Minggu, 04 Mei 2014

ASAL MUASAL SUKU ANAK DALAM (SUKU RIMBA) DI JAMBI


    Dahulu kala, menurut Muntholib, wilayah Kerajaan Jambi cukup luas sampai meliputi kawasan Sungai Lilin di Sumatra Selatan dan Pagaruyung di Sumatera Barat. Berdasarkan penelitiannya selama lima tahun, sejak 1990 hingga 1995, ia menyimpulkan bahwa ketiga kelompok suku itu hidup sejak tahun 1200. Kemudian, sekitar tahun 1500-an, timbul masalah antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi. Untuk menyelesaikan masalah itu, Kerajaan Pagaruyung mengirim beberapa orang utusan ke Kerajaan Jambi. Para utusan itu menempuh perjalanan yang jauh dengan berjalan kaki. Malang tak dapat ditolak,  sebelum sampai ke tujuan mereka kehabisan bekal di tengah jalan. Akhirnya, para utusan ini meng-”kubu”-kan diri alias bertahan di lokasi itu yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Dua belas, sampai beranak cucu. Mereka inilah cikal-bakal Orang Rimba yang disebutkan tadi
    Versi lain diungkapkan oleh Munawir Muchlas pada 1975. la menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayo Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, dan Cerita tentang Orang Kubu. Dari beragam hikayat tersebut, Muchlas menarik kesimpulan bahwa Suku Anak Dalam berasal dari tiga turunan. 
    Pertama, turunan dari Sumatera Selatan yang umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.  
    Kedua, Keturunan dari Minangkabau, umumnya berada di Kabupaten Bungo Tebo dan sebagian Mersam di Batanghari.  
    Ketiga, Keturunan dari Jambi asli, yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko
    Versi lain disusun oleh tim dari Departemen Sosial yang dimuat dalam terbitan berkala Profil Masyarakat Terasing. Terkisah, pada zaman dahulu kala, pecah perang antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung dipimpin Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga beritanya sampai ke telinga Raja Pagaruyung,  yang bukan lain adalah ayah Putri Selaras Pinang Masak. Untuk menyelesaikan peperangan tersebut, Raja Pagaruyung mengirimkan prajurit-prajurit yang gagah berani untuk membantu Kerajaan Jambi. Raja Pagaruyung memerintah mereka untuk membantu menaklukkan Rangkayo Hitam. Para prajurit itu menyanggupinya dan bersumpah tidak akan kembali sebelum meraih kemenangan. Jarak antara Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Jambi sangat jauh, banyak melalui hutan belantara dengan berjalan kaki.  Setelah berjalan berhari-hari, kondisi para prajurit ini mulai menurun, sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis. Mereka pun kebingungan. Perjalanan yang harus ditempuh masih jauh. Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, mereka malu.

    Mereka pun bermusyawarah. Walhasil, mereka memutuskan bertahan hidup di dalam hutan. Untuk menghindari kemungkinan bertemu dengan warga Pagaruvung dan merasa malu, mereka mencari tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama kian terpencil. Keturunan mereka inilah konon yang menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
    Ada lagi yang mengait­-ngaitkannya dengan riwayat Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sejatinya masih serumpun. Menurut versi ini, asal-usul Suku Anak Dalam dapat dirunut sejak tahun 1624, saat dimulainya ketegangan hubungan antara kedua kerajaan tersebut. Ketegangan pun berpuncak dengan pecahnya perang pada 1629. Itu sebabnya, menurut versi ini, sekarang ada dua kelompok Suku Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, adat istiadat, dan tempat tinggal yang berbeda. Ada kelompok Suku Anak Dalam yang bermukim di hutan belantara kawasan Musi Rawas, Sumatera Selatan. Kelompok ini berkulit kuning dengan postur tubuh mirip ras Mongoloid, seperti orang Palembang. Kelompok inilah yang diduga merupakan keturunan Kesultanan Palembang. Sedangkan kelompok lainnya mendiami kawasan hutan di Jambi. Kulit mereka ini berwarna sawo matang, berambut ikal, dan mata agak menjorok ke dalam. Mereka mirip ras India (Wedoid) dan konon keturunan tentara bayaran Kerajaan Jambi.
    Ada lagi versi cerita lain yang mengungkap asal-usul kelompok Batin Sembilan yang masih merupakan bagian dari Suku Anak Dalam juga. Syahdan, pada zaman Kerajaan Melayu Jambi dahulu. Raja Jambi Maruhun melakukan perjalanan menelusuri Sungai Batanghari, kemudian naik ke Sungai Batang Tembesi. Di suatu tempat, Sang Raja bertemu dengan perempuan yang cantik jelita. Raja pun sangat tertarik dengan kecantikan perempuan, yang diketahui bernama Bayan Lais itu. 

    Singkat cerita, raja pun mengawini Bayan Lais. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Ontar. Setelah menikah, Raden Ontar mempunyai anak bernama Raden Nagasari. Raden Nagasari sendiri kemudian memiliki sembilan anak, delapan laki-laki dan seorang perempuan. Anak-anak Raden Nagasari ini kemudian menyebar ke sembilan anak sungai yang berada di sekitar Sungai Batanghari, Batang Tembesi, dan Sungai Lalan. 

    Semua anaknya yang laki-kaki memilih tempat di wilayah timur Batanghari dan Batang Tembesi, yaitu Sungai Burung Hantu, Telisa, Sekamis, Pemusiran, Jangga, Jebak, Bulian, dan Bahar. Sedangkan anak perempuannya memilih berada di wilayah barat Batanghari, yaitu Sungai Singoan. Persebaran kesembilan keturunan Raden Nagasari inilah yang kemudian berkembang menjadi suku Batin Sembilan atau Orang Dalam.Batin Sembilan merupakan komunitas yang hidup dari petualangan dan mengambil hasil hutan. Mereka sudah lama hidup menetap clan berinteraksi dengan orang luar. Terutama pada masa penjajahan Belanda ­dengan adanya eksplorasi minyak bumi, daerah-daerah pemukiman Batin Sembilan telah terhubung dengan dibukanya sejumlah ruas jalan. ­Pembukaan jalan-jalan ini pula yang menyebabkan banyak migran menetap di daerah komunitas Batin Sembilan. Keadaan ini sekaligus meningkatkan interaksi mereka dengan orang luar.

    Kini, dengan adanya pembentukan desa, masyarakat Batin Sembilan tersebar di 18 desa. Sebagian bermukim di Desa Naga Sari, Pelempang, Nyogan. Tanjung Pauh 39, dan Merkanding. Sebagian lainnya menetap di Desa Tanjung Lebar, Ladang Peris, Kilangan, Sengkawang, Pompa Air, Bungku, Jebak dan Jangga Aur. Ada juga komunitas mereka yang menyebar di Desa Muara Singoan, Pemusiran, Lubuk Napal, Lamban Segatal, dan Sepintun.

    Komunitas Batin Sembilan memang tampak berbeda dibandingkan dengan suku-suku Anak Dalam lainnya. Terutama sejak Departemen Sosial menggulirkan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing pada 1970-an. Program ini cukup berhasil untuk komunitas Batin Sembilan karena mereka mau diajak hidup menetap. Tapi tidak demikian halnya dengan Orang Rimba yang tetap bertahan dengan pola hidup nomad.

    Note : boleh percaya boleh tidak, karena banyak versi

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar