Sabtu, 28 Juni 2014

ADAB ISLAMI HUTANG PIUTANG



1.   Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Dalilnya firman Alloh : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Alloh telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Alloh Robbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Alloh dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Alloh ; Alloh mengajarmu ; dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282) 

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, “ini merupakan petunjuk dari-Nya untuk hamba-Nya yang mu’min. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Alloh Subhaanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Alloh dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316). 

2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147) 

Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Alloh dan Rosul-Nya. Sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Alloh Ta’ala. 

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahulloh berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauannya sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun (tanpa) berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51). 

3.   Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan.
Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi shollalloohu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”. (HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)

Dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu ia berkata: “Aku mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)

4.   Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya.
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a)    Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b)   Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c)  Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
d) Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya. Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Alloh pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh tidak disertai dengan niat yang baik, maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana pula di akhirat yang kekal abadi?

5.   Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman.
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)

Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga/tambahan yang diharamkan. 

6.  Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.
Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, yang awalnya terjalin hubungan yang baik, namun berubah menjadi permusuhan dan perselisihan.

7.   Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin.
Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya).

8. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin ‘Abdulloh Rodhiallohu ‘anhu, ia berkata: (Ayahku) ‘Abdulloh meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shollallohu ‘alaihi Wasallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shollallohu ‘alaihi Wasallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shollallohu ‘alaihi Wasallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).

9.   Bersegera melunasi hutang.
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi Wasallam: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427). 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Rodhiallohu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390) 

10. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280). 

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Alloh dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963) 

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Alloh Subhanahu Wa Ta’ala menganugerahkan kepada kita semua rezeki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Aamiin. 
Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar