Budayawan Alam Kerinci Iskandar Zakaria dan Depati H. Alimin dalam wawancara terpisah dengan penulis 15 Agustus 2010, 7 Januari dan 10 April 2012, mengungkapkan masyarakat alam Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi. Di bumi alam Kerinci tersimpan ribuan benda budaya zaman prasejarah hingga zaman sejarah, dan masyarakat di alam Kerinci juga memiliki bahasa dengan ratusan dialeg Kerinci dan mata uang tersendiri.
Uniknya masyarakat alam Kerinci memiliki tulisan / aksara tersendiri
yang dikenal dengan Aksara tulisan Incung yang terdapat dan tertulis pada media
Tanduk kerbau, Buluh, Kulit kayu, dll. Para ahli menyebutkan benda budaya itu sebagai ‘’Prasasti Kerinci
”.
Kelemahan pada Prasasti Kerinci adalah tidak mencantumkan angka dan
tahun penulisan, akan tetapi dengan penelitian dengan test CARBON DATING (C–14)
dapat ditemukan pertanggalan pada Prasasti ber Aksara “INCUNG”. Masyarakat Alam
Kerinci tidak hanya dikenal sebagai
daerah melayu tertua di dunia, akan tetapi juga merupakan bahagian dari “Pusat
Peraban Melayu”, salah satu yang indikator alam Kerinci menjadi pusat
perkembangan peradaban adalah dengan adanya
tulisan asli Kerinci yang disebut dengan aksara INCUNG yang menjadi
salah satu sumber yang dapat menyingkap
misteri peradaban Kerinci.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Petrus Voorhoeve (1941)
dan Uli Kuzock (2002) di Desa Tanjung Tanah yang berada diwilayah bekas
Kemendapoan Seleman (sekarang Kecamatan Danau Kerinci, Pen) terdapat Naskah
Kuno yang di tulis pada “Daluang“ yang berumur lebih dari 600 Tahun dan masih tersimpan utuh dan dirawat oleh
masyarakat adat di Desa Tanjung Tanah. Berdasarkan hasil pemeriksaan Rafter
Radiocarbon Laboratory di Wellington, dipastikan naskah kuno di Tanjung Tanah
telah berusia lebih 6 abad. Naskah kuno
di Tanjung Tanah berisikan Undang Undang, namun naskah di Tanjung Tanah berbeda
dengan naskah naskah lainnya, naskah kuno Tanjung Tanah tidak di tulis dengan
huruf Jawi, melainkan menggunakan aksara pasca Pallawa yang masih serumpun
dengan aksara Jawa kuno, dan naskah kuno
ini ditulis di atas “kertas Daluang”
bukan kertas Eropa atau kertas Arab.
Sumber yang dapat menyingkap Kebudayaan dan Peradaban Kerinci adalah
“TAMBO KERINCI” yang di tulis oleh Dr. P. VOORHOVE disalin dari pusaka pusaka
yang dikeramatkan oleh masyarakat Kerinci beraksara “INCUNG”. Tambo Kerinci beraksara incung Incung
ia lah Bahasa-Bahasa Melayu Kuno yang tertulis pada tanduk kerbau pada
tanduk kambing hutan, ruas bambu, gading, Kulit Kayu, Para ahli menyebut benda
budaya itu sebagai Prasasti Kerinci.
Kelemahan pada Prasasti Kerinci pada tanduk, Bambu tidak mencantumkan angka dan tahun pembuatan, namun dengan penelitian
dan Test Carbon Dating (C-14) dapat ditentukan pertanggalan pada prasasti ber
Aksara Incung. Masyarakat alam kerinci sejak ber abad abad yang silam telah
mengenal aksara yang berbentuk gambar yang merupakan suatu lambang, nada dan
irama dari suara manusia yang di jadikan sarana komunikasi antara satu individu
dengan individu yang lain maupun dengan masyarakat lainnya.
Sebuah berita, informasi yang terkandung dalam pikiran dan perasaan
manusia di sampaikan kepada manusia lainnya berupa tanda, huruf
atau gambar yang disebut dengan tulisan.Masyarakat alam Kerinci sejak berabad
silam telah mengenal aksara yang disebut dengan “Incung” Kebudayaan ini
menunjukkan masyarakat alam Kerinci telah memiliki peradaban yang tinggi pada
masa lampau, aksara Incung Kerinci merupakan salah satu dari 4 Aksara yang ada
di Pulau Andalas Sumatera.
Di dunia sejak zaman lampau mengenal beragam aksara/tulisan antara lain
tulisan Hiegroghlif yang digunakan
bangsa Mesir, Tulisan paku yang digunakan
bangsa Phunisia, aksara Katagana atau tulisan Kanji digunakan
bangsa Jepang, Tulisan Pallawa tulisan Melayu Kuno, Aksara Cina, Aksara
Arab, dll. Aksara Incung berkembang bersamaan dengan berkembangnya aksara Rejang
Lebong, aksara Batak, aksara Jawa
Kuno.
Menurut Depati H. Alimin dan Depati H. Norewan, BA tulisan Kerinci kuno
menyebutkan dalam Tambo Kerinci yang disalin oleh Dr. P. Vorhoove mengungkapkan
hampir disetiap Dusun di Alam Kerinci ditemui aksara Incung dengan rincian
terdapat 87 Aksara Incung yang ditulis pada
tanduk kerbau, 24 buah Aksara
Incung ditulis pada buluh dua ruas, 4
buah ditulis pada tabung buluh, 8 buah ditulis pada kertas bergulung, 3 buah pada pecahan daun lontar.
Disamping ditulis pada media tersebut,
aksara Incung juga ditemui pada kulit kayu,
mangkuk, tapak kaki gajah, pada tulang
dan pecahan buluh.
Pada sejumlah wilayah adat
ditemui aksara Jawa kuno, yang ditulis
pada daun lontar. aksara Arab Melayu
pada kertas. Aksara aksara tersebut sebahagian besar memuat / menulis
tentang Undang undang adat,hubungan dilplomatik dengan Indrapura, Jambi dan Palembang. Sebahagian besar dari peninggalan budaya aksara Incung tersebut disimpan
disejumlah rumah gedang (rumah Adat = warisan turun temurun) dan dijadikan
sebagai benda benda pusaka oleh
masyarakat adat setempat. Benda budaya termasuk
aksara Incung yang ditulis pada Tanduk, Buluh dua ruas, Tapak Gajah, dll. diturunkan
dan diperlihatkan kepada anggota keturunan masyarakat adat di Dusun /
“Luhah / Laheik Jajou“ (pemukiman masyarakat adat yang berlarik
larik) pada saat dilaksanakan acara
kenduri adat (Kenduri Sko = Kenduri Pusaka)
yang dilaksanakan setiap 5-10 tahun.
Aksara Incung mengalami masa
kemunduran seiring dengan masuk dan berkembangnya aksara Arab Melayu yang
dipelajari dan digunakan masyarakat Alam Kerinci setelah masuk dan
berkembangnya Agama Islam. H. Abdul Kadir Djamil Gelar Depati Simpan Negeri telah
menggali dan mengembangkan aksara Incung Kerinci yang nyaris punah. Beberapa
orang pemerhati kebudayaan mendapatkan pengetahuan aksara Incung dari Haji Abdul
Kadir Djamil.
H. Abdul Kadir Djamil pada zamannya di kenal sebagai
sosok tokoh budayawan alam Kerinci yang Fenomenal, pemahaman dan pengetahuannya
tentang kebudayaan dan adat alam Kerinci membuat sosok kharismatik ini dikenal
luas oleh ilmuawan dan sejarahwan mancanegara dan nasional, Referensinya
menjadi bahan rujukan bagi kalangan ilmuawan yang meneliti tentang sejarah
kebudayaan dan peradaban alam Kerinci. Pada
saat Kongres Rakyat Kerinci 25 - 27 Januari 1957 di Kota Sungai Penuh yang menuntut
terwujudnya Otonomi Kerinci dalam daerah Propinsi Jambi, beliau merupakan salah
satu dari 7 orang Tim perumus hasil
Konggres, ketujuh orang Tim Perumus itu adalah H. Muchtaruddin, H. Abdul
Kadir Djamil, H. Djanan Thaib Bakri, M. Yahu, Idris Djakfar, SH, H. Usman
Djamal dan Dasiba.
Diakui banyak pihak bahwa sejumlah ilmuawan khususnya dari negara
Belanda dan sejumlah peneliti dari Eropa dan Asia telah melakukan penelitian
tentang aksara tulisan Incung. Tahun
1834, Marsden menerbitkan Buku Aksara Incung Kerinci, Tahun 1916 E. Jacobson menyalin sejumlah naskah Incung yang di tulis
pada Tanduk Kerbau dan Kertas. Sejumlah
ilmuan dari manca negara dan dari sejumlah perguruan tinggi di nusantara
melakukan penelitian terhadap sejumlah aksara yang tumbuh dan berkembang di
alam Kerinci termasuk tulisan Incung.
Budayawan dan cendekiaan alam Kerinci Depati H. Amiruddin Gusti (84
Tahun) dan Prof. DR. H. Amir Hakim Usman, MA (Guru Besar UNP dan
Universitas Bung Hatta) mengemukakan,
aksara Incung Kerinci telah di seminarkan di Kota Jambi pada tanggal 29
Februari 1992 dengan mendatangkan
pakar aksara kuno dari Depdikbud RI,
Ilmuan, Tokoh adat / Budayawan. Seminar yang dibuka oleh Gubernur Jambi
Drs. H. Abdurrahman Sayoeti itu telah
berhasil merumuskan 6 butir rumusan
hasil seminar aksara Kerinci Daerah Jambi. Salah satu dari rumusan hasil
Seminar Aksara Kerinci Daerah Jambi
menyebutkan Aksara Incung Daerah Jambi perlu di lestarikan, difungsikan
dan ditumbuh kembangkan sebagai sarana kebudayaan daerah Jambi di samping kebudayaan lainnya.
Setelah lebih 20 tahun di seminarkan hingga saat ini pemerintah Propinsi
Jambi, Pemerintah Kabupaten Kerinci dan
Pemerintah Kota Sungai Penuh belum menindak lanjuti rumusan hasil seminar
aksara Kerinci Daerah Jambi. Dilain pihak sebahagian besar dari pakar Incung di
Propinsi Jambi saat ini telah memasuki usia manula dan renta,
dikhawatirkan manakala aksara Incung
tidak segera di lestarikan dan di tumbuh kembangkan akan terjadi kepunahan.
Terakhir pada agustus 2010 Lembaga Bina
Potensia Aditya Mahatva Yodha
dan penggagas Forum Seniman Budayawan
Muda (FORSAYADA) Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci memprakarsai acara ”Kenduri
Cinta“ Temu Dialog Seniman dan Budayawan yang dilaksanakan tanggal 09 Agustus
2010 di gedung nasional Kota Sungai Penuh. Merekomendasikan beberapa kesimpulan
hasil temu dialog yang bertajuk “Kenduri Cinta”, Salah satu kesimpulan hasil
temu dialog Seniman dan Budayawan adalah : menumbuh kembangkan
kembali aksara Incung Kerinci Daerah Jambi dan menghimbau agar Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD untuk menerbitkan
Peraturan Daerah dan menjadikan aksara
Incung sebagai mata pelajaran kurikulum muatan lokal yang diajarkan dan
di kembangkan kepada peserta didik pada Lembaga Pendidikan Formal dan Informal
di Propinsi Jambi khususnya di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.
Pengagas Forum Seniman dan Budayawan (Forsyada) Budhi VJ. Rio Temenggung
Tuo menyebutkan Kemajuan tekhnologi dan
derasnya arus perubahan zaman di sinyalir sejak beberapa dekade terakhir
membuat para pengambil kebijakan di alam Kerinci (Kota Sungai Penuh dan
Kabupaten Keirnci) mengalami ”kegagapan”
hal ini dapat dibuktikan pada waktu itu
pengambil kebijakan instansi tekhnis terkait “enggan” dalam menelusuri,
menggali dan mengangkat kembali sejarah dan kebudayaan alam Kerinci, mereka
terkesan berlomba lomba membangun infrastruktur sarana/prasarana pisik atau
proyek besar dengan dalih melakukan
modernisasi tapi nyaris melupakan akar budaya yang telah dianut secara turun temurun yang pada gilirannya
mendorong terciptanya masyarakat dusun yang materialistik.
Dilain pihak maraknya euforia reformasi ada kesan peranan pemangku adat
mulai mengalami degradasi, oknum pemangku adat terlibat dalam kubu-kubu/kelompok-kelompok
pada proses pemilihan Kepala Daerah, beberapa pemangku adat terkesan memihak
kepada salah satu dari para kandidat kandidat, akibatnya sering terjadi
kelompok-kelompok yang saling berseberangan. Ke depan alangkah lebih baiknya
para pemangku adat untuk tidak melibatkan diri secara lansung dalam proses
pelaksanaan Pilkada dan bersikap netral. Kenetralan para Pemangku adat diyakini
akan menumbuhkan rasa kesaling pahaman diantara para pemangku adat dan
masyarakat adat dilingkungannya. Pemangku adat merupakan mitra sejajar bagi
Eksekutif dan Legislatif (Pemerintah).
SUMBER : TULISAN 'BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG' DKK.
SUMBER : TULISAN 'BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG' DKK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar