalah tempat ber ibadah nenek moyang, dan diatas ketinggian bukit sekitar 250 meter terdapat makam “Nenek Telago Undang Koto Bingin”. Pada zaman dahulu lokasi disekitar daerah ini merupakan situs pemukiman masyarakat purba, salah satu tempat pemukiman nenek moyang orang Kerinci.

Batu Jung berada di wilayah Desa Kemantan Kebalai Kecamatan Air Hangat Timur, batu andesit ini memiliki ukuran panjang 3,40 Meter Lebar 1,37 Meter Tinggi 1,10 meter, karena bentuknya seperti perahu, oleh masyarakat batu ini disebut batu Jung (N. Nasir), disamping Batu ini terdapat dua buah batu datar dan batu batu lain yang disebut batu tapak, pada zaman dahulu batu ini berfungsi sebagai tangga untuk naik kesebuah balai adat.

Penggalian di sekitar daerah ini tepatnya dibawah lantai sebuah mesjid ditemui susunan pondasi dari batu batu datar, kuat dugaan dilokasi ini pada zaman dahulu berdiri sebuah bangunan Kuno yang megah dan lantai terdiri dari susunan batu andesit dengan bangunan terbuat dari material kayu.

Disamping peninggalan tersebut diatas, di alam Kerinci juga terdapat peninggalan kebudayaan purba (Dpt. H. Alimin - Iskandar  Zakaria) seperti Tuguk Batu di Desa  Koto  Lolo, Batu Kepala Naga di Desa  Pondok Kecamatan  Batang  Merangin, Batu “Tlou” (Batu Telur)  di Desa Talang Kemuning  Kecamatan Gunung Raya. Di desa Sungai Liuk Koto Bingin dan juga ditemukan Belincung,  jenis yang sama juga ditemukan di desa Pulau Sangkar. 

Batu Kecubung dan pecahan gerabah, alat Serpih  (Flakes Culture)  tergolong dalam alat alat rumah tangga  pada  masa  prasejarah (10.000 - 2000 SM) yang ditemukan di daerah Kerinci berasal dari zaman mesolithikum dan neolithikum.

Penduduk asli suku Kerinci juga menyimpan Pusaka Pedandan (Dpt. H. Alimin – Iskiandar Zakaria) yang merupakan pusaka benda bersejarah peninggalan nenek moyang orang Kerinci, umumnya disimpan di rumah rumah masyarakat yang merupakan rumah adat dalam dusun/larik. Benda pusaka yang disimpan itu jenisnya beragam antara lain Keris, Tombak, Tanduk dan Ruas Bambu  beraksara  Incung,  Pedang,  Al Qur’an tulisan tangan, Bendera Perang, Piagam Cap Raja, manik manik dan sebagainya.

Setiap benda benda pusaka itu mengandung maksud tertentu, seperti hubungan geneologis antara masyarakat  adat di daerah Kerinci, bahkan hubungan masyarakat Kerinci dengan masyarakat diluar daerah Kerinci. Di luhah Datuk Singarapi putih Sungai Penuh terdapat sebuah peti yang dinamai “Peti Bergiwang” dan benda benda budaya peninggalan abad ke XIII.

Benda budaya lain yang masih disimpan adalah  Cap Raja Raja atau Stempel yang  terdapat pada piagam Depati - Depati di Kerinci, pada naskah Piagam aksara Arab - Melayu, umumnya piagam piagam  ke Depatian  itu dikeluarkan oleh Raja Jambi, akan  tetapi ada juga  Cap  Piagam yang dikeluarkan oleh Sultan  Indrapura Minangkabau. Piagam Sultan Jambi ini berisikan pengakuan Sultan Jambi terhadap kedaulatan Depati-Depati di alam Kerinci. Piagam di tulis pada masa pemerintahan  kerajaan Jambi dibawah Sultan Sri Ingalogo  ( 1665 – 1690 ).

Secara umum Piagam tersebut menerangkan hukum-hukum yang harus diterapkan kepada masyarakat terutama hukum Islam  (Dpt. H. Alimin), untuk masyarakat yang mendiami daerah alam Kerinci  pada masa Kesultanan Jambi. 

Dengan adanya piagam ini membuktikan bahwa orang Kerinci pada masa lalu telah menjalin hubungan diplomatik dan persahabatan yang baik dengan Kerajaan Jambi dan Kerajaan Inderapura di Minangkabau, pada periode itu alam Kerinci berada dibawah Pemerintahan  Depati  Empat  Pemangku  Lima Manti Rang Empat Delapan Helai kain.

Di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci terdapat bedug (tabuh) antara lain Tabuh Sigeger Bumi dan Tabuh Larangan. Tabuh Sigeger Bumi mempunyai panjang 6 m dan diameter 0,8 m. Bedug yang terbuat dari batang kayu  utuh ini pada sisi belakangnya dihias dengan motif geometris, sulur-suluran, dan tumpal. Bedug ini diletakkan di atas bale-bale  yang tiangnya mempunyai hiasan yang sama. Bedug tersebut berangka tahun 1901. Tabuh Larangan mempunyai panjang 3,15 m dan diameter 0,7 m. Bedug ini juga diletakkan di atas bale-bale. Bagian belakang bedug dihias dengan motif tumpal, Beduk/Tabuh Larangan juga terdapat di daerah Rawang, Siulak, Pondok Tinggi, Kemantan, dan Kubang.

13. Masjid Agung Pondok Tinggi
Masjid Agung Pondok Tinggi terletak di Kelurahan  Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh,  Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 01º04’15” LS dan 101º01’32” BT. Masjid Agung Pondok Tinggi merupakan salah satu masjid kuno dengan arsitektur khas nusantara, beratap tumpang dan berkontruksi kayu. Demikian halnya pada interior masjid berupa dinding-dinding dan tiang kayu yang didominasi dengan ukiran khas Kerinci, motif sulur-suluran, hiasan geometris, dan pada bagian lain dinding juga terdapat ukiran terawangan yang juga berfungsi sebagai fentilasi udara.  Di dalam masjid juga tersimpan sebuah bedug larangan yang cukup panjang lebih dari 5 meter. Menurut adat masyarakat Kerinci fungsinya adalah dibunyikan sebagai sarana komunikasi untuk berkumpul atau menandai peristiwa tertentu.

Masjid Agung Pondok Tinggi berdenah bujur sangkar dengan ukuran 30 x 30 m dan memiliki atap berbentuk tumpang 3 (tiga). Pada bagian atasnya terdapat mustaka yang puncaknya dihias dengan bulan sabit dan bintang. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dihias dengan ukiran motif flora dan mempunyai kisi-kisi yang berfungsi sebagai ventilasi. Pada setiap sudut dinding terdapat hiasan motif sulur-suluran. Sedangkan lantai masjid terbuat dari ubin.

Seniman dan Pemangku adat wilayah adat Pondok Tinggi Kota Sungai Penuh, Depati Satmar Lendan mengungkapkan Masjid ini mempunyai  2  buah pintu masuk berdaun ganda yang berhiaskan ukiran motif  tumpal dan sulur-suluran. Di dalam masjid terdapat 36 buah tiang kayu berbentuk segi delapan dan berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran. Tiang-tiang tersebut dikelompokkan menjadi 3, yakni kelompok 1 terdiri atas 4 buah tiang berdiameter 0,90 m yang terletak di tengah-tengah ruang utama masjid. Kelompok 2 terdiri atas 8 buah tiang berdiameter 0,65 m yang mengelilingi tiang kelompok 1. Kelompok 3 terdiri atas 24 buah tiang berdiameter 0,65 m yang mengelilingi tiang kelompok 2. 

Mihrab masjid terletak di sebelah barat, berdenah persegi panjang  dengan ukuran 3,10 x 2,40 m. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang dihias dengan ukiran motif geometris dan sulur-suluran, serta tempelan tegel keramik. 

Keunikan lain dari masjid ini adalah tempat muadzin mengumandangkan adzan terletak di atas tiang utama masjid. Untuk mencapainya dihubungkan dengan tangga berukir motif sulur-suluran dan diakhiri sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar yang berukuran 2,60 x 2,60 m dikelilingi pagar berhias ukiran motif flora. Panggung kecil inilah yang merupakan tempat muadzin berdiri dan mengumandangkan adzan. Sedangkan bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 m, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.

Sebelum tahun  1953, Mesjid ini bernama Mesjid Pondok Tinggi, (Dpt. H. A. Norewan & Depati Satmar Lendan) pada tahun 1953  oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Muhamad Hatta yang ketika itu mengunjungi  Kerinci. Pada saat itu Kerinci masih berada dalam lingkungan administrasi  Kabupaten  Pesisir Selatan - Kerinci Propinsi Sumatera Tengah menambah nama  mesjid menjadi  mesjid Agung Pondok Tinggi. Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia sangat kagum pada konstruksi, seni ukiran dan keunikan mesjid Agung di  Pondok Tinggi, Wakil Presiden RI menyarankan agar mesjid ini dibiarkan dalam bentuk konstruksi asli dan jangan diberi loteng dengan tujuan dimasa mendatang mesjid ini akan dijadikan objek penelitian bagi generasi generasi selanjutnya. Berdasarkan fakta sejarah, nama Mesjid Agung Pondok Tinggi ini diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Drs. H. Muhamad Hatta.

Berdasarkan catatan (Satmar Lendan, Depati) Mesjid Agung Pondok Tinggi didirikan pada hari Minggu tanggal 1 Juni 1874, jauh sebelum kedatangan penjajah Belanda ke Kerinci tahun 1903. Sejak didirikan tahun 1874 sampai dengan tahun 1890, Mesjid ini telah dimanfatkan masyarakat sebagai tempat beribadah dan kegiatan keagamaan walaupun pada saat itu kondisi mesjid masih sangat sederhana berdinding bambu. Mesjid ini dibangun secara swadaya/gotong royong warga Pondok Tinggi, namun semangat gotong royong dan rasa  kekeluargaan masih sangat kental, hal ini dibuktikan seluruh ramuan/bahan bangunan kayu diusahakan secara bersama, dan pada saat itu ramuan kayu gelondongan untuk bahan bangunan mesjid ditarik secara bersama sama dengan menggunakan tali yang berasal dari Rotan Manau, kegiatan menarik  ramuan kayu  kayu tersebut oleh masyarakat disebut “Naheik Pamau”.

Jenis ramuan kayu untuk bangunan mesjid menggunakan kayu berkualitas tinggi seperti kayu Letou, Kayu Tuai atau kayu medang Jangkat, kegiatan  pengambilan kayu mulai dari proses penentuan jenis kayu, penebangan kayu hingga ditarik ke lokasi pembangunan dilakukan secara bergotong royong yang pengerjaannya dikepalai oleh beberapa kepala tukang yang ahli, para ahli adat dan ulama ulama, dengan diiringi kesenian tradisi  Kerinci  “Tale asuh“ dan Sike untuk memberi semangat bagi para pekerja bangunan. Untuk makanan ringan mereka disuguhi makanan khas kerinci “Lempouk/Lemang” dan minuman air serbuk ”daun kawo” dengan  campuran gula enau, untuk  makan siang  para wanita wanita  dan ibu ibu rumah tangga mempersiapkan makanan khas Kerinci berupa “Nasei Ibat” (nasi dibungkus daun pisang), gulai merah,  “Temedeak” (gulai nangka muda masakan khas Kerinci), samban suhein, samban kapanjang, samban puaing, samban umbu penyelang, dengan sayur "Cekehaa", ”anyang daun Sapilo mudea” dan gulai ”Kaladoi“.

Pada tiang tiang, alang dan dinding terdapat ukiran ukiran yang pengerjaannya dilakukan oleh ahli ukir dari masyarakat setempat. Tokoh tokoh yang ikut mengagagas pembangunan Mesjid tersebut antara lain H. Ridho dari Rio Mendaro, H. Sudin dari Rio Senggaro, H. Thalib dari Rio Pati dan H. Rajo Saleh dari Rio Temenggung, khusus untuk Desain digunakan Desain yang dibuat oleh H. Ridho dari Rio Mendaro.

Hingga saat ini Bangunan Mesjid Agung Pondok Tinggi masih berdiri kokoh dan anggun serta  masih dimanfaatkan untuk kegiatan kegiatan Ibadah dan kegiatan peringatan hari hari besar ke agamaan.

14. Masjid Keramat  Pulau Tengah
Masjid Keramat Koto Tuo Pulau Tengah terletak di wilayah Kecamatan Keliling Danau Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi, melihat arsitektur dan corak spesifik yang ada di dalam bangunan inti. Masjid ini merupakan masjid Kuno tertua yang ada di bumi Alam Kerinci.

Secara astronomis berada pada koordinat 02º59’51.89” LS dan 102º27’42.16” BT. Bedasarkan sumber dari orang Belanda (1895) menyebutkan, bahwa masjid ini merupakan salah satu masjid tertua dan berasitektur termegah dan unik di Kerinci. Berkontruksi kayu dengan atap berbentuk tumpang serta interiornya didominasi bahan kayu yang diukir dengan hiasan sulur-suluran dan geometris. Seiring dengan perjalanan waktu pada tahun 1926, lantai masjid diganti dengan semen, sedang atap ijuk diganti dengan seng. Atap masjid berbentuk tumpang tiga masih bertahan hingga saat ini, dengan puncak berupa mustaka berbentuk bawang. Secara keseluruhan denah masjid, bujur sangkar berukuran 27 x 27 m dengan masing-masing sisi dibatasi oleh dinding, baik yang masih berupa kayu maupun yang sudah diganti dengan tembok.  Dinding bagian timur terbuat dari tembok, selebihnya masih terbuat dari kayu. Dinding tembok berhias tempelan ubin keramik, dan baluster kayu yang berfungsi sebagai ventilasi. Sedangkan dinding yang masih terbuat dari kayu, setiap sudut terdapat hiasan sulur-suluran. 
 
Sebelum memasuki ruang masjid terdapat tangga dihias dengan tempelan tegel keramik. Pintunya sendiri berjumlah 2 buah, berdaun ganda berukir motif geometris dan tempelan tegel keramik. Memasuki ke ruang dalam, secara umum kontruksi masjid ditopang oleh 25 buah tiang kayu yang berbentuk segi delapan dan berhias ukiran motif tumpal. Satu buah tiang saka guru yang dikelilingi oleh 2 kelompok tiang yang masing-masing berjumlah 4 dan 20 buah tiang. Tiang saka guru tersebut pada tahun 1927-1928 mulai mengalami perubahan, diberi lapisan semen setinggi 4,5 m dan dihias dengan keramik bermotif flora dan geometris. Namun tempat adzan yang berada di atas tiang utama tetap dipertahankan, tempat muadzinnya sendiri mirip sebuah panggung kecil, bagian tepi terdapat pagar keliling yang berhiaskan ukiran motif sulur-suluran. 

Sebagai pelengkap ruang masjid, yaitu terdapat sebuah mihrab dan mimbar. Mimbar masjid berukuran 2,24 x 1,48 m dilengkapi tangga berhias motif sulur-suluran. Mimbar ini mempunyai 4 buah tiang berbentuk segi delapan semakin ke atas makin kecil dan berhias ukiran motif sulur-suluran. Pada bagian mihrab berdenah segi lima dan dihias dengan ukiran motif sulur-suluran, tempelan tegel keramik, dan pada sisi luar atapnya berbentuk kubah berpuncak mustaka.

15. Masjid Kuno Lempur Tengah
Masjid Kuno Lempur Tengah terletak di Desa Lempur Tengah, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 02º14’51.89” LS dan 101º32’42.16” BT. Masjid ini dibangun pada abad ke-19 M, kemudian sejak tahun 1940 sudah tidak difungsikan lagi karena masyarakat telah membangun masjid yang lebih besar. Masjid Kuno Lempur Tengah sangat unik, dan termasuk masjid kayu yang dianggap masih utuh. Sebagaimana layaknya bangunan kayu di Kerinci, arsitektur bangunan termasuk kategori rumah panggung. Hal ini tampak  pada bagian lantai terbuat dari susunan papan kayu, meskipun bagian kolong telah ditutup dengan dinding bata. 

Keunikan lain dari Masjid lempur Tengah, yaitu interior ruang masjid dan dinding luar penuh dengan pahatan motif geometris dan flora. Termasuk adanya motif terawangan sulur gelung yang terdapat pada keempat sudut dinging. Sedangkan atapnya sendiri berbentuk tumpang dua dengan kemuncak berbentuk gada. Atap tersebut ditopang oleh 12 tiang kayu berbentuk segi delapan, 4 buah tiang saka guru berpahat motif tumpal dan sulur-suluran.

16. Masjid Kuno Lempur Mudik
Masjid Kuno Lempur Mudik terletak di Desa Lempur Mudik, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Secara astronomis berada pada koordinat 01º15’22” LS dan 101º32’34.45” BT. Masjid ini dibangun pada abad ke-19 M, seperti halnya masjid kuno Lempur Tengah, demikian pula Masjid Kuno Lempur Mudik sejak tahun 1931 sudah tidak difungsikan dan tergantikan dengan masjid baru yang lebih besar dan luas. Semula masjid ini terbuat dari kayu dan beratap ijuk, namun sekarang telah diubah menjadi bangunan semi permanen dengan lantai semen dan beratap seng. Masjid Kuno Lempur Mudik memiliki atap berbentuk tumpang 2, pada bagian kemuncak berbentuk bulan sabit dan bintang. 

Masjid berdenah bujur sangkar berukuran 11 x 11 m, kontruksinya ditopang oleh 16 buah tiang kayu yang berbentuk segi delapan.  Empat buah tiang saka guru berdiameter 0,75 m dan 12 saka rawa masing-masing berdiameter 0,61 m. Keseluruhan tiang dan permukaannya dipahat dengan motif sulur-suluran,  sedangkan pada dinding kayu berukir motif flora, tali, medalion, dan baluster. Ukiran ini merupakan hasil seni pahat khas masyarakat Kerinci, dan yang sangat mengesankan yaitu ukiran terawangan sulur gelung yang ditempatkan pada keempat sudut dinding bangunan. Kekhasan Masjid Lempur Mudik yang mempunyai kesamaan dengan masjid-masjid kuno di Kerinci, yaitu adanya tempat muadzin mengumandangkan adzan yang berupa panggung kecil dan terletak menempel tiang saka guru. 

Hasil pemantauan penulis di lapangan, terlihat puluhan peninggalan Kebudayaan masa lampau yang tersebar di seantero alam Kerinci kurang mendapatkan perawatan  dan perhatian dari Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Diantara peninggalan Kebudayaan yang mulai mengalami kepunahan adalah Masjid tua di Desa Tarutung Kecamatan Batang Merangin, rumah rumah tua dan bilik bilik padi di dalam laheik Jajou dalam Kota Sungai Penuh, Desa Seleman, Desa Tanjung Tanah dan hampir di seluruh dusun dalam Kabupaten Kerinci, termasuk berbagai situs kebudayaan belum mendapat perhatian yang serius dari instansi terkait.

Sebuah Ironi Masjid Kuno didaerah Lolo Kecamatan Gunung Raya telah menjadi kenangan masa lalu, sementara Masjid Tua di Desa Tarutung Nyaris Rubuh, Bangunan ibadah yang bersejarah yang merupakan sisa sisa peradaban masa lalu luluh dihancurkan. Dilain pihak, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh seakan melakukan proses pembiaran, kurangnya pemahaman, minimnya penyuluhan dan rendahnya  kwalitas sumber daya manusia aparatur pemerintah daerah  yang mengelola sektor kebudayaan dan Pariwisata di alam Kerinci  merupakan faktor utama yang mempercepat proses pemusnahan benda benda budaya. 

Alam Kerinci merupakan “Museum Alam“ terbesar, hampir disetiap penjuru alam Kerinci baik di Kerinci Tinggi  maupun di Kerinci Rendah menyimpan berbagai jenis artefak zaman Prasejarah maupun zaman sejarah. Hampir di seluruh dusun ”Negeri/Neghoi” terdapat peninggalan budaya seperti Aksara Incung yang di tulis pada media tanduk Kerbau, tanduk Kambing, Kertas Daluang, Keris, Pedang, tombak, piagam piagam, dll.

Puluhan peninggalan artefak seperti Situs Situs batu silindrik, masjid masjid kuno, rumah rumah tua, Menhir, Punden Berundak dan ratusan peninggalan kebudayaan masa lampau tersebar di alam terbuka, sebagian masih tersimpan di perut bumi “Ranouh Alam Kincai”. Dari sekian banyak peninggalan kebudayaan itu, beberapa diantaranya ”Raib” dibawa para makelar dan pemburu barang barang antik. Ironinya, sejumlah barang barang hasil peninggalan Kebudayaan alam Kerinci itu ada yang dikoleksi sejumlah Kolektor di sejumlah daerah di Nusantara dan di Negara tetangga seperti Malaysia.

Kedepan, untuk menyelamatkan asset kesejarahan dan benda benda kebudayaan Alam Kerinci, sudah sepatutnya Pemerintah Propinsi Jambi, Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Pemerintah Kota Sungai Penuh membangun Gedung Museum Sejarah, Kebudayaan dan Perjuangan Rakyat Alam Kerinci.

Pengamatan dan pemantauan penulis terlihat puluhan artefak dan benda budaya alam Kerinci berangsur hilang dan sebagian mengalami kerusakaan karena dimakan zaman dan kurang mendapat perawatan. Alangkah lebih baik pihak Kementerian Pariwisata dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Lembaga teknis terkait untuk segera menyelamatkan asset dan benda budaya Alam Kerinci dari kepunahan dan kehancuran yang sia sia.

DIRINGKAS DARI :
Buku “Sejarah  Kebudayaan Alam Kerinci”

PENULIS :   
Budhi Vrihaspathi Jauhari Rio Temenggung 
Depati Eka Putra, SH. M.PdI 
Leo Candra,  S.ST.Par, M.Si

*

1 komentar:

  1. saya kira perlu kita luruskan tentang serbuk daun kawo, pada masa pembangunan mesjid Pondok tinggi itu saya kira belum ada, kita harus lihat bagaimana tanaman kopi mulai masuk ke Jambi dan kerinci pada khususnya

    BalasHapus