Rabu, 18 Juni 2014

SISTEM PEMUKIMAN DAN KEKERABATAN SUKU KERINCI



Model kekerabatan Masyarakat Suku Kerinci
Pada masa lampau masyarakat di alam Kerinci hidup secara mengelompok dan tingal di pemukiman yang disebut   “Duseung”   (Dusun). Sebuah dusun dihuni oleh  masyarakat dari satu akar kelompok keturunan (Geneologis) yang satu keturunan yang berdasarkan garis  keturunan Matrilineal.

Didalam  “Duseoung” (Dusun) terdapat beberapa “Laheik Jajou” / larik rumah panjang yang dibangun  secara berdempetan yang dihubungkan dengan  pintu dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap larik dibangun rumah khas Kerinci berupa rumah panjang, dan setiap larik memiliki tetua suku, dan nama larik disesuaikan dengan nama suku yang menetap, dari kelompok larik terdapat beberapa “Tumbi”

Tumbi adalah sebuah kelompok kecil masyarakat di dalam  larik, dalam satu keluarga kecil yang terdiri dari beberapa  anggota keluarga kerabat dekat.Selanjutnya kelompok terpenting diantara tumbi tumbi yang ada di sebut “Kalbu”, dalam Kalbu terdapat pemangku adat yang mengatur jalannya kehidupan  masyarakat dalam kalbu (diantara perauknya). Gabungan dari beberapa “Duseoung” (Dusun) dan kelompok masyarakat adat di sebut “Kemendapoan”  yang dipimpin  “Mendapo”. Dalam  realita kehidupan masyarakat, bila warganya menetap di luar dusun nya, namun secara adat / budaya mereka masih tetap sebagai warga luhah asalnya.

Bentuk asli territorial yang ditempati oleh sekumpulan orang disebut ”Naghoi ” atau ”Duseung”. Naghoi telah mempunyai tatanan kemasyarakatan yang dipimpin kepala  kepala suku yang bergelar Depati atau Ninik mamak dalam bentuk  Republik kecil. Neghoi atau ”Negeri” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kota, perkotaan atau kerajaan.

Umumnya  istilah dusun lebih populer di alam Kerinci, sedangkan  dusun ada yang besar dan ada yang kecil, tergantung jumlah masyarakat yang menempati wilayah,seperti dusun Sungai Penuh lebih besar  dari  dusun Bernik, dusun  Koto Pudung Tanah Kampung lebih besar dari Dusun Koto Baru Tanah Kampung dusun Tanjung Tanah lebih besar dari dusun Ujung Pasir, akan tetapi sistim pemerintahan adatnya tetap sama yakni  ”Seko Tigo Takah ” pada ungkapan lama dikenal dengan “berdiri rumah sekata Tengganai, berdiri luhak sekata Penghulu, berdiri  alam  sekato Rajo ”

Status dusun sebenarnya geografis saja,petunjuk atau lantak adanya suatu negeri, mendirikan dusun erat dengan faktor air yaitu dipinggir sungai atau danau, sedangkan yang dimaksud dengan negeri adalah kesatuan geografis, yuridis, politik dan administrasi. Negeri adalah semacam desa / kelurahan yang berpemerintahan (dorps - republiek). Karena negeri menyangkut faktor manusia dan lingkungannya, maka negeri dimasukan dalam kata ”seko“ (Pusaka) yakni negeri yang empat. Negeri yang empat dimaksud adalah:
  • Talang atau Taratak,ialah pondok didalam hutan atau dipinggir sungai yang ditempati sekelompok kecil  orang orang
  • Koto ialah tempat awal pertamakali pemukiman  masyarakat  (orang), tempat pertama  kali mencencang, mengurat mengukir, cikal bakal perkembangan masyarakat, dalam legenda Kerinci ialah tempat orang sakti bertitian teras bertangga batu
  • Kampung,ialah tempat dimana orang sudah  mempunyai kurung rapat (Kerapatan Adat), telah berundang berlembaga, berlubuk bertapian, adat diatas tumbuh lembago di atas tuang
  • Dusun ialah tempat pemukiman masyarakat banyak,berpuak puak,bersuku suku,dalam luhah ada dalam kelebu ada perut. Kehidupan  masyarakat sudah teratur, mempunyai balai adat dan masjid, lengkap dengan kebesaran adat lama pusako usang, seko gelar boleh disandang, seko tanah boleh di ico (digarap)

Dusun pada hakekatnya telah mencerminkan negeri  keseluruhan  atau  dusun merupakan  sebutan lain  dari  dari  ”Neghoi”  (negeri)  dusun terdiri dari beberapa “Luhah”. Luhah terdiri dari beberapa “perut”, sedangkan  perut  terdiri dari beberapa  Kelebu  dan  kelebu  mempunyai beberapa Tumbi atau Pintu. Pengertian  antara ”perut” dan “kelebu”  dalam prakteknya agak kabur. Pada umumnya “Kelebu” setingkat “Perut”, perbedaannya terletak pada ico pakai setempat, perut menunjukan kelompok atau  golongan, sedangkan kelebu menunjukan asal usul ninik  mamak dari garis  matrilineal.

Dusun dibangun atas beberapa rumah panggung yang disebut “Laheik  Jajou” pada sebidang tanah persegi panjang. Laheik Jajou adalah rumah berlarik yang berjajar,.bangunan laheik jajou membujur dari timur kebarat  menurut  arah terbitnya matahari. Tanah empat persegi panjang  dinamai  ”Pahaik besuduk mpak” (parit yang bersudut empat)  status tanah bersudut empat adalah tanah adat atau tanah  ajun  arah  ninik mamak, hak pakai  tanah  diatur menurut hukum ninik mamak. Penguasaan atas tanah ajun arah oleh seseorang  menjadi milik pribadi akan tetapi tidak diperkenankan atau tidak diperbolehkan untuk diperjual belikan.

Tanah bersudut empat itu sebenarnya adalah milik anak betino, kaum ibu atau pihak perempuan  yang  pengaturannya kuasa anak jantan. Oleh sebab itu status  negeri atau dusun dusun di alam Kerinci adalah hak perempuan,hanya diatur secara adat oleh ninik mamak beserta depati dari pihak pria.

Ketika Lembah Kerinci telah mulai kering dan airnya berangsur surut,pemukiman masyarakat berpindah kelokasi yang lebih rendah,menurut tuturan “Tembo”, kayulah berlareh, sungailah berbatang, tanahlah  bergabung, berkuak berbagi tanah disungkup jala lebar, terentak tembilang datuk depati Singarapi, terlaras tanah bata menjadi parit penggal negeri, menjadi larik yang berjajar, halaman yang bersepai lawang dikatup dua, kembali arah kembali keajun kepada  masing masing ninik mamak.

Umouh Gdeang dan Tanoh Mandapea
Dusun  merupakan tempat berdirinya “Umouh Gdeing” atau rumah gedang, rumah gedang ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat dan pengaruh sakral pada pandangan anak anak negeri di dusun.

Yang dimaksud  rumah  adat di alam Kerinci (Depati Rusdi Daud) adalah rumah larik berbanjar, berbeda dengan “Umouh Gdeang”, larik  sebagai rumah panjang yang dibagi atas petak petak yang ditempati oleh satu keluarga  batih  (batih terdiri dari suami-istri beserta anak anak mereka). Susunan keluarga batih ini menurut sistim perut, kelebu, tumbi  atau  pintu yang merupakan stelsel matrilineal, jadi tidak benar ada pendapat yang mengatakan alam Kerinci mempergunakan sistem bilateral, andaipun ada hal ini dikarenakan Ico pakai buatan yang menyimpang dari  ketentuan adat asli. Salah satu bagian petak rumah yang tertua pada rumah  larik  dijadikan “Umouh  Gdeang”, rumah ini berfungsi sebagai:
  • Tempat menyimpan benda benda budaya/benda pusaka ninik moyang seperti keris, tombak Tambo, Piagam, Cap Raja, dll.
  • Tempat musyawarah ketua ketua kelebu atau perut yang jabatan/gelarnya Depati, Permenti atau ninik  mamak, tempat kepatan Anak jantan anak betino
  • Tempat penobatan anak jantan untuk menjadi Depati Ninik mamak yang telah dipilih oleh anak negeri yang diadakan pada saat kenduri Sko
  •  Tempat para Ninik mamak memutuskan hukum adat, jika timbul  sesuatu masalah yang menyangkut  undang Adat.

Petak ruang depan rumah adat dapat dihubungkan satu sama lainnya oleh sebuah pintu, sehingga satu larikan rumah dapat dipertemukan antara  satu  dengan  yang  lain. Biasanya pintu tersebut dibuka  jika  penduduk  ingin melaksanakan musyawarah besar seperti Kenduri Sko. Kenduri  Sko merupakan suatu peristiwa perhelatan terbesar menurut adat di alam Kerinci.

Rumah larik bertingkat dua,rumah larik ini memiliki tiang kayu bersisi delapan kualitas bagus dan tahan, diameter besar, pada tiang tiang kayu terdapat ukiran flora semacam patma.  Pada dinding dinding papan tebal terdapat ukiran selampit  simpai dengan  beragam motif flora,para pemangku adat berpendapat tiang bersisi delapan  itu mengandung makna “suku empat puyang delapan”, yakni asal usul suami istri ditarik silsilahnya keatas. Ada lagi pengertian, penantik mendah dari arah delapan  penjuru mata angin, berkembang lapik berkembang tikar. Ukiran selampit simpai semacam jalinan spiral, spiral juga ditemukan pada alat alat rumah tangga seperti tabung aye kawo, mundang, gantang, dll.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sungai Penuh, Manaf Rifin, S.Pd dan Budayawan Iskandar Zakaria  mengemukakan di Kerinci tidak terdapat ukiran bermotifkan fauna, hal ini kemungkinan karena masuknya pengaruh ajaran agama Islam yang melarang membuat gambar manusia dan fauna.Rumah rumah tua yang disebut rumah larik saat ini semakin tergusur dan musnah kalah bersaing  dengan rumah rumah arsitektur modern yang lebih individualisme, rumah rumah tua dibanyak desa hanya tersisa beberapa buah dalam kondisi tidak layak huni dan sebagian ditinggalkan penghuni.

Budayawan Alam Kerinci Depati H. Alimin, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sungai Penuh Manaf Rifin, S.Pd kepada penulis (April  2012)  menyebutkan   pada  zaman  dahulu kala  atap rumah larik terbuat dari potongan potongan bambu yang disebut atap lapis. Khusus untuk bangunan balai  adat  atau “Bale nan Begunjong due di tanah Mendapea” pada masa lalu menggunakan atap dari daun kemumu, daun puar  atau  ijuk. Keterangan mengenai balai bergonjong dua diungkap  dalam Tambo Kerinci  yang berbunyi:  ”Di ateh tanah nan sebingkeh dibawah payung nan sekaki, tanah padat sendi kerajaan. Di tegak balai nan beratap ijuk bagunjong due nan berdinding angin nan bertiang teras jelatang nan berpasak gading tunggal”.

Tata Tertib di Rumah Gdeang
Saat  berada di rumah Adat  Rumah  Gdeang  (H. Qadri  Depati Intan dan Dr. H. Nasrul Qadir) menurut adat  lamo  pusako  usang, waris yang disambut, pesan atau cerita yang dipegang   sejak dari nenek moyang  hingga saat ini duduk di rumah adat (Rumah Gdeang)  memiliki aturan dan tata tertib yakni :
  • Duduk yang beradat,artinya duduk yang memiliki peraturan,sopan santun dan tata tertib.
  • Duduk bersila,tidak boleh duduk mencangkung dan mengunjurkan kaki saat acara adat berlangsung kecuali saat beristirahat.
  • Bagi para Depati-depati duduk disebelah mudik,duduk bersandar di bendum jati.
  • Ninik mamak duduk diruang sebelah tengah,dinding sebelah kehalaman menghadap kerumah dalam (dapur) untuk memudahkan memberi intruksi/perintah kepada hulubalang sehubungan dengan keperluan  sidang Hulubalang duduk diruang sebelah hilir,dekat pintu tangga,untuk memudahkan menerima intsruksi/perintah, dengan kondisi siap siaga dan waspada dan menjaga keamanan ketertiban dan mewaspadai setiap ancaman dan ganguan dari dalam maupun dari luar. 
  • Orang sumando/anak betino duduk dirumah dalam, untuk mempersiapkan perbekalan yang diperlukan selama sidang adat .dan menungggu sidang adat sampai selesai.


Tata Tertib berbicara di rumah Gdeang”
Menurut Depati Intan tokoh adat “Tanah Sekudung Siulak”, para Depati dalam sidang/rapat adat boleh berbicara dengan mempermainkan telunjuknya keatas, kekanan dan kekiri,sebagai tanda raja duduk di kerajaannya, tegak tidak tersundak, melenggang tidak terpapas, didalam wilayahnya Depati lah yang memegang Celak dan Piagam diatas, setiap tutur katanya membuahkan ”mas seemas”. Ninik mamak dalam berbicara tidak boleh mempermainkan telunjuknya keatas, hanya boleh mempermainkan telunjuknya kekiri kekanan  dan kebawah, yakni menandakan dialah yang memegang celak piagam dibawah, memegang ajun arah, ukur dan jangko, kerat kudung tanah,yang mengirit  empat tali dan menukun lantak, yang memegang  uteh bateh, keair bertanam batu, kedarat bertanam aur atau puding, setiap tutur katanya berbuahkan ”Mas sekundi”.

Pemangku adalah anak timang depati, pengulas kato penyambung lidah, dia yang memegang “tando yang bertampin” atau mas yang bertindih serta membawanya ke muka sudang pengadilan adat,dan menyerahkan kepada penghulu penghulu untuk diadili, pemangku bertungkatkan mas sekundi. Hulu balang tidak dibenarkan berbicara keras dimuka Depati Ninik mamak, atau menunggak perintah, sebab hulu balang adalah kaki tangan Ninik mamak dan Depati serta memegang keamanan/ketertiban umum.

Setiap Mendapo atau “Federasi ke Depatian” di alam Kerinci mempunyai Tanah Mendapo. Tanah Mendapo berfungsi sebagai tempat membentuk “Karang Setio”. Karang setio atau Karang buatan,  bait  kesetiaan  kepada  aturan yang telah disepakati. Tanah Mendapo mempunyai pengertian tempat atau balai pertemuan para Depati Ninik mamak dengan anak kemenakannya untuk membicarakan sesuatu masalah yang prinsipil  seperti upacara penobatan para pemangku adat, ninik mamak, perang, dll.

Disamping tanah bersudut empat, tanah mendapo, adalagi semacam status tanah yang disebut tanah hamparan, tanah hamparan ada 3 tempat di Alam Kerinci yakni:
1. Hamparan tua di Hiyang Tinggi
2. Hamparan besar tempatnya di Rawang
3. Hamparan Kadipan di Sanggaran Agung.

Hamparan di Hiang Tinggi sudah lama tidak berfungsi dan kedudukkannya diganti dengan Hamparan besar tanah Rawang setelah perubahan dari Balai Melintang Koto Keras. Hamparan tua timbul pada masa pemerintahan Sigindo sigindo dan Siak Langin (Siak Lengih) menguasai alam Kerinci. Hamparan Kadipan ialah batas perjalanan atau tepatan para raja raja dari Jambi yang naik ke alam  Kerinci untuk mengadakan pertemuan dengan depati depati dan kepala  kepala  suku se  alam Kerinci, disini raja masih di daulat dan di agungkan.

Akan tetapi  bila masuk kehamparan besar tanah Rawang, raja duduk sama rendah tegak  sama tinggi dengan para depati-depati se alam Kerinci, kedudukan hamparan besar tanah Rawang pada saat ini dapat kita identikkan sebagai gedung MPR/DPR/DPD Republik Indonesia.

Tanah Hamparan Besar adalah tempat pertemuan federasi uni ke depatian se alam Kerinci untuk membicarakan masalah masalah Kerinci keseluruhan, seperti transkripsi dengan kerajaan tetangga dan lain lain yang mengatas namakan Kerinci.

Ciri-Ciri Dusun Menurut Adat
Menurut adat di alam Kerinci ciri ciri adanya dusun mempunyai empat tanda yakni:
  • Berbalai, rumah pesusun untuk sidang adat, tempat  kerapatan depati ninik mamak dan anak kemenakannya.
  • Bermesjid, surau atau mushala tempat pengajian peribadatan umum. 
  • Bergelangang, halaman tempat mengadakan  keramaian perhelatan anak anak negeri
  •  Berlubuk, bertapian, pemandian umum yang terpisah  antara laki laki dan wanita.

Selain tanah adat kurung kampong parit bersudut empat,  maka diluar batas parit bersudut empat terdapat pula “tanah ajun arah” atau tanah ulayat suatu kaum atau puak. Tanah hak perorangan di alam Kerinci berdasarkan Duduk Adat dan mempunyai ibu tanah, seperti pembelian, hibah dan sebagainya. Ini dikategorikan dalam  istilah tembilang emas ataupun tembilang besi. Warga yang menempati tanah pembelian tadi mempunyai kewajiban, “mengisi cupak penuh gantang  melilit” kepada kaum atau kelebu asal tanah pembeliannya. Mengisi cupak penuh gantang melilit berarti  pekerjaan besar atau pekerjaan kecil di dalam kelebu ibu tanah mereka ikut bertanggung jawab, mengingat dia telah menjadi anak kemenakan dari ninik mamak kelebu yang bersangkutan.

Dimana  tembilang terhentak  disitu tanaman tumbuh, dimana ranting dipatah disana pula airnya diminum, adat orang  diisi  lembagonyo dituang, kebukit samo didaki kelurah sama diturun, terhampar sama kering, terendam sama basah, jangan terasa gedang hendak melanda, terasa  panjang  hendak melilit, karena  luhak  itu berpenghulu alam itu berajo negeri berpagar adat tapian berpagar basa, alam Kerinci berpagar  adat, mempunyai undang nan berpikul teliti nan bergaleh.

Perkembangan  Orang Suku Kerinci Masa Kini
Masyarakat suku Kerinci (Yapesman, SH dan Suhardiman, SH  I/2/2012) dari zaman dahulu dikenal sebagai suku / masyarakat perantau, mereka bahkan merantau dan menetap hingga ke negara tetangga dan membentuk kelompok pemukiman di berbagai daerah di nusantara. Di Propinsi Jambi, orang  suku Kerinci menyebar hampir ke setiap sudut daerah hingga wilayah terpencil seperti di Air Liki, Serampas, SungaiTenang, Hitam Ulu, Sungai Manau (Merangin), Rimbo Bujang, Muara Bungo, Kabupaten Tebo, Mendahara Ulu, Parit Culum (Tanjung  Jabung  Timur), Kasiro, Sekeladi, Bukit Bulan, Air Hitam, Pauh, Mandiangin (Sarolangun), meski  berada di luar alam  Kerinci namun keturunan masyarakat alam Kerinci masih menggunakan  sistem  kekerabatan  seperti  di daerah  asalnya  Kerinci.

Warga perantauan masih menggunakan bahasa dan dialeg Kerinci sebagai bahasa komonikasi  dengan sesama pemukim yang di huni masyarakat Kerinci diluar daerah dapat kita lihat di Tanjung Morawa di Sumatera Utara, Desa Tanjung Pauh di Kabupaten Muara Jambi. Warga keturunan Kerinci juga banyak yang merantau ke Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, Jawa Barat dan beberapa kota lainnya di nusantara, beberapa orang lainnya memilih hidup menetap dan menikah dengan komunitas masyarakat lain di nusantara, beberapa  diantaranya menikah dengan  bangsa lain seperti dengan warga Amerika, Italia, Malaysia. 

Dewasa ini ribuan warga Kerinci banyak yang  menetap  dan menjadi penduduk tetap di Negara jiran Malaysia, mereka yang menetap sebahagian adalah tenaga kerja dan penduduk tetap Semenanjung  Malaysia  itu bermukim di daerah Ulu Langat, Negara bahagian Selangor. Sayuti Hamzah (50 Tahun) warga Kerinci asal Desa Seleman Kecamatan Danau Kerinci yang merantau dan bermukim  di Syah Alam, Selangor, Malaysia, kepada Penulis (8-9-4-2012) mengemukakan pada tahun 1939  jumlah warga Kerinci yang merantau ke Malaysia  mengalami peningkatan yang cukup pesat. Pada  akhir abad  ke  XIX  dan  awal  abad  ke  XX  (1900 – 1905) merupakan gelombang migrasi terbesar orang suku Kerinci ke Malaysia,pada saat itu  beberapa  warga Kerinci sudah banyak yang menetap  di Kelang”, pada  tahun  tahun  berikutnya terutama sejak tahun  1939  penduduk  asal Kerinci  mulai menempati beberapa  kawasan perkebunan di sekitar Hulu Langat, Kuala Kubu, Kemensyah, Huluyam, awalnya  mereka dengan bantuan dan hubungan  baik dengan penduduk penduduk lokal setempat membuka lahan lahan perkebunan karet, corak kehidupan  dan faktor kesamaan ras  dan budaya  '‘Melayu membuat warga asal Kerinci dengan mudah  dapat diterima oleh  penduduk  lokal, beberapa  puluh orang diantaranya  melakukan perkawinan  dengan  warga setempat, dan pada awal Kemerdekaannya tahun 1957 Pemerintahan (Kerajaan - Kesultanan) memberikan keleluasaan kepada setiap warga  keturunan  Indonesia  termasuk warga suku Kerinci untuk menjadi penduduk tetap dan warga negara Malaysia, dan hingga saat ini warga asal Kerinci telah beranak pinak dan menjadi warga Malaysia, Puluhan orang dari generasi  ke 3 hingga  generasi ke 5  menjadi pejabat penting  pada  pemerintahan dan  Kerajaan Malaysia dan pegawai pegawai Pemerintahan dibeberapa instansi pemerintahan Kerajaan Malaysia, anak-anak Malaysia keturunan Kerinci maupun anak anak TKI yang lahir di Malaysia ketiga pulang kekampung tanah kelahiran nenek moyang mereka menggunakan 3 bahasa yakni Bahasa Melayu dialeg Malaysia, Bahasa Inggris dan Bahasa Kerinci.  

Pada saat ini di negara Malaysia banyak migran asal Kerinci yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mereka sebagian besar bekerja pada sektor informal, diantaranya bekerja pada perusahaan (Pabrik) Kilang, Supermarket, Jasa service dan beberapa diantaranya menjadi pekerja  rumah tangga. Jika dibandingkan dengan pendapatan di negeri sendiri, pendapatan para pekerja terutama untuk jasa informal relatif lebih baik, rata rata pendapatan paling rendah (minimal) para pekerja sektor informal  (TKI) sebesar 600 - 700  Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp.2.500.000 – Rp.3.500.000 / bulan.  Dan  jika mereka pandai berhemat mereka bisa menabung  rata rata Rp.1.500.000 / bulan setelah dikeluarkan biaya kebutuhan hidup. 

Di antara warga Malaysia keturunan Kerinci dan para Tenaga Kerja Indonesia yang bernasib baik dapat hidup berkecukupan, khusus untuk TKI mereka dapat menabung dan mengirimkan  sisa hasil  pendapatan untuk mendirikan bangunan  rumah  permanen dan biaya pendidikan bagi  putra putri dan keluarga yang tinggal di tanah kelahiran Kerinci, Di Malaysia ini hanya orang malas yang hidup terlantar, dan jika ingin mendapatkan pendapatan lebih baik  Malaysia lebih membutuhkan tenaga terampil ‘Kata Sayuti Hamzah’, jika tidak memiliki ketrampilan pekerja dapat bekerja serabutan, di Negara Malaysia apapun perkejaan ada, kuncinya mau kerja keras dan tidak memilih milih pekerjaan, tentunya yang halal. 

Meski anak cucu orang suku Kerinci di negara Malaysia telah menjadi warga tetap Malaysia,namun secara  historis dan kebudayaan sebagian besar dari generasi muda Malaysia keturunan Kerinci masih mengenal dan memahami kebudaayaan dan tanah tumpah darah kelahiran nenek moyang mereka di alam Kerinci. Saat ini pada beberapa daerah / wilayah  terdapat kampung kampung yang mayoritas penduduknya adalah penduduk asal Kerinci, kampung pemukiman di maksud  adalah  Sungai Gahal, Sungai  Semungkih dan Pansun.  Ratusan kepala keluarga warga Malaysia ada yang berasal dari keturunan  Kerinci yang secara sudah turun temurun menetap di Malaysia. Keturunan  generasi ke 3 sampai dengan keturunan generasi  ke 5 warga Malaysia asal Kerinci secara periodik  pada saat  liburan  melakukan kunjungan  “Melancong”  ke Kerinci untuk berwisata sambil menjenguk kampung halaman asal nenek moyang mereka.gelombang migrasi orang Kerinci ke Semenanjung  Malaysia  sudah di mulai sejak kurun waktu  tahun  1900  -  1915, saat ini (Sayuti Hamzah) diperkirakan tidak kurang  dari 180.000  jiwa warga Malaysia keturunan asal Kerinci dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI-TKW)  menetap diberbagai  kawasan  pemukiman di Semenanjung Malaysia.

Penduduk Malaysia keturunan Kerinci dan para tenaga kerja Indonesia asal Kerinci sesuai dengan kebiasaannya hidup dan bermukim secara mengelompok, Kelompok keluarga Kerinci yang mendiami satu kawasan biasanya berasal dari dusun dusun asli Kerinci yang mereka tinggalkan, sebagai contoh, Sayuti Hamzah mengemukakan, warga Kerinci asal Dusun Seleman Kecamatan Danau Kerinci enetap di  kawasan  Kuala Kubu Baru dan Hulu Langat, orang Dusun Tanjung Tanah bermukim di kawasan Kampung Kerinci dan Kampung Pasir , orang dusun Jujun dan orang dusun Pulau Tengah menetap di kawasan Pansun dan  Hululangat Ujung.

Orang Dusun Lempur Danau dan Dusun Semerap menetap di kawasan pemukiman Sungai Pencala, Orang Kerinci Mudik terutama orang Dusun Sungai Abu, Sungai Tutung, Sekungkung dan sekitarnya umumnya menetap di kawasan pemukiman Sungai Tekali,Orang Dusun Sanggaran Agung, Pendung Talang Genting Kecamatan Danau Kerinci, Temiai Kecamatan Batang Merangin, dan sekitarnya menetap dikawasan Gombak Ujung, warga dari dusun dusun lainnya asal alam Kerinci sebagian lain bermukim secara terpencar di kawasan Sabak Bernam, Tanjung Malim, Perak, Pahang, Huluyam, Kelang, dan Selangor.

Pada dekade tahun 1900 an hingga  tahun 1950 an jika orang Kerinci merantau ke Semenanjung Malaka, mereka mengatakan pergi ke Kelang, hal ini mengingat daerah ini sebelum  merdeka merupakan pusat pemerintahan dan perdagangan berada di Kelang (Selangor) dan setelah merdeka, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuala Lumpur.


PENULIS : BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG, DKK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar