Dahulu kala, menurut Muntholib, wilayah Kerajaan
Jambi cukup luas sampai meliputi kawasan Sungai Lilin di Sumatra Selatan dan
Pagaruyung di Sumatera Barat. Berdasarkan penelitiannya selama lima tahun, sejak 1990 hingga 1995, ia
menyimpulkan bahwa ketiga kelompok suku itu hidup sejak tahun 1200. Kemudian,
sekitar tahun 1500-an, timbul masalah antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan
Jambi. Untuk menyelesaikan masalah itu, Kerajaan Pagaruyung mengirim beberapa
orang utusan ke Kerajaan Jambi. Para utusan
itu menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki. Malang tak dapat ditolak, sebelum sampai ke
tujuan mereka kehabisan bekal di tengah jalan. Akhirnya, para utusan ini
meng-”kubu”-kan diri alias bertahan di lokasi itu yang kini dikenal sebagai
kawasan Taman Nasional Bukit Dua belas, sampai beranak cucu. Mereka inilah
cikal-bakal Orang Rimba yang disebutkan tadi
Versi lain diungkapkan oleh Munawir Muchlas pada
1975. la menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat
ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau),
Cerita Orang Kayo Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Bagindo
Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan
Ulu Besar dan Bayat, dan Cerita tentang Orang
Kubu. Dari beragam hikayat tersebut, Muchlas
menarik kesimpulan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari tiga turunan.
Pertama, turunan dari Sumatera Selatan yang
umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
Kedua, Keturunan dari Minangkabau, umumnya berada
di Kabupaten Bungo Tebo dan sebagian Mersam di Batanghari.
Ketiga, Keturunan dari Jambi asli, yaitu Kubu
Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko
Mereka pun bermusyawarah. Walhasil, mereka memutuskan bertahan hidup di dalam hutan. Untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan warga Pagaruvung dan merasa malu, mereka mencari tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama kian terpencil. Keturunan mereka inilah konon yang menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Ada lagi
yang mengait-ngaitkannya dengan riwayat Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sejatinya
masih serumpun. Menurut versi ini, asal-usul Suku Anak Dalam dapat dirunut
sejak tahun 1624, saat dimulainya ketegangan hubungan antara kedua kerajaan
tersebut. Ketegangan pun berpuncak dengan pecahnya perang pada 1629. Itu
sebabnya, menurut versi ini, sekarang ada dua kelompok Suku Anak Dalam dengan
bahasa, bentuk fisik, adat istiadat, dan tempat tinggal yang berbeda. Ada kelompok Suku Anak Dalam yang bermukim
di hutan belantara kawasan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kelompok ini berkulit
kuning dengan postur tubuh mirip ras Mongoloid, seperti orang Palembang.
Kelompok inilah yang diduga merupakan keturunan Kesultanan Palembang. Sedangkan
kelompok lainnya mendiami kawasan hutan di Jambi. Kulit mereka ini berwarna
sawo matang, berambut ikal, dan mata agak menjorok ke dalam. Mereka mirip ras
India (Wedoid) dan konon keturunan tentara bayaran Kerajaan Jambi.
Ada lagi versi cerita lain yang mengungkap
asal-usul kelompok Batin Sembilan yang masih merupakan bagian dari Suku Anak
Dalam juga. Syahdan, pada zaman Kerajaan Melayu Jambi dahulu. Raja Jambi
Maruhun melakukan perjalanan menelusuri Sungai Batanghari, kemudian naik ke
Sungai Batang Tembesi. Di suatu tempat, Sang Raja bertemu dengan perempuan yang
cantik jelita. Raja pun sangat tertarik dengan kecantikan perempuan, yang
diketahui bernama Bayan Lais itu.
Singkat cerita, raja pun mengawini Bayan Lais. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Ontar. Setelah menikah, Raden Ontar mempunyai anak bernama Raden Nagasari. Raden Nagasari sendiri kemudian memiliki sembilan anak, delapan laki-laki dan seorang perempuan. Anak-anak Raden Nagasari ini kemudian menyebar ke sembilan anak sungai yang berada di sekitar Sungai Batanghari, Batang Tembesi, dan Sungai Lalan.
Semua anaknya yang laki-kaki memilih tempat di wilayah timur Batanghari dan Batang Tembesi, yaitu Sungai Burung Hantu, Telisa, Sekamis, Pemusiran, Jangga, Jebak, Bulian, dan Bahar. Sedangkan anak perempuannya memilih berada di wilayah barat Batanghari, yaitu Sungai Singoan. Persebaran kesembilan keturunan Raden Nagasari inilah yang kemudian berkembang menjadi suku Batin Sembilan atau Orang Dalam.Batin Sembilan merupakan komunitas yang hidup dari petualangan dan mengambil hasil hutan. Mereka sudah lama hidup menetap clan berinteraksi dengan orang luar. Terutama pada masa penjajahan Belanda dengan adanya eksplorasi minyak bumi, daerah-daerah pemukiman Batin Sembilan telah terhubung dengan dibukanya sejumlah ruas jalan. Pembukaan jalan-jalan ini pula yang menyebabkan banyak migran menetap di daerah komunitas Batin Sembilan. Keadaan ini sekaligus meningkatkan interaksi mereka dengan orang luar.
Kini, dengan adanya pembentukan desa, masyarakat Batin Sembilan tersebar di 18 desa. Sebagian bermukim di Desa Naga Sari, Pelempang, Nyogan. Tanjung Pauh 39, dan Merkanding. Sebagian lainnya menetap di Desa Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak dan Jangga Aur. Ada juga komunitas mereka yang menyebar di Desa Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk Napal, Lamban Segatal, dan Sepintun.
Komunitas Batin Sembilan memang tampak berbeda dibandingkan dengan suku-suku Anak Dalam lainnya. Terutama sejak Departemen Sosial menggulirkan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing pada 1970-an. Program ini cukup berhasil untuk komunitas Batin Sembilan karena mereka mau diajak hidup menetap. Tapi tidak demikian halnya dengan Orang Rimba yang tetap bertahan dengan pola hidup nomad.
Note : boleh percaya boleh tidak, karena banyak versi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar