Kamis, 22 Mei 2014

FILTER DAN PENGAWASAN PRODUK KEUANGAN SYARIAH

Secara sederhana ekonomi Islam berkarakter ekonomi produktif, dan aplikasi keuangan syariah sepatutnya erat kaitannya dengan aktifitas ekonomi produktif (riil) tersebut. Namun mekanisme filter syariah yang kuat perlu diterapkan dalam keluarnya produk-produk baru keuangan syariah serta sistem pengawasannya yang ketat pula.

Dewasa ini, ada isu tentang fatwa shopping (menjual fatwa) yang dikritisi oleh berbagai pihak. Dan dilapangan pun, ada Lembaga Keuangan Syariah (Perbankan/Asuransi, dll) yang tidak menerapkan sistem syariah secara murni. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, seperti: 
  1. Keberagaman pemikiran syariah yang begitu bervariasi sehingga dalil-dalil yang ada menyediakan semua pilihan hukum atas transaksi tertentu; 
  2. Sharia governance system belum begitu disiplin seperti belum ada pemisahan yang jelas antara otoritas fatwa dengan praktisi industry tidak ada standard tertentu atas kualitas anggota otoritas fatwa; 
  3. Belum tersedia prosedur yang standard dengan parameter yang jelas dan terukur menggunakan berbagai perspektif dalam pengambilan keputusan fatwa; 
  4. Dominannya hegemoni pasar (preferensi praktisi industri dan nasabah) atas perkembangan industri; 
  5. Lemahnya institusi kontrol atau penyeimbang yang berperan memberikan evaluasi dan otokritik terhadap apa yang saat ini sedang berkembang dan dikembangkan.
Untuk mengatasi problem-problem diatas, maka sangat perlu diimbangi dengan penyediaan sumber daya manusia (SDM) ekonomi syariah yang memadai.

Dr. Sayd Farook, Head of Global Islamic Capital Market dari Thomson Reuters – UK, mengangkat isu ini dalam training tentang sharia governance. Dr. Farook mengungkapkan kegelisahannya melihat kelemahan yang ada di sharia governance saat ini. 

Fakta-fakta yang diungkapkan Dr. Farook begitu menarik, seperti Top 50 Scholars dunia mengokupasi sekitar 834 lembaga keuangan syariah internasional sebagai otoritas fatwanya. Beberapa scholars menjadi sharia adviser (juga memiliki tugas mengeluarkan fatwa) di lebih 30 institusi, bahkan ada yang sampai lebih dari 80 institusi! Sampai-sampai di negara asalnya satu scholar dapat dikatakan menguasai sekitar 40% sampai 80% fatwa powers dari industri nasionalnya.

Bagaimana dengan Indonesia? 
Pekerjaan Rumah (PR) yang paling utama saat ini dalam pembenahan "sharia governance" industri keuangan syariah di Indonesia adalah pemisahan yang jelas antara pengawas syariah di lembaga keuangan syariah dengan otoritas fatwa. Cepat atau lambat hal ini menjadi syarat utama dalam rangka mewujudkan industri keuangan syariah yang sehat. Walloohu a’lam.

HIMBAUAN
Mari sama-sama mengawasi Lembaga Keuangan Syariah dalam menjalankan usahanya agar benar-benar murni syariah. Hal ini bukan saja tugas & tanggung jawab Otoritas Jasa Keuangan (OJK), DSN-MUI, Praktisi dan Akademisi Ekonomi Syariah yang mengawasinya, tetapi juga semua Nasabah Lembaga Keuangan Syariah yang jika menemukan kejanggalan serta pelanggaran maka selayaknya mengadukannya kepada Otoritas yang Berwenang.

Oleh : Actora Yandra
Sebagian besar Di ambil & Di edit dari Tulisan Abiaqsa 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar