Siapa Yang Disebut Sebagai Wali Hakim? Jangan Sampai Anda Tertipu Dengan Wali Gadungan.
Pertanyaan 1:
saya
telah menikah dengan suami saya secara siri dan
yang menikahkan kami adalah wali hakim.
Sah kah pernikahan saya dengan suami saya ustad…?
Email:
chint******adilla@yahoo.co.id
Pertanyaan 2:
saya
dengan dia nikah sirih tanpa wali orang tua laki2 ,
walinya wali hakim dan saksi 2 orang teman saya,
karna orang tuanya tidak setuju dengan saya, bagaimana menurut pandangan pak
ustadz apakah sah atau tidak pernikahan saya ini!
Email
: ron******7@gmail.com
Pertanyaan 3:
Status
kakak saya janda dari suami yg ke-4, kemudian dia menikah lg dg mantan suami yg
ke-3 secara siri dengan wali hakim tanpa
sepengetahuan saya sebagai walinya yg sah, mengingat bapak dan paman saya telah
meninggal dunia.
chol****@gmail.com
Komentar
konsultasisyariah.com
Bismillah
was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du.
Ada beberapa pertanyaan yang mampir di meja redaksi konsultasisyariah.com yang kasusnya seperti di atas. Kami sebutkan tiga saja, dan semoga itu sudah mewakili.
Pertanyaan
ini menggambarkan bagaimana pemahaman sebagian masyarakat di tempat kita tentang apa itu wali hakim?
Dan
siapa yang berhak disebut wali hakim?.
Agar
kita bisa memahami lebih baik, kami utarakan secara bertahap sebagai berikut;
Pertama, wali nikah merupakan rukun dalam akad nikah.
Keberadaan
wali merupakan rukun dalam akad pernikahan. Karena itu, tidak sah menikah tanpa wali.
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan kesimpulan, ini, diantaranya,
Dari
Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dia berkata: Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.”
(HR. Abu Daud 1785, Turmudzi 1101, dan Ibnu Majah 1870).
Dari
Aisyah rodhiallohu 'anha bahwa Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda: “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin
walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah
batal. (HR. Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Dan
keberadaan wali dalam akad nikah, merupakan salah satu pembeda antara nikah
yang sah dengan transaksi prostitusi. Dalam transaksi zina, seorang WTS
menikahkan dirinya sendiri tanpa wali, sementara harga bercinta dengannya menjadi
mahar baginya.
Kedua,
tidak semua orang menjadi wali.
Allah
menghargai hubungan kekeluargaan manusia. Karena itu, kelurga lebih berhak
untuk mengatur dari pada orang lain yang bukan kerabat. Alloh berfirman, "Orang-orang
yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Alloh Maha
mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Anfal: 75)
Bagian
dari hak ’mengatur’ itu adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak
menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang
berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat dengan
wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali bagi si wanita itu.
Urutan kerabat
ayah yang berhak menjadi wali nikah, dijelaskan Al-Buhuti berikut:
Lebih
didahulukan bapak
si wanita (pengantin putri) untuk menikahkannya. Karena bapak
adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya. Setelah itu, penerima wasiat dari bapaknya
(mewakili bapaknya), karena posisinya sebagaimana bapaknya. Setelah itu, kakek dari bapak ke atas, dengan
mendahulukan yang paling dekat, karena wanita ini masih keturunannya, dalam
posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya. Setelah kakek adalah anak si wanita
(jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling
dekat. (Ar-Raudhul Murbi’, hal. 1/100)
Dan tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masih ada kerabat yang lebih dekat. Karena semacam ini sama halnya dengan merampas hak perwalian, sehingga nikahnya tidak sah.
Al-Buhuti
mengatakan, "Jika
wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun
dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat
maka nikahnya tidak sah, karena tidak ada perwalian ketika proses akad,
sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul
Murbi’, 1/10)
Ketiga, kapan wali hakim berperan?
Dalam
hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rosululloh shollallohu
‘alaihi wasallam bersabda; Jika terjadi sengketa antara
mereka, maka penguasa menjadi wali untuk orang yang tidak memiliki wali." (HR.
Ahmad 24205, Abu Daud 2083, Turmudzi 1021, dan yang lainnya).
Dr.
Ahmad Rayan mengatakan, ”Penguasa
punya hak untuk menikahkan, namun setelah
tidak adanya wali khusus (kerabat).” (Fiqih Usroh, hlm. 115).
Berdasarkan
hadits dan keterangan di atas, maka penguasa, dalam hal ini jika walipejabat negara yang bertugas
mengurusi pernikahan, berhak menjadi wali nikah,
khusus, yaitu kerabat tidak ada yang memenuhi syarat.
Sebagai
contoh, anak dari
hasil hubungan zina tidak memiliki bapak nasab. Bapak biologis
bukanlah bapaknya. Karena itu, tidak boleh dinasabkan ke bapak biologisnya.
Dengan demikian, dia
tidak memiliki keluarga dari pihak bapak. Siapakah wali
nikahnya? Jika pengantin wanita tidak memiliki anak, wali nikahnya adalah hakim.
Selanjunya,
Siapa Wali Hakim?
Dalam
hadis A’isyah di atas, Nabi shollallohu
‘alaihi wasallam menyebut wali hakim
dengan Sulthan [arab: السُّلْطَانُ], yang artinya
penguasa.
Ibnu Qudamah mengatakan, "Sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan". (al-Mughni, 7/17).
Di negara kita, pemerintah telah membentuk KUA sebagai petugas resmi yang menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini, pejabat resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika wali kerabat tidak ada, atau terjadi sengketa.
Dengan
demikian, siapapun
yang TIDAK berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau yang
sepadan dengannya dalam hirarki pemerintahan, dia tidak bisa disebut sebagai wali hakim.
Kiyai,
Ustad, guru ngaji, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim. Termasuk juga pejabat KUA yang
datang atas nama pribadi, bukan atas nama instansi, TIDAK bisa disebut sebagai wali
hakim. Karena yang berstatus sebagai wali hakim adalah pejabat
terkait yang datang
resmi atas nama LEMBAGA dan BUKAN atas nama PRIBADI.
Jika
mereka tetap nekat mengajukan diri menjadi wali, maka statusnya wali gadungan
dan tidak sah menjadi wali. Dengan demikian, pernikahan yang
dilakukan adalah pernikahan
tanpa wali dan itu statusnya tidak sah.
Berdasarkan
keterangan di atas, seseorang TIDAK mungkin bisa menikah dengan wali hakim,
kecuali pernikahan yang resmi dan tercatat. Artinya, TIDAK mungkin ada orang yang
melakukan nikah siri dengan wali hakim.
Karena
itu, ada bagian yang unik dari pertanyaan di atas, yaitu kalimat, ”nikah sirih
dengan wali hakim”. Ini kalimat yang bertentangan, karena yang namanya nikah
siri pasti tidak tercatat, dan tidak mungkin dilakukan dengan wali hakim.
Sehingga
bisa dipastikan, wali hakim yang disebutkan dalam pertanyaan BUKAN petugas
resmi KUA, atau dengan
kata lain wali gadungan. Alloohu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina KonsultasiSyariah.com)
Artikel ini didukung oleh Zahir Accounting; Software Akuntansi Terbaik di
Indonesia.
Dukung
Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial
- Keterangan lebih lengkap: Peluang Menjadi Sponsor dan Donatur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar