Jumat, 25 April 2014

KOREKSI TERHADAP PRODUK GADAI EMAS DI BANK SYARIAH

Selain sebagai tempat untuk menyimpan dan menyalurkan dana kepada pihak ketiga, bank syariah mempunyai banyak fungsi seperti dapat melakukan jual beli (murabahah), menerima zakat, menyalurkan zakat, bahkan sebagai tempat gadai (rahn). Tapi dalam hal ini bank syariah hanya bisa menerima emas sebagai barang yang bisa digadai. Karena emas adalah salah satu komoditas yang paling likuid. Bahkan jika melihat selama sepuluh tahun harga emas terus mengalami kenaikan yang cukup tinggi.

Karena begitu potensial, hampir semua bank syariah membuka diri menjadi tempat gadai emas. Bahkan adanya gadai emas yang dilakukan bank syariah dimanfaatkan beberapa orang untuk melakukan spekulasi. Berdasarkan berita yang dilansir oleh Bisnis Indonesia, ada nasabah gadai yang mempunyai modal 10 milyar dan bisa mendapatkan portofolio hingga 105 milyar rupiah. Yang dilakukan nasabah tersebut yaitu dengan mengadaikan emasnya untuk dibelikan emas kembali. Sedangkan emas yang sudah dibeli untuk digadai kembali dan begitu seterusnya. Leverage yang tinggi, hal inilah yang ditakutkan, sehingga BI (Bank Indonesia) melakukan intervensi di awal tahun 2012. Yaitu dengan pembatasan gadai dan juga pelarangan bagi nasabah yang melakukan gadai dengan tujuan spekulasi. Walaupun peraturan tertulisnya masih dalam proses untuk dibuat.

Menurut tulisan Ustadz Siddiq Al Jawie yang berada di situs wakalanusantara.com, sejujurnya gadai emas yang dilakukan oleh bank syariah tidak syariah dan lebih condong kepada riba yang terselubung dan hukumnya haram. Ada tiga alasan yang mendasari gadai emas yang dilakukan oleh bank syariah hukumnya haram.

Yang pertama, dalam gadai emas terjadi pengambilan manfaat atas pemberian utang. Walaupun disebut upah (ujrah) atas jasa penitipan, namun hakikatnya hanya rekayasa hukum untuk menutupi riba, yaitu pengambilan manfaat dari pemberian utang, baik berupa tambahan atau manfaat lainnya. Padahal manfaat-manfaat ini jelas merupakan riba yang haram hukumnya.

Yang kedua, pengambilan upah jasa (Ujrah) dari biaya titip merupakan hal yang salah. Karena seharusnya yang menanggung biaya itu seharusnya adalah pihak yang menerima barang gadai, bukan pemilik barang.

Dan yang terakhir yaitu, dalam gadai syariah terdapat akad rangkap, sehingga produk gadai emas ini menjadi haram dalam sudut pandang Islam.

Ketiga argumen yang diungkapkan oleh Ustadz Siddiq al Jawie berlandaskan hadist Rasulullah.

Pada argumen yang pertama dijelaskan adanya pengambilan manfaat dalam hutang, berikut dalil yang memperkuat argumen Ustadz Siddiq al Jawie. “Dari Anas Rodhiallohu 'Anhu, bahwa Rosululloh berkata, "Jika seseorang memberi pinjaman, janganlah dia mengambil hadiah”. (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir). Melihat hadist tersebut, jika kita mau menghubungkan dengan gadai. Gadai emas itu sendiri sebenarnya adalah hutang. Sedangkan emas itu sebagai barang yang ditahan yang nantinya akan ditebus. Dan mengambil manfaat dengan dalih biaya titip adalah riba.

Sedangkan pada argumen yang kedua adalah tentang pengambilan upah dengan dalih biaya titip, merupakan suatu kesalahan besar. Karena biaya titip baru bisa dibebankan jika barang yang dititipkannya adalah makhluk hidup atau kendaraan. Karena makhluk hidup itu sendiri butuh biaya perawatan agar hewan tersebut tetap hidup. Begitu pula dengan kendaraan. Kendaraan butuh biaya perawatan rutin agar kendaraan itu tidak rusak ketika dititip. Dalilnya yaitu, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam bersabda, "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya, dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan". (HR Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa`i). Bahkan menurut Imam Syaukani, hadits itu memberikan pengertian jika terkait dengan kepentingan penerima gadai seperti hanya penitipan barang jaminan, maka yang harus menanggung biayanya adalah penerima gadai bukan yang menggadaikan barang. (Imam Syaukani, As-Sailul Jarar, hlm. 275-276).

Dan yang terakhir adalah adanya akad rangkap antara gadai (rahn) dan juga biaya upah (ijarah) sehingga tidak boleh menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud Rodhiallohu 'Anhu, beliau berkata, "Rosululloh Shollallohu 'Alaihi Wasallam melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan" (HR Ahmad). Akan tetapi ada beberapa ulama yang membolehkan adanya akad rangkap. Namun, ulama yang membolehkan adanya akad rangkap sebenarnya melarang penggabungan akad tabarru’ yang bersifat non-komersial (seperti gadai) dengan akad yang komersial (seperti ijarah). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hlm. 24).

Sebenarnya gadai itu boleh. Bahkan Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam pernah melakukan gadai, dengan riwayat hadist berikut ini. “Dari Aisyah Rodhiallohu 'Anha, bahwa Nabi Muhammad Shollallohu 'Alaihi Wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai waktu yang ditentukan, dan Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau.”(HR.Bukhari 2326). Dalam hadist tersebut tidak dijelaskan adanya biaya titip kepada Rasululloh. Maka apa yang dilakukan bank syariah dengan membebankan biaya titip adalah suatu kesalahan.

Disisi lain dengan didukung dengan mudahnya persyaratan, yaitu cukup mempunyai emas. Keberadaan gadai emas sebagai produk di bank syariah hanya dimaanfatkan oleh nasabah untuk berspekulasi dan memperoleh untung dari fluktuasi harga emas. Sedangkan melakukan spekulasi(maysir) dalam transaksi adalah hal yang dilarang dalam Islam. Akhirnya, tujuan bank syariah tidak tercapai sebagai sarana memberikan dana secara cepat dan juga mempermudah rakyat kecil dalam masalah permodalan.

Oleh karena itu dibutuhkan peraturan yang mengikat kepada bank syariah agar terhindar dari nasabah yang ingin melakukan tindakan spekulasi. Bank syariah juga selayaknya tidak membebankan biaya titip emas. Karena bank juga sebenarnya sudah mendapat keuntungan dengan memberikan 80% – 90% dana kepada nasabah dari harga taksiran harga emas. Dan yang terpenting bank syariah harus lebih memperhatikan nasabah bermodal kecil yang lebih membutuhkan dana dibanding nasabah bermodal besar yang bertujuan untuk berspekulasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar