Sabtu, 28 Juni 2014

PRASASTI KERINCI


 


Budayawan Alam Kerinci Iskandar Zakaria dan Depati H. Alimin dalam wawancara terpisah dengan penulis 15 Agustus 2010, 7 Januari dan 10 April 2012, mengungkapkan masyarakat alam Kerinci dikenal sebagai masyarakat yang memiliki peradaban dan kebudayaan  yang tinggi. Di bumi alam Kerinci tersimpan ribuan benda budaya zaman prasejarah hingga zaman sejarah, dan masyarakat di alam Kerinci juga memiliki bahasa dengan ratusan dialeg Kerinci dan  mata uang tersendiri.

Uniknya masyarakat alam Kerinci memiliki tulisan / aksara tersendiri yang dikenal dengan Aksara tulisan Incung yang terdapat dan tertulis pada media Tanduk kerbau, Buluh, Kulit kayu, dll. Para ahli menyebutkan  benda budaya itu sebagai ‘’Prasasti Kerinci ”.  
Kelemahan pada Prasasti Kerinci adalah tidak mencantumkan angka dan tahun penulisan, akan tetapi dengan penelitian dengan test CARBON DATING (C–14) dapat ditemukan pertanggalan pada  Prasasti  ber Aksara “INCUNG”. Masyarakat Alam Kerinci  tidak hanya dikenal sebagai daerah melayu tertua di dunia, akan tetapi juga merupakan bahagian dari “Pusat Peraban Melayu”, salah satu yang indikator alam Kerinci menjadi pusat perkembangan peradaban adalah dengan adanya tulisan asli Kerinci yang disebut dengan aksara INCUNG yang menjadi salah satu sumber yang dapat menyingkap misteri peradaban Kerinci.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Petrus Voorhoeve (1941) dan Uli Kuzock (2002) di Desa Tanjung Tanah yang berada diwilayah bekas Kemendapoan Seleman (sekarang Kecamatan Danau Kerinci, Pen) terdapat Naskah Kuno yang di tulis pada “Daluang“ yang berumur lebih dari 600 Tahun  dan masih tersimpan utuh dan dirawat oleh masyarakat adat di Desa Tanjung Tanah. Berdasarkan hasil pemeriksaan Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington, dipastikan naskah kuno di Tanjung Tanah telah berusia  lebih 6 abad. Naskah kuno di Tanjung Tanah berisikan Undang Undang, namun naskah di Tanjung Tanah berbeda dengan naskah naskah lainnya, naskah kuno Tanjung Tanah tidak di tulis dengan huruf Jawi, melainkan menggunakan aksara pasca Pallawa yang masih serumpun dengan aksara Jawa kuno, dan naskah kuno  ini ditulis di atas “kertas  Daluang”  bukan  kertas  Eropa atau kertas Arab. 

Sumber yang dapat menyingkap Kebudayaan dan Peradaban Kerinci adalah “TAMBO KERINCI” yang di tulis oleh Dr. P. VOORHOVE disalin dari pusaka pusaka yang dikeramatkan oleh masyarakat Kerinci beraksara “INCUNG”.  Tambo Kerinci beraksara incung   Incung  ia lah Bahasa-Bahasa Melayu Kuno yang tertulis pada tanduk kerbau pada tanduk kambing hutan, ruas bambu, gading, Kulit Kayu, Para ahli menyebut benda budaya itu sebagai Prasasti Kerinci.

Kelemahan pada Prasasti Kerinci pada tanduk, Bambu tidak mencantumkan  angka dan tahun pembuatan, namun dengan penelitian dan Test Carbon Dating (C-14) dapat ditentukan pertanggalan pada prasasti ber Aksara Incung. Masyarakat alam kerinci sejak ber abad abad yang silam telah mengenal aksara yang berbentuk gambar yang merupakan suatu lambang, nada dan irama dari suara manusia yang di jadikan sarana komunikasi antara satu individu dengan individu yang lain maupun dengan masyarakat lainnya.

Sebuah berita, informasi yang terkandung dalam pikiran dan perasaan manusia  di sampaikan  kepada manusia lainnya berupa tanda, huruf atau gambar yang disebut dengan tulisan.Masyarakat alam Kerinci sejak berabad silam telah mengenal aksara yang disebut dengan “Incung” Kebudayaan ini menunjukkan masyarakat alam Kerinci telah memiliki peradaban yang tinggi pada masa lampau, aksara Incung Kerinci merupakan salah satu dari 4 Aksara yang ada di Pulau Andalas Sumatera.

Di dunia sejak zaman lampau mengenal beragam aksara/tulisan antara lain tulisan Hiegroghlif  yang digunakan bangsa Mesir, Tulisan paku yang digunakan  bangsa  Phunisia, aksara  Katagana atau tulisan Kanji  digunakan  bangsa Jepang, Tulisan Pallawa tulisan Melayu Kuno, Aksara Cina, Aksara Arab, dll. Aksara Incung berkembang bersamaan dengan berkembangnya aksara Rejang  Lebong, aksara Batak, aksara Jawa Kuno.

Menurut Depati H. Alimin dan Depati H. Norewan, BA tulisan Kerinci kuno menyebutkan dalam Tambo Kerinci yang disalin oleh Dr. P. Vorhoove mengungkapkan hampir disetiap Dusun di Alam Kerinci ditemui aksara Incung dengan rincian terdapat  87 Aksara Incung yang ditulis  pada  tanduk kerbau,  24 buah Aksara Incung ditulis  pada buluh dua ruas, 4 buah ditulis pada tabung buluh, 8 buah ditulis pada kertas  bergulung, 3 buah pada pecahan daun lontar. Disamping ditulis pada  media tersebut, aksara Incung juga ditemui pada kulit kayu, mangkuk, tapak kaki gajah, pada  tulang dan pecahan buluh.

Pada sejumlah  wilayah  adat  ditemui aksara Jawa kuno,  yang ditulis pada daun lontar. aksara Arab Melayu pada kertas. Aksara aksara tersebut sebahagian besar memuat / menulis tentang Undang undang adat,hubungan dilplomatik dengan Indrapura, Jambi dan Palembang. Sebahagian besar dari peninggalan budaya aksara Incung tersebut disimpan disejumlah rumah gedang (rumah Adat = warisan turun temurun) dan dijadikan sebagai benda  benda pusaka oleh masyarakat adat setempat. Benda budaya termasuk  aksara Incung yang ditulis pada Tanduk, Buluh dua ruas, Tapak Gajah,  dll. diturunkan dan diperlihatkan  kepada  anggota keturunan masyarakat adat di Dusun / “Luhah / Laheik  Jajou“  (pemukiman masyarakat adat yang berlarik larik) pada saat dilaksanakan acara kenduri adat (Kenduri Sko = Kenduri  Pusaka) yang dilaksanakan  setiap 5-10 tahun.

Aksara Incung mengalami  masa kemunduran seiring dengan masuk dan berkembangnya aksara Arab Melayu yang dipelajari dan digunakan masyarakat Alam Kerinci setelah masuk dan berkembangnya Agama Islam. H. Abdul Kadir Djamil Gelar Depati Simpan Negeri telah menggali dan mengembangkan aksara Incung Kerinci yang nyaris punah. Beberapa orang pemerhati kebudayaan mendapatkan pengetahuan aksara Incung dari Haji Abdul Kadir Djamil.

H. Abdul Kadir Djamil pada zamannya di kenal sebagai sosok tokoh budayawan alam Kerinci yang Fenomenal, pemahaman dan pengetahuannya tentang kebudayaan dan adat alam Kerinci membuat sosok kharismatik ini dikenal luas oleh ilmuawan dan sejarahwan mancanegara dan nasional, Referensinya menjadi bahan rujukan bagi kalangan ilmuawan yang meneliti tentang sejarah kebudayaan dan peradaban alam Kerinci. Pada saat Kongres Rakyat Kerinci 25 - 27 Januari 1957 di Kota Sungai Penuh yang menuntut terwujudnya Otonomi Kerinci dalam daerah Propinsi Jambi, beliau merupakan salah satu dari 7 orang Tim perumus hasil  Konggres, ketujuh orang Tim Perumus itu adalah H. Muchtaruddin, H. Abdul Kadir Djamil, H. Djanan Thaib Bakri, M. Yahu, Idris Djakfar, SH, H. Usman Djamal  dan Dasiba.

Diakui banyak pihak bahwa sejumlah ilmuawan khususnya dari negara Belanda dan sejumlah peneliti dari Eropa dan Asia telah melakukan penelitian tentang aksara tulisan  Incung. Tahun 1834, Marsden menerbitkan Buku Aksara Incung Kerinci, Tahun 1916 E. Jacobson  menyalin sejumlah naskah Incung yang di tulis pada Tanduk Kerbau dan Kertas. Sejumlah ilmuan dari manca negara dan dari sejumlah perguruan tinggi di nusantara melakukan penelitian terhadap sejumlah aksara yang tumbuh dan berkembang di alam Kerinci termasuk tulisan Incung.

Budayawan dan cendekiaan alam Kerinci Depati H. Amiruddin Gusti (84 Tahun) dan Prof. DR. H. Amir Hakim Usman, MA (Guru Besar UNP dan Universitas Bung Hatta)  mengemukakan, aksara Incung Kerinci telah di seminarkan di Kota Jambi pada tanggal 29 Februari 1992 dengan mendatangkan  pakar  aksara kuno  dari Depdikbud  RI,  Ilmuan, Tokoh adat / Budayawan. Seminar yang dibuka oleh Gubernur Jambi Drs. H. Abdurrahman Sayoeti itu  telah berhasil merumuskan 6 butir  rumusan hasil seminar aksara Kerinci Daerah Jambi. Salah satu dari rumusan hasil Seminar Aksara Kerinci Daerah Jambi  menyebutkan Aksara Incung Daerah Jambi perlu di lestarikan, difungsikan dan ditumbuh kembangkan sebagai sarana kebudayaan daerah Jambi  di samping kebudayaan lainnya.

Setelah lebih 20 tahun di seminarkan hingga saat ini pemerintah Propinsi Jambi,  Pemerintah Kabupaten Kerinci dan Pemerintah Kota Sungai Penuh belum menindak lanjuti rumusan hasil seminar aksara Kerinci Daerah Jambi. Dilain pihak sebahagian besar dari pakar Incung di Propinsi Jambi saat ini telah memasuki usia manula dan renta, dikhawatirkan manakala aksara Incung tidak segera di lestarikan dan di tumbuh kembangkan akan terjadi kepunahan. Terakhir pada agustus 2010  Lembaga  Bina  Potensia Aditya Mahatva Yodha dan  penggagas Forum Seniman Budayawan Muda (FORSAYADA) Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci memprakarsai acara ”Kenduri Cinta“ Temu Dialog Seniman dan Budayawan yang dilaksanakan tanggal 09 Agustus 2010 di gedung nasional Kota Sungai Penuh. Merekomendasikan beberapa kesimpulan hasil temu dialog yang bertajuk “Kenduri Cinta”, Salah satu kesimpulan hasil temu dialog Seniman dan Budayawan adalah : menumbuh kembangkan  kembali aksara Incung Kerinci Daerah Jambi dan menghimbau agar Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRD untuk menerbitkan Peraturan Daerah dan menjadikan aksara  Incung sebagai mata pelajaran kurikulum muatan lokal yang diajarkan dan di kembangkan kepada peserta didik pada Lembaga Pendidikan Formal dan Informal di Propinsi Jambi khususnya di Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci.

Pengagas Forum Seniman dan Budayawan (Forsyada) Budhi VJ. Rio Temenggung Tuo  menyebutkan Kemajuan tekhnologi dan derasnya arus perubahan zaman di sinyalir sejak beberapa dekade terakhir membuat para pengambil kebijakan di alam Kerinci (Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Keirnci) mengalami kegagapan” hal ini dapat dibuktikan pada waktu itu  pengambil kebijakan instansi tekhnis terkait “enggan” dalam menelusuri, menggali dan mengangkat kembali sejarah dan kebudayaan alam Kerinci, mereka terkesan berlomba lomba membangun infrastruktur sarana/prasarana pisik atau proyek besar  dengan dalih melakukan modernisasi tapi nyaris melupakan akar budaya yang telah dianut secara turun temurun yang pada gilirannya mendorong terciptanya masyarakat dusun yang materialistik.

Dilain pihak maraknya euforia reformasi ada kesan peranan pemangku adat mulai mengalami degradasi, oknum pemangku adat terlibat dalam kubu-kubu/kelompok-kelompok pada proses pemilihan Kepala Daerah, beberapa pemangku adat terkesan memihak kepada salah satu dari para kandidat kandidat, akibatnya sering terjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan. Ke depan alangkah lebih baiknya para pemangku adat untuk tidak melibatkan diri secara lansung dalam proses pelaksanaan Pilkada dan bersikap netral. Kenetralan para Pemangku adat diyakini akan menumbuhkan rasa kesaling pahaman diantara para pemangku adat dan masyarakat adat dilingkungannya. Pemangku adat merupakan mitra sejajar bagi Eksekutif dan Legislatif (Pemerintah).

SUMBER : TULISAN 'BUDI VJ. RIO TEMENGGUNG' DKK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar