Model kekerabatan Masyarakat Suku Kerinci
Pada masa lampau masyarakat di alam Kerinci hidup secara mengelompok dan
tingal di pemukiman yang disebut
“Duseung” (Dusun). Sebuah dusun
dihuni oleh masyarakat dari satu akar
kelompok keturunan (Geneologis) yang satu keturunan yang berdasarkan garis keturunan Matrilineal.
Didalam “Duseoung” (Dusun)
terdapat beberapa “Laheik Jajou” / larik rumah panjang yang dibangun secara berdempetan yang dihubungkan dengan pintu dari satu rumah ke rumah yang lain. Setiap
larik dibangun rumah khas Kerinci berupa rumah panjang, dan setiap larik
memiliki tetua suku, dan nama larik disesuaikan dengan nama suku yang menetap, dari
kelompok larik terdapat beberapa “Tumbi”
Tumbi adalah sebuah kelompok kecil masyarakat di dalam larik, dalam satu keluarga kecil yang terdiri
dari beberapa anggota keluarga kerabat
dekat.Selanjutnya kelompok terpenting diantara tumbi tumbi yang ada di sebut
“Kalbu”, dalam Kalbu terdapat pemangku adat yang mengatur jalannya kehidupan masyarakat dalam kalbu (diantara perauknya). Gabungan
dari beberapa “Duseoung” (Dusun) dan kelompok masyarakat adat di sebut
“Kemendapoan” yang dipimpin “Mendapo”. Dalam realita kehidupan masyarakat, bila warganya
menetap di luar dusun nya, namun secara adat / budaya mereka masih tetap
sebagai warga luhah asalnya.
Bentuk asli territorial yang ditempati oleh sekumpulan orang disebut
”Naghoi ” atau ”Duseung”. Naghoi telah mempunyai tatanan kemasyarakatan yang
dipimpin kepala kepala suku yang
bergelar Depati atau Ninik mamak dalam bentuk
Republik kecil. Neghoi atau ”Negeri” berasal dari bahasa Sanskerta yang
berarti kota, perkotaan atau kerajaan.
Umumnya istilah dusun lebih
populer di alam Kerinci, sedangkan dusun
ada yang besar dan ada yang kecil, tergantung jumlah masyarakat yang menempati
wilayah,seperti dusun Sungai Penuh lebih besar
dari dusun Bernik, dusun Koto Pudung Tanah Kampung lebih besar dari
Dusun Koto Baru Tanah Kampung dusun Tanjung Tanah lebih besar dari dusun Ujung Pasir,
akan tetapi sistim pemerintahan adatnya tetap sama yakni ”Seko Tigo Takah ” pada ungkapan lama dikenal
dengan “berdiri rumah sekata Tengganai, berdiri luhak sekata Penghulu,
berdiri alam sekato Rajo ”
Status dusun sebenarnya geografis saja,petunjuk atau lantak adanya suatu
negeri, mendirikan dusun erat dengan faktor air yaitu dipinggir sungai atau
danau, sedangkan yang dimaksud dengan negeri adalah kesatuan geografis,
yuridis, politik dan administrasi. Negeri adalah semacam desa / kelurahan yang
berpemerintahan (dorps - republiek). Karena negeri menyangkut faktor manusia
dan lingkungannya, maka negeri dimasukan dalam kata ”seko“ (Pusaka) yakni
negeri yang empat. Negeri yang empat dimaksud adalah:
- Talang atau Taratak,ialah pondok didalam hutan atau dipinggir sungai yang ditempati sekelompok kecil orang orang
- Koto ialah tempat awal pertamakali pemukiman masyarakat (orang), tempat pertama kali mencencang, mengurat mengukir, cikal bakal perkembangan masyarakat, dalam legenda Kerinci ialah tempat orang sakti bertitian teras bertangga batu
- Kampung,ialah tempat dimana orang sudah mempunyai kurung rapat (Kerapatan Adat), telah berundang berlembaga, berlubuk bertapian, adat diatas tumbuh lembago di atas tuang
- Dusun ialah tempat pemukiman masyarakat banyak,berpuak puak,bersuku suku,dalam luhah ada dalam kelebu ada perut. Kehidupan masyarakat sudah teratur, mempunyai balai adat dan masjid, lengkap dengan kebesaran adat lama pusako usang, seko gelar boleh disandang, seko tanah boleh di ico (digarap)
Dusun pada hakekatnya telah mencerminkan negeri keseluruhan atau dusun merupakan sebutan lain dari dari ”Neghoi” (negeri) dusun terdiri dari beberapa “Luhah”. Luhah terdiri dari beberapa “perut”, sedangkan perut terdiri dari beberapa Kelebu dan kelebu mempunyai beberapa Tumbi atau Pintu. Pengertian antara ”perut” dan “kelebu” dalam prakteknya agak kabur. Pada umumnya “Kelebu” setingkat “Perut”, perbedaannya terletak pada ico pakai setempat, perut menunjukan kelompok atau golongan, sedangkan kelebu menunjukan asal usul ninik mamak dari garis matrilineal.
Dusun dibangun atas beberapa rumah panggung yang disebut “Laheik Jajou” pada sebidang tanah persegi panjang. Laheik
Jajou adalah rumah berlarik yang berjajar,.bangunan laheik jajou membujur dari
timur kebarat menurut arah terbitnya matahari. Tanah empat persegi
panjang dinamai ”Pahaik besuduk mpak” (parit yang bersudut
empat) status tanah bersudut empat
adalah tanah adat atau tanah ajun arah
ninik mamak, hak pakai tanah diatur menurut hukum ninik mamak. Penguasaan
atas tanah ajun arah oleh seseorang
menjadi milik pribadi akan tetapi tidak diperkenankan atau tidak
diperbolehkan untuk diperjual belikan.
Tanah bersudut empat itu sebenarnya adalah milik anak betino, kaum ibu
atau pihak perempuan yang pengaturannya kuasa anak jantan. Oleh sebab
itu status negeri atau dusun dusun di
alam Kerinci adalah hak perempuan,hanya diatur secara adat oleh ninik mamak
beserta depati dari pihak pria.
Ketika Lembah Kerinci telah mulai kering dan airnya berangsur
surut,pemukiman masyarakat berpindah kelokasi yang lebih rendah,menurut tuturan
“Tembo”, kayulah berlareh, sungailah berbatang, tanahlah bergabung, berkuak berbagi tanah disungkup
jala lebar, terentak tembilang datuk depati Singarapi, terlaras tanah bata
menjadi parit penggal negeri, menjadi larik yang berjajar, halaman yang
bersepai lawang dikatup dua, kembali arah kembali keajun kepada masing masing ninik mamak.
Umouh Gdeang dan Tanoh Mandapea
Dusun merupakan tempat berdirinya
“Umouh Gdeing” atau rumah gedang, rumah gedang ini memiliki peranan yang sangat
penting dalam kehidupan masyarakat adat dan pengaruh sakral pada pandangan anak
anak negeri di dusun.
Yang dimaksud rumah adat di alam Kerinci (Depati Rusdi Daud)
adalah rumah larik berbanjar, berbeda dengan “Umouh Gdeang”, larik sebagai rumah panjang yang dibagi atas petak
petak yang ditempati oleh satu keluarga
batih (batih terdiri dari suami-istri
beserta anak anak mereka). Susunan keluarga batih ini menurut sistim perut, kelebu,
tumbi atau pintu yang merupakan stelsel matrilineal,
jadi tidak benar ada pendapat yang mengatakan alam Kerinci mempergunakan sistem
bilateral, andaipun ada hal ini dikarenakan Ico pakai buatan yang menyimpang
dari ketentuan adat asli. Salah satu
bagian petak rumah yang tertua pada rumah
larik dijadikan “Umouh Gdeang”, rumah ini berfungsi sebagai:
- Tempat menyimpan benda benda budaya/benda pusaka ninik moyang seperti keris, tombak Tambo, Piagam, Cap Raja, dll.
- Tempat musyawarah ketua ketua kelebu atau perut yang jabatan/gelarnya Depati, Permenti atau ninik mamak, tempat kepatan Anak jantan anak betino
- Tempat penobatan anak jantan untuk menjadi Depati Ninik mamak yang telah dipilih oleh anak negeri yang diadakan pada saat kenduri Sko
- Tempat para Ninik mamak memutuskan hukum adat, jika timbul sesuatu masalah yang menyangkut undang Adat.
Petak ruang depan rumah adat dapat dihubungkan satu sama lainnya oleh
sebuah pintu, sehingga satu larikan rumah dapat dipertemukan antara satu
dengan yang lain. Biasanya pintu tersebut dibuka jika
penduduk ingin melaksanakan
musyawarah besar seperti Kenduri Sko. Kenduri
Sko merupakan suatu peristiwa perhelatan terbesar menurut adat di alam
Kerinci.
Rumah larik bertingkat dua,rumah larik ini memiliki tiang kayu bersisi
delapan kualitas bagus dan tahan, diameter besar, pada tiang tiang kayu
terdapat ukiran flora semacam patma. Pada
dinding dinding papan tebal terdapat ukiran selampit simpai dengan
beragam motif flora,para pemangku adat berpendapat tiang bersisi
delapan itu mengandung makna “suku empat
puyang delapan”, yakni asal usul suami istri ditarik silsilahnya keatas. Ada
lagi pengertian, penantik mendah dari arah delapan penjuru mata angin, berkembang lapik
berkembang tikar. Ukiran selampit simpai semacam jalinan spiral, spiral juga
ditemukan pada alat alat rumah tangga seperti tabung aye kawo, mundang,
gantang, dll.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sungai Penuh, Manaf Rifin,
S.Pd dan Budayawan Iskandar Zakaria mengemukakan di Kerinci tidak terdapat ukiran
bermotifkan fauna, hal ini kemungkinan karena masuknya pengaruh ajaran agama
Islam yang melarang membuat gambar manusia dan fauna.Rumah rumah tua yang
disebut rumah larik saat ini semakin tergusur dan musnah kalah bersaing dengan rumah rumah arsitektur modern yang
lebih individualisme, rumah rumah tua
dibanyak desa hanya tersisa beberapa buah dalam kondisi tidak layak huni dan
sebagian ditinggalkan penghuni.
Budayawan Alam Kerinci Depati H. Alimin, dan Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Sungai Penuh Manaf Rifin, S.Pd kepada penulis (April 2012)
menyebutkan pada zaman
dahulu kala atap rumah larik
terbuat dari potongan potongan bambu yang disebut atap lapis. Khusus untuk
bangunan balai adat atau “Bale nan Begunjong due di tanah
Mendapea” pada masa lalu menggunakan atap dari daun kemumu, daun puar atau
ijuk. Keterangan mengenai balai bergonjong dua diungkap dalam Tambo Kerinci yang berbunyi: ”Di ateh tanah nan sebingkeh dibawah payung
nan sekaki, tanah padat sendi kerajaan. Di tegak balai nan beratap ijuk
bagunjong due nan berdinding angin nan bertiang teras jelatang nan berpasak
gading tunggal”.
Tata Tertib di Rumah Gdeang
Saat berada di rumah Adat Rumah
Gdeang (H. Qadri Depati Intan dan Dr. H. Nasrul Qadir) menurut
adat lamo pusako
usang, waris yang disambut, pesan atau cerita yang dipegang sejak dari nenek moyang hingga saat ini duduk di rumah adat (Rumah
Gdeang) memiliki aturan dan tata tertib
yakni :
- Duduk yang beradat,artinya duduk yang memiliki peraturan,sopan santun dan tata tertib.
- Duduk bersila,tidak boleh duduk mencangkung dan mengunjurkan kaki saat acara adat berlangsung kecuali saat beristirahat.
- Bagi para Depati-depati duduk disebelah mudik,duduk bersandar di bendum jati.
- Ninik mamak duduk diruang sebelah tengah,dinding sebelah kehalaman menghadap kerumah dalam (dapur) untuk memudahkan memberi intruksi/perintah kepada hulubalang sehubungan dengan keperluan sidang Hulubalang duduk diruang sebelah hilir,dekat pintu tangga,untuk memudahkan menerima intsruksi/perintah, dengan kondisi siap siaga dan waspada dan menjaga keamanan ketertiban dan mewaspadai setiap ancaman dan ganguan dari dalam maupun dari luar.
- Orang sumando/anak betino duduk dirumah dalam, untuk mempersiapkan perbekalan yang diperlukan selama sidang adat .dan menungggu sidang adat sampai selesai.
Tata Tertib berbicara di rumah Gdeang”
Menurut Depati Intan tokoh adat “Tanah Sekudung Siulak”, para Depati
dalam sidang/rapat adat boleh berbicara dengan mempermainkan telunjuknya
keatas, kekanan dan kekiri,sebagai tanda raja duduk di kerajaannya, tegak tidak
tersundak, melenggang tidak terpapas, didalam wilayahnya Depati lah yang
memegang Celak dan Piagam diatas, setiap tutur katanya membuahkan ”mas seemas”.
Ninik mamak dalam berbicara tidak boleh mempermainkan telunjuknya keatas, hanya
boleh mempermainkan telunjuknya kekiri kekanan
dan kebawah, yakni menandakan dialah yang memegang celak piagam dibawah,
memegang ajun arah, ukur dan jangko, kerat kudung tanah,yang mengirit empat tali dan menukun lantak, yang
memegang uteh bateh, keair bertanam
batu, kedarat bertanam aur atau puding, setiap tutur katanya berbuahkan ”Mas
sekundi”.
Pemangku adalah anak timang depati, pengulas kato penyambung lidah, dia
yang memegang “tando yang bertampin” atau mas yang bertindih serta membawanya
ke muka sudang pengadilan adat,dan menyerahkan kepada penghulu penghulu untuk
diadili, pemangku bertungkatkan mas sekundi. Hulu balang tidak dibenarkan
berbicara keras dimuka Depati Ninik mamak, atau menunggak perintah, sebab hulu
balang adalah kaki tangan Ninik mamak dan Depati serta memegang
keamanan/ketertiban umum.
Setiap Mendapo atau “Federasi ke Depatian” di alam Kerinci mempunyai
Tanah Mendapo. Tanah Mendapo berfungsi sebagai tempat membentuk “Karang Setio”.
Karang setio atau Karang buatan, bait kesetiaan
kepada aturan yang telah
disepakati. Tanah Mendapo mempunyai pengertian tempat atau balai pertemuan para
Depati Ninik mamak dengan anak kemenakannya untuk membicarakan sesuatu masalah
yang prinsipil seperti upacara penobatan
para pemangku adat, ninik mamak, perang, dll.
Disamping tanah bersudut empat, tanah mendapo, adalagi semacam status
tanah yang disebut tanah hamparan, tanah hamparan ada 3 tempat di Alam Kerinci
yakni:
1. Hamparan tua di Hiyang Tinggi
2. Hamparan besar tempatnya di Rawang
3. Hamparan Kadipan di Sanggaran Agung.
Hamparan di Hiang Tinggi sudah lama tidak berfungsi dan kedudukkannya
diganti dengan Hamparan besar tanah Rawang setelah perubahan dari Balai
Melintang Koto Keras. Hamparan tua timbul pada masa pemerintahan Sigindo
sigindo dan Siak Langin (Siak Lengih) menguasai alam Kerinci. Hamparan Kadipan
ialah batas perjalanan atau tepatan para raja raja dari Jambi yang naik ke
alam Kerinci untuk mengadakan pertemuan
dengan depati depati dan kepala
kepala suku se alam Kerinci, disini raja masih di daulat dan
di agungkan.
Akan tetapi bila masuk kehamparan
besar tanah Rawang, raja duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan para depati-depati se alam
Kerinci, kedudukan hamparan besar tanah Rawang pada saat ini dapat kita
identikkan sebagai gedung MPR/DPR/DPD Republik Indonesia.
Tanah Hamparan Besar adalah tempat pertemuan federasi uni ke depatian se
alam Kerinci untuk membicarakan masalah masalah Kerinci keseluruhan, seperti
transkripsi dengan kerajaan tetangga dan lain lain yang mengatas namakan
Kerinci.
Ciri-Ciri Dusun Menurut Adat
Menurut adat di alam Kerinci ciri ciri adanya dusun mempunyai empat
tanda yakni:
- Berbalai, rumah pesusun untuk sidang adat, tempat kerapatan depati ninik mamak dan anak kemenakannya.
- Bermesjid, surau atau mushala tempat pengajian peribadatan umum.
- Bergelangang, halaman tempat mengadakan keramaian perhelatan anak anak negeri
- Berlubuk, bertapian, pemandian umum yang terpisah antara laki laki dan wanita.
Selain tanah adat kurung kampong parit bersudut empat, maka diluar batas parit bersudut empat terdapat
pula “tanah ajun arah” atau tanah ulayat suatu kaum atau puak. Tanah hak
perorangan di alam Kerinci berdasarkan Duduk Adat dan mempunyai ibu tanah, seperti
pembelian, hibah dan sebagainya. Ini dikategorikan dalam istilah tembilang emas ataupun tembilang
besi. Warga yang menempati tanah pembelian tadi mempunyai kewajiban, “mengisi
cupak penuh gantang melilit” kepada kaum
atau kelebu asal tanah pembeliannya. Mengisi cupak penuh gantang melilit
berarti pekerjaan besar atau pekerjaan
kecil di dalam kelebu ibu tanah mereka ikut bertanggung jawab, mengingat dia
telah menjadi anak kemenakan dari ninik mamak kelebu yang bersangkutan.
Dimana tembilang terhentak disitu tanaman tumbuh, dimana ranting dipatah
disana pula airnya diminum, adat orang
diisi lembagonyo dituang, kebukit
samo didaki kelurah sama diturun, terhampar sama kering, terendam sama basah, jangan
terasa gedang hendak melanda, terasa
panjang hendak melilit,
karena luhak itu berpenghulu alam itu berajo negeri
berpagar adat tapian berpagar basa, alam Kerinci berpagar adat, mempunyai undang nan berpikul teliti
nan bergaleh.
Perkembangan
Orang Suku Kerinci Masa Kini
Masyarakat suku Kerinci
(Yapesman, SH dan Suhardiman, SH I/2/2012) dari zaman dahulu dikenal sebagai suku /
masyarakat perantau, mereka bahkan merantau dan menetap hingga ke negara
tetangga dan membentuk kelompok pemukiman di berbagai daerah di nusantara. Di
Propinsi Jambi, orang suku Kerinci
menyebar hampir ke setiap sudut daerah hingga wilayah terpencil seperti di Air
Liki, Serampas, SungaiTenang, Hitam Ulu, Sungai Manau (Merangin), Rimbo Bujang,
Muara Bungo, Kabupaten Tebo, Mendahara Ulu, Parit Culum (Tanjung Jabung
Timur), Kasiro, Sekeladi, Bukit Bulan, Air Hitam, Pauh, Mandiangin
(Sarolangun), meski berada di luar alam Kerinci namun keturunan masyarakat alam Kerinci
masih menggunakan sistem kekerabatan
seperti di daerah asalnya
Kerinci.
Warga perantauan masih menggunakan bahasa dan dialeg Kerinci sebagai
bahasa komonikasi dengan sesama pemukim
yang di huni masyarakat Kerinci diluar daerah dapat kita lihat di Tanjung
Morawa di Sumatera Utara, Desa Tanjung Pauh di Kabupaten Muara Jambi. Warga
keturunan Kerinci juga banyak yang merantau ke Sumatera Barat, Riau, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, Jawa Barat dan beberapa
kota lainnya di nusantara, beberapa orang lainnya memilih hidup menetap dan
menikah dengan komunitas masyarakat lain di nusantara, beberapa diantaranya menikah dengan bangsa lain seperti dengan warga Amerika, Italia,
Malaysia.
Dewasa ini ribuan warga Kerinci banyak yang menetap
dan menjadi penduduk tetap di Negara jiran Malaysia, mereka yang menetap
sebahagian adalah tenaga kerja dan penduduk tetap Semenanjung Malaysia
itu bermukim di daerah Ulu Langat, Negara bahagian Selangor. Sayuti
Hamzah (50 Tahun) warga Kerinci asal Desa Seleman Kecamatan Danau Kerinci yang
merantau dan bermukim di Syah Alam,
Selangor, Malaysia, kepada Penulis (8-9-4-2012) mengemukakan pada tahun
1939 jumlah warga Kerinci yang merantau
ke Malaysia mengalami peningkatan yang
cukup pesat. Pada akhir abad ke XIX dan
awal abad ke
XX (1900 – 1905) merupakan
gelombang migrasi terbesar orang suku Kerinci ke Malaysia,pada saat itu beberapa
warga Kerinci sudah banyak yang menetap
di ”Kelang”, pada tahun
tahun berikutnya terutama sejak
tahun 1939 penduduk
asal Kerinci mulai menempati
beberapa kawasan perkebunan di sekitar
Hulu Langat, Kuala Kubu, Kemensyah, Huluyam, awalnya mereka dengan bantuan dan hubungan baik dengan penduduk penduduk lokal setempat
membuka lahan lahan perkebunan karet, corak kehidupan dan faktor kesamaan ras dan budaya
'‘Melayu” membuat warga asal
Kerinci dengan mudah dapat diterima
oleh penduduk lokal, beberapa puluh orang diantaranya melakukan perkawinan dengan
warga setempat, dan pada awal Kemerdekaannya tahun 1957 Pemerintahan
(Kerajaan - Kesultanan) memberikan keleluasaan kepada setiap warga keturunan
Indonesia termasuk warga suku
Kerinci untuk menjadi penduduk tetap dan warga negara Malaysia, dan hingga saat
ini warga asal Kerinci telah beranak pinak dan menjadi warga Malaysia, Puluhan
orang dari generasi ke 3 hingga generasi ke 5
menjadi pejabat penting pada pemerintahan dan Kerajaan Malaysia dan pegawai pegawai
Pemerintahan dibeberapa instansi pemerintahan Kerajaan Malaysia, anak-anak
Malaysia keturunan Kerinci maupun anak anak TKI yang lahir di Malaysia ketiga
pulang kekampung tanah kelahiran nenek moyang mereka menggunakan 3 bahasa yakni
Bahasa Melayu dialeg Malaysia, Bahasa Inggris dan Bahasa Kerinci.
Pada saat ini di negara Malaysia banyak migran asal Kerinci yang menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) mereka sebagian besar bekerja pada sektor informal,
diantaranya bekerja pada perusahaan (Pabrik) Kilang, Supermarket, Jasa service
dan beberapa diantaranya menjadi pekerja
rumah tangga. Jika dibandingkan dengan pendapatan di negeri sendiri,
pendapatan para pekerja terutama untuk jasa informal relatif lebih baik, rata
rata pendapatan paling rendah (minimal) para pekerja sektor informal (TKI) sebesar 600 - 700 Ringgit Malaysia atau setara dengan
Rp.2.500.000 – Rp.3.500.000 / bulan.
Dan jika mereka pandai berhemat
mereka bisa menabung rata rata Rp.1.500.000
/ bulan setelah dikeluarkan biaya kebutuhan hidup.
Di antara warga Malaysia keturunan Kerinci dan para
Tenaga Kerja Indonesia yang bernasib baik dapat hidup berkecukupan, khusus
untuk TKI mereka dapat menabung dan mengirimkan
sisa hasil pendapatan untuk
mendirikan bangunan rumah permanen dan biaya pendidikan bagi putra putri dan keluarga yang tinggal di
tanah kelahiran Kerinci, Di Malaysia ini hanya orang malas yang hidup
terlantar, dan jika ingin mendapatkan pendapatan lebih baik Malaysia lebih membutuhkan tenaga terampil
‘Kata Sayuti Hamzah’, jika tidak memiliki ketrampilan pekerja dapat bekerja
serabutan, di Negara Malaysia apapun perkejaan ada, kuncinya mau kerja keras
dan tidak memilih milih pekerjaan, tentunya yang halal.
Meski anak cucu orang suku Kerinci di negara Malaysia telah menjadi
warga tetap Malaysia,namun secara
historis dan kebudayaan sebagian besar dari generasi muda Malaysia keturunan
Kerinci masih mengenal dan memahami kebudaayaan dan tanah tumpah darah
kelahiran nenek moyang mereka di alam Kerinci. Saat ini pada beberapa daerah /
wilayah terdapat kampung kampung yang
mayoritas penduduknya adalah penduduk asal Kerinci, kampung pemukiman di maksud adalah
Sungai Gahal, Sungai Semungkih
dan Pansun. Ratusan kepala
keluarga warga Malaysia ada yang berasal dari keturunan Kerinci yang
secara sudah turun temurun menetap di Malaysia. Keturunan generasi ke 3 sampai dengan keturunan
generasi ke 5 warga Malaysia asal
Kerinci secara periodik pada saat liburan
melakukan kunjungan
“Melancong” ke Kerinci untuk
berwisata sambil menjenguk kampung halaman asal nenek moyang mereka.gelombang
migrasi orang Kerinci ke Semenanjung
Malaysia sudah di mulai sejak
kurun waktu tahun 1900 -
1915, saat ini (Sayuti Hamzah)
diperkirakan tidak kurang dari
180.000 jiwa warga Malaysia keturunan
asal Kerinci dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI-TKW) menetap diberbagai kawasan
pemukiman di Semenanjung Malaysia.
Penduduk Malaysia keturunan Kerinci dan para tenaga kerja Indonesia asal
Kerinci sesuai dengan kebiasaannya hidup dan bermukim secara mengelompok, Kelompok
keluarga Kerinci yang mendiami satu kawasan biasanya berasal dari dusun dusun
asli Kerinci yang mereka tinggalkan, sebagai contoh, Sayuti Hamzah
mengemukakan, warga Kerinci asal Dusun Seleman Kecamatan Danau Kerinci enetap
di kawasan Kuala Kubu Baru dan Hulu Langat, orang Dusun
Tanjung Tanah bermukim di kawasan Kampung Kerinci dan Kampung Pasir , orang
dusun Jujun dan orang dusun Pulau Tengah menetap di kawasan Pansun dan Hululangat Ujung.
Orang Dusun Lempur Danau dan Dusun Semerap menetap di kawasan pemukiman
Sungai Pencala, Orang Kerinci Mudik terutama orang Dusun Sungai Abu, Sungai
Tutung, Sekungkung dan sekitarnya umumnya menetap di kawasan pemukiman Sungai
Tekali,Orang Dusun Sanggaran Agung, Pendung Talang Genting Kecamatan Danau
Kerinci, Temiai Kecamatan Batang Merangin, dan sekitarnya menetap dikawasan
Gombak Ujung, warga dari dusun dusun lainnya asal alam Kerinci sebagian lain
bermukim secara terpencar di kawasan Sabak Bernam, Tanjung Malim, Perak,
Pahang, Huluyam, Kelang, dan Selangor.
Pada dekade tahun 1900 an hingga
tahun 1950 an jika orang Kerinci merantau ke Semenanjung Malaka, mereka
mengatakan pergi ke Kelang, hal ini mengingat daerah ini sebelum merdeka merupakan pusat pemerintahan dan
perdagangan berada di Kelang (Selangor) dan setelah merdeka, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuala Lumpur.
PENULIS : BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG, DKK.
PENULIS : BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG, DKK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar