Bagaimanakah urutan yang benar dalam wali nikah itu? Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, Hubungan status wali nikah ada lima:
- Bapak dan silsilah keluarga diatasnya, mencakup ayah, kakek dari bapak dan seterusnya ke atas.
- Anak dan seterusnya ke bawah.
- Saudara laki-laki.
- Paman dari pihak bapak.
- Wala’ (orang yang membebaskan dirinya dari perbudakan atau mantan tuan).
Jika ada beberapa orang yang
berasal dari jalur hubungan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka
didahulukan yang kedudukannya lebih dekat (yaitu bapak). Barulah kemudian
beberapa orang yang kedudukannya sama, misalnya antara saudara kandung dengan
saudara sebapak, maka didahulukan yang lebih kuat hubungannya, yaitu saudara
kandung. (Syarhul
Mumthi’, 12: 84)
Al-Buhuti mengatakan, “Lebih
didahulukan bapak si wanita (pengantin putri) dalam menikahkannya. Alasannya,
karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling kasih sayang kepada
putrinya. Setelah itu, orang yang mendapatkan wasiat (wakil) dari bapaknya
(untuk menikahkan putrinya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelahnya
adalah kakek dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena
wanita ini masih keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan
bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya,
dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat. Ini berdasarkan
hadis dari Ummu Salamah, bahwa setelah masa iddah beliau berakhir, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
mengutus seseorang untuk melamarnya. Ummu Salamah mengatakan, “Wahai
Rosululloh, tidak ada seorangpun dari waliku yang ada di sini. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Tidak ada seorangpun diantara walimu, baik yang ada di sini maupun
yang tidak ada, yang membenci hal ini.” Ummu Salamah mengatakan kepada putranya,
“Wahai Umar, nikahkanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar pun
menikahkannya. (HR. Nasa’i).
Selanjutnya (setelah anaknya),
adalah saudaranya sekandung, kemudian saudara sebapak, kemudian anak saudara
laki-laki (keponakan) dan seterusnya ke bawah. Didahulukan anak dari saudara
sekandung dari pada saudara seayah. Setelah itu barulah paman (saudara
bapak) sekandung, kemudian paman (saudara bapak) sebapak, anak lelaki paman
(sepupu dari keluarga bapak). Selanjutnya adalah orang yang memerdekakannya
(dari perbudakan). Jika semua tidak ada maka yang memegang perwalian adalah
hakim atau orang yang mewakili (pegawai KUA resmi).
Sumber: Ar-Raudhul Murbi’, hal. 335 – 336
Sumber: Ar-Raudhul Murbi’, hal. 335 – 336
Keterangan:
- Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perwalian dari pihak ibu atau saudara perempuan. Seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara se-ibu, sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan.
- Ayah tiri tidak bisa menjadi wali.
Wajib memperhatikan urutan perwalian dalam nikah.
Wali wanita yang berhak untuk
menikahkan seseorang adalah wali yang paling dekat, sebagaimana urutan yang
disebutkan di atas. Tidak boleh mendahulukan wali yang jauh, sementara wali
yang dekat masih ada ketika akad nikah.
Ibn Qudamah mengatakan, “Apabila ada wali yang lebih jauh menikahkan seorang wanita, sementara wali yang lebih dekat ada di tempat, kemudian si wanita bersedia dinikahkan, sementara wali yang lebih dekat tidak mengizinkan maka nikahnya tidak sah. Inilah pendapat yang diutarakan as-Syafi’i…. karena wali yang jauh tidak berhak, selama wali yang dekat masih ada, sebagaimana hukum warisan (keluarga yang lebih jauh tidak berhak, selama masih ada keluarga yang lebih dekat).” (Al-Mughni, 7: 364)
Al-Buhuti mengatakan, “Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 336)
Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/150788
Contoh kasus:
1. Anak perempuan dari hasil
hubungan zina.
Anak dari hasil hubungan zina
tidak memiliki bapak. Bapak biologis bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh
dinasabkan ke bapak biologisnya. Dengan demikian, dia tidak memiliki keluarga
dari pihak bapak. Siapakah wali nikahnya? Orang yang mungkin bisa menjadi wali
nikahnya adalah;
- Anak laki-laki ke bawah, jika dia janda yang sudah memiliki anak
- Hakim (pejabat resmi KUA)
2.Wanita
yang orang tuanya dan semua keluarganya non muslim.
Diantara syarat perwalian
adalah keasamaan dalam agama. Orang kafir tidak berhak menjadi wali bagi wanita
muslimah. Dalam kondisi semacam ini, yang bisa menjadi wali wanita adalah
pejabat KUA. Alloohu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar