Sejenak membaca judul di atas, memang amat langka membicarakan ekonomi syariah dan pemberantasan korupsi. Apa hubungannya? Mengapa mengangkat judul dan tema tersebut. Itulah yang terjadi dalam acara dialog interaktif di Bank Indonesia (BI) yang diselenggarakan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) di pertengahan bulan Agustus.
Ketua Umum PKES, Subarjo Joyosumarto dalam kesempatan itu mengatakan, praktik korupsi telah menjadi permasalahan di berbagai bangsa dunia, terutama di Indonesia praktik korupsi seolah sudah menjadi “budaya”. Sehingga sangat mudah untuk melihat dan menemuinya di masyarakat. Tidak sedikit yang menganggap “wajar” tindakan korupsi ini terjadi karena sudah menjadi perilaku umum di masyarakat.
The Straits Times, salah satu koran Singapura, dalam laporannya, pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala urusan dapat dengan mudah diselesaikan menggunakan “amplop”. Baik itu untuk mendapatkan tender, lisensi, menyelesaikan perkara oleh hakim, jaksa, polisi, menghadapi permasalahan pajak, mengurus KTP, bahkan untuk masuk sekolah di sekolah ternama pun tidak luput menggunakan jurus pamungkas, yaitu “amplop”.
Ibarat penyakit, tuturnya, praktik korupsi di Indonesia sudah amat kronis. Dari waktu ke waktu cenderung semakin meningkat dengan modus yang sangat beragam. Beberapa hasil riset yang telah dilakukan berbagai lembaga menunjukkan tingkat korupsi di Indonesia termasuk tertinggi di dunia.
“Hal ini banyak yang mengatakan bahwa diantara sebabnya adalah sistem birokrasi dan sistem pemerintahan bangsa ini telah mengkondisikan para birokrat, politisi, dan semua yang bersentuhan dengan sistem itu untuk melakukan korupsi,”terangnya.
Dengan demikian, lanjutnya, korupsi di negeri ini bukan lagi soal moral dan hukum semata, melainkan adalah persoalan sistemik struktural yang telah mengakar sedemikian rupa.
Ketua Umum PKES juga menyampaikan, secara seksama dapat dilihat korupsi mengakibatkan terjadinya kesenjangan ekonomi di masyarakat. Jika saat ini kesenjangan antara kaya dan miskin sudah demikian menganga, maka korupsi makin melebarkan kesenjangan itu karena uang terdistribusi secara tidak sehat (tidak mengikuti kaedah-kaedah ekonomi sebagaimana mestinya).
Koruptor makin kaya, yang miskin makin miskin. Akibat lainnya, karena uang gampang diperoleh, sikap konsumtif jadi terangsang. Tidak ada dorongan ke pola produktif, sehingga timbul inefisiensi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi.
Ironisnya, Indonesia adalah Negara dengan penduduk mayoritas muslim, dan merupakan Negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia. Sementara dalam tata aturan dan ajaran Islam sangat tegas dan keras melarang praktik korupsi.
EKONOMI SYARIAH ANTI KORUPSI
Mencikal dari ajaran Islam tersebut, Subarjo menegaskan, dalam sistem ekonomi syariah ada beberapa hal yang mendasar yang tidak boleh dilakukan dalam transaksi ekonomi, yaitu maysir, gharar, riba dan juga risywah. Maysir merupakan transaksi ekonomi yang menganduk unsur spekulasi (perjudian), gharar merupakan tindakan penipuan atau manipulasi, riba adalah mengambil bunga pada sistem keuangan, sedangkan risywah merupakan aksi suap menyuap.
Larangan terhadap praktik korupsi dapat dijumpai pada al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat 188: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Kemudian di surat surat An-Nisa’ ayat 29 ditegaskan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…”
Mengacu ayat tersebut, bisa diartikan bahwa korupsi merupakan suatu tindakan yang memakan harta dengan cara yang bathil. Bagian dari korupsi tersebut diantaranya adalah dengan cara memberi dan menerima suap (risywah) ataupun hadiah bagi para pejabat atau yang berkepentingan.
“Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud tertentu, karena buat apa memberi sesuatu bila tanpa maksud di belakangnya, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah,”terangnya.
Kemudian dalam kisah Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi, tutur Subarjo, untuk membagi dua hasil bumi Khaybar separo untuk kaum muslimin dan sisanya untuk orang Yahudi datang orang Yahudi kepadanya memberikan suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk orang Yahudi.
Teryata, tawaran itu ditolak keras oleh Abdullah bin Rawahah, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya”. Mendengar ini, orang Yahudi berkata, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tegak” (Imam Malik dalam al-Muwatta’).
Tentang suap Rosululloh berkata, “Laknat Alloh terhadap penyuap dan penerima suap” (HR. Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
“Tampak dengan jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat gamblang dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya sistem ekonomi syariah menjadi sistem ekonomi Indonesia. Minimal dalam jangka dekat perlu diterapkan dual economic system, sehingga ekonomi syariah dapat memberikan kontribusinya dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau pembangunan ekonomi bangsa,”paparnya.
Sementara Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Halim Alamsyah, dalam tanggapannya mengatakan, perlu diketahui bahwa sistem perbankan dimanapun juga termasuk di Indonesia, merupakan industri keuangan yang sangat diregulasi. Setidaknya ada beberapa lapis pengawasan baik yang langsung maupun tidak langsung yang harus dilakukan, baik olah para pegiat, pelaku di industri keuangan itu sendiri, maupun oleh regulator sekaligus pembantu regulator di dalam industri keuangan syariah.
BI selaku regulator, setidaknya sampai saat ini, karena di DPR sedang ada rencana pembuatan undang-undang otoritas jasa keuangan (OJK), telah mengeluarkan berbagai aturan-aturan yang terkait dengan good corporate goverment yang terkait dengan prinsip pengenalan nasabah, peraturan yang terkait dengan program anti penyucian uang, dan juga peraturan yang terkait dengan segala hal, yang tentu saja tujuannya untuk menjamin agar perbankan mampu untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sekaligus memberikan perlindungan kepada kepentingan nasabah, dan tentu saja mencegah terjadinya tindak pidana perbankan, sehingga nantinya industri keuangan dapat berperan secara optimal dalam perjalanan perekonomian kita.
Dalam konteks sistem pengawasan, Halim memaparkan, dalam industri perbankan telah mengenal beberapa lapis pengawasan. Pengawasan lapis pertama dilakukan tentu saja oleh internal bank itu sendiri, apakah itu yang dilakukan melalui audit internal, melalui pengawasan oleh direksi dan dewan komisaris besar aktif maupun oleh komisi audit.
“Demikian juga pada lapis kedua berharap pada peran publik sebagai eksternal auditor juga melakukan pengawasan mengenai kewajaran transaksi yang ada pada industri keuangan itu, dan ini akan diikuti oleh pengawasan dari masyarakat selaku investor atau selaku yang mempunyai kepentingan terhadap perbankan. Sementara nanti pada lapis ketiga, Bank Indonesia tentu akan memastikan melakukan pengawasan baik secara langsung mendatangi bank, maupun secara tidak langsung dengan mendapatkan laporan dari perbankan,” tuturnya.
Dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia, Halim Alamsyah melihat, ada 3 aspek yang sangat penting dalam industri perbankan syariah. Pertama adalah industri syariah itu sendiri unggul dibandingkan dengan industri keungan konvensional, karena mereka didasari oleh nilai-nilai islami yang pasti kita yakini lebih baik dari pada konvensional.
Kedua berupaya menciptakan ruang gerak dan ruang operasional bagi industri perbankan khususnya dan bagi keuangan syariah pada umumnya, yaitu lingkungan yang lebih Islami. Hal tersebut memungkinkan baik bagi perbankan maupun yang menggunakan jasa perbankan untuk berperilaku secara Islami.
“Kedua hal ini, nilai-nilai syariah dan elemen syariah diharapkan dapat menjadi mencegah bagi tindakan yang sifatnya koruptif. Namun, memang kita sadari dua hal ini belum cukup mencegah fraud atau tindak pidana dalam industri perbankan syariah, karena bagaimana pun, fraud ini terkait dengan unsur manusia,”ujarnya.
Oleh karena itu kedepan diperlukan adanya pengawasan, BI harus terus melakukan sistem pengawasan yang berlapis, untuk bank syariah perlu dilakukan sistem pengawasan yang berbeda dengan perbankan konvensioanal.
Sumber : PKES Interaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar