Kamis, 31 Juli 2014

HUKUM SAHAM DALAM FIQIH ISLAM



Penulis : Dr.Muhammad Arifin bin Badri MA

PENDAHULUAN
Alhamdulillah. Sholawat dan salam semoga se­nantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya. Kajian kita kali ini kita akan mengupas peri­hal saham. Saham adalah tanda kepemilikan se­seorang atau lembaga terhadap suatu perusahaan atau perseroan terbatas (PT). Biasanya saham diwujudkan dalam lembaran kertas yang me­nerangkan bahwa pemilik lembaran saham ini adalah pemilik perusahaan yang mengeluarkan/menerbitkan surat berharga ini.

Dengan demikian, sebesar penyertaan dana Anda di suatu perusahaan maka sebesar itu pula kadar kepemilikan Anda terhadap perusahaan tersebut. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa idealnya tanggung jawab Anda atas perusahaan terkaitpun sebesar nilai saham yang Anda miliki.

Istilah saham sementara ini lebih akrab bagi kalangan tertentu. Tetapi tidak menutup kemung­kinan, sebuah usaha kecil yang dikelola dengan rapi dan profesional berani membuka diri, me­nerima para penanam modal. Ketika itu perusa­haan perlu menerbitkan lembaran saham.

Seiring dengan perkembangan dunia ekono­mi, ternyata ada pihak-pihak yang ingin mencari rezeki dari jalan jual-beli saham. Membeli saham perusahaan yang diperkirakan mendatangkan ha­sil dan menjual sahamnya atas perusahaan yang kurang menjanjikan.

Bagaimana tinjauan syariat Islam atas hal ini. Mari kita kaji bersama pembahasan singkatnya.

MACAM-MACAM SAHAM DAN HUKUMNYA

Saham dapat ditinjau dari berbagai sudut pan­dang. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagih atau klaim, biasanya saham dapat diklasifi­kasikan ke dalam dua [dalam uraian penulis menyebutkan tiga] jenis:

1. Saham Biasa (Common Stock)
Saham seperti inilah yang paling banyak di­perjualbelikan di pasar modal dan yang paling sering menjadi tema pembahasan di masyarakat. Karakteristik saham biasa adalah:

Tujuan investor atau pemilik saham biasanya ingin mendapatkan pembagian deviden (keun­tungan usaha perusahaan) atau memperoleh capi­tal gain (selisih harga beli dan jual) jika terjadi ke­naikan harga.

Pemiliknya paling terakhir dalam mendapat­kan bagian keuntungan dan hak atas harta keka­yaan perusahaan apabila perusahaan tersebut me­ngalami kerugian atau bangkrut.

Pemiliknya hanya mendapatkan bagian keun­tungan bila perusahaan berhasil membukukan keuntungan.

Pemegang saham memiliki hak suara dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).

Pemilik saham berhak mengalihkan kepemi­likan sahamnya kepada orang lain dengan cara-cara yang dibenarkan.

Secara hukum dan prinsip syari'at Islam, ti­dak mengapa seseorang memiliki saham jenis ini tentunya dengan mengindahkan beberapa catatan. Hal ini dikarenakan perserikatan dagang dalam Islam dibangun di atas asas kesamaan hak dan kewajiban. Dan hal ini benar-benar ter­wujud pada saham jenis ini, oleh karena itu tidak ada keraguan bahwa menerbitkan dan memper­jualbelikan saham jenis ini adalah halal. (Suuq al-Aurooq al Maliyah; Dr. Khursyid Asyrof Iqbal 123 & Ahkamut Ta'amul Fil Aswaq al Maliyah; Dr. Mubarok bin Sulaiman al Sulaiman 1/148)

2. Saham Istimewa/Preferen (Preffered Stock)
Sejatinya, saham istimewa ini adalah gabung­an antara karakteristik obligasi1 dan karakteristik saham biasa. Karenanya selain mendapatkan se­luruh hak yang didapatkan oleh pemilik saham biasa, pemilik saham jenis ini mendapatkan hak-hak yang biasanya diberikan kepada para kreditur dalam obligasi. Beberapa hak yang membedakan saham preferen dari saham biasa adalah:

  1. Mendapatkan deviden dalam jumlah yang terja­min dan tetap dalam persentase (suku bunga).
  2. Pemegang saham jenis ini tetap menerima devi­den walaupun perusahaan merugi.
  3. Mendapatkan prioritas untuk mendapatkan deviden sebelum pemilik saham biasa.
  4. Mendapatkan   prioritas   dalam   hak   suara dibanding pemilik saham biasa.


Para ulama ahli fiqih zaman sekarang -seba­tas yang saya ketahui- sepakat mengharamkan penerbitan dan menjualbelikan saham jenis ini, dengan beberapa alasan berikut:
1.  Para pemilik saham preferen tidak memiliki kelebihan yang menyebabkannya mendapat­kan perilaku istimewa ini. Padahal keuntungan dalam usaha hanya diberikan kepada pemilik modal dan atau keahlian, sedangkan peme­gang saham preferen tidak memiliki kelebihan dalam dua hal itu dibanding pemegang saham biasa.

Ibnu Qudamah الله رحمه berkata: "Seseorang ber­hak mendapatkan keuntungan dikarenakan ia memiliki andil dengan modal atau keahlian. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mem­berikan persentase keuntungan yang melebihi total modal sekutu pasif. Sehingga persyaratan semacam ini tidak sah." (Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/139)

2. Pada dasarnya keuntungan yang diberikan kepada pemilik saham preferen adalah riba. Karena modal mereka terjamin dan tetap mendapatkan keuntungan walaupun kinerja perusahaan merugi. Tidak diragukan lagi, ini adalah kedzoliman dan salah satu bentuk pengambilan harta orang lain dengan cara-cara yang menyelisihi syari'at. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Penghasilan/keuntungan adalah imbalan atas kesiap­an menanggung kerugian." (HR. Ahmad, Abu Da-wud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan dihasankan Syaikh al-Albani)

3.  Tidak heran bila badan fiqih di bawah organisasi OKI, yaitu International Islamic Fiqih Academy dengan tegas menyatakan:
"Tidak boleh menerbitkan saham preferen yang me­miliki konsekuensi memberikan jaminan atas dana investasi yang ditanamkan, atau memberikan keun­tungan yang bersifat tetap, atau mendahulukan pemi­liknya ketika pengembalian investasi atau pembagian deviden." (Sidang Ke-7, Keputusan no: 63/1/7).

Catatan Kaki : Obligasi adalah surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah vang dapat diperjualbelikan. Pengertian lain: surat utang berjangka (waktu) lebih dari satu tahun dan bersuku bunga tertentu, dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan. (Red. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia).

3. Saham Kosong
Saham kosong biasanya diberikan atas kese­pakatan pemegang saham lainnya kepada pihak-pihak yang dianggap atau diharapkan berjasa pada perusahaan. Para penerima saham kosong ini berhak mendapatkan deviden dari keuntun­gan bersih perusahaan. Saham ini memiliki berb­agai perbedaan dari saham biasa:

  • Saham kosong tidak memiliki nilai nominal yang tertulis pada lembar saham, sehingga haknya hanya sebatas mendapatkan deviden.
  • Pemegang saham kosong tidak berhak menghadiri RUPS dan juga tidak memiliki wewenang untuk campur tangan dalam kebijaksanaan dan arah perusahaan.
  • Saham kosong bisa dihapuskan, baik secara keseluruhan atau sebagian saja.

Karena karakter saham kosong seperti ini, ke­banyakan ulama kontemporer melarang penerbi­tan saham kosong dengan beberapa alasan:

¾   Pada-dasarnya saham kosong adalah salah saru bentuk jual beli jasa dimana nominal nilai jualnya harus diketahui, dan tidak dalam hitunganbpersentase dari keuntungan yang tidak menentu jumlahnya. Dengan demikian saham kosongbini tercakup oleh keumuman hadits riwayat Abu Hurairoh Rodhiallohu ‘Anhu berikut:
"Rosululloh عليه وسلم الله صلي melarang jual beli dengan cara me­lempar batu dan yang mengandung ghoror (unsur spekulasi)." (HR. Muslim)

¾ Saham kosong sering kali menjadi ancaman masa depan perusahaan dan merugikan para pemegang saham.

¾    Biasanya saham kosong adalah pintu lebar buat terjadinya praktek manipulasi, suap dan tindakan tercela lainnya.1

Catatan Kaki
1.Suuq al-Aurooq al-Maliyah 320-321, oleh Dr. Khursyid Asyraf Iqbal & al-Ashum wassanadat wa Ahkamua Fil Fiqhil Islami. 173-174, Dr. Ahmad bin Muhammad al-Kholil.



KAPAN ANDA HALAL MENJUAL BELIKAN SAHAM

Setelah kita mengetahui hukum asal penerbit­an dan memperjualbelikan ketiga jenis saham di atas, tidak sepantasnya kita menutup mata dari fakta dan berbagai hal yang erat hubungannya dengan saham.

Para ulama menjelaskan tentang persyaratan jual beli saham adalah sebagai berikut:
Perusahaan penerbit saham adalah perusa­haan yang benar-benar telah beroperasi.
Saham perusahaan semacam ini boleh diper­jualbelikan dengan harga yang disepakati kedua belah pihak. Baik dengan harga jual sama dengan nilai nominal yang tertera pada surat saham atau berbeda.
Adapun saham perusahaan yang sedang di­rintis, sehingga kekayaannya masih dalam wu­jud uang maka sahamnya tidak boleh diperjual­belikan kecuali dengan harga yang sama dengan nilai nominal saham. Kemudian pembayaran hen­daknya dilakukan dengan cara kontan.
Hal ini dikarenakan setiap surat saham perusa­haan jenis ini seutuhnya masih mewakili sejumlah uang modal yang tersimpan dan tidak mewakili aset perusahaan sehingga bila diperjualbelikan lebih mahal atau lebih murah dari nilai nomi­nal saham maka berarti telah terjadi praktek tu­kar menukar mata uang dengan cara yang tidak dibenarkan.
    
      Perusahaan penerbit saham bergerak dalam usaha yang dihalalkan syari'at
Karena sebagai pemilik saham -seberapa pun besarnya- Anda adalah salah satu pemilik perusa­haan tersebut. Dengan demikian, tanggung jawab Anda atas setiap usaha perusahaan. Hal ini ber­dasarkan firman Alloh
"dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran" (QS. al-Maidah [5]:2)
 
   Perusahaan terkait tidak melakukan praktek riba, baik pada pembiayaan, penyimpanan kekayaan atau lainnya
   Bila suaru perusahaan dalam pembiayaan, atau penyimpanan kekayaannya menggunakan konsep riba, maka seseorang tidak dibenarkan membeli saham perusahaan tersebut. Sebagai contoh: Suatu perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi perabot rumah tangga. Untuk membiayai usaha, perusahaannya memun­gut piutang dari bank ribawi yang tentunya de­ngan suku bunga tertentu. Anda tidak dibenarkan membeli saham perusahaan semacam ini. Keten­tuan ini selaras dengan kaidah dalam ilmu fiqih:
"Bila tercampur antara hal yang halal dengan hal yang haram, maka lebih dikuatkan yang haram."

     Penjualan dan pembeliannya dilakukan dengan cara yang dibenarkan dalam syari'at.
Dengan demikian berbagai hukum yang ber­laku pada jual-beli biasa berlaku pula pada jual-beli saham. Misal, Anda tidak dibenarkan menjual kembali saham yang dibeli sebelum sepenuhnya saham tersebut diserah terimakan kepada Anda. Dengan demikian metode jual-beli saham yang ada di masyarakat dan yang dikenal dengan sebutan "one day trading" atau yang serupa adalah metode yang tidak dibenarkan Berikut gambaran singkat tentang metode ini:
Misal, pengusaha (B) membeli sejumlah surat sa­ham dari broker2 (A) dengan pembayaran terhutang, sedangkan surat saham yang telah dibeli tersebut tetap berada di tangan (A) sebagai jami­nan atas pembayaran yang terhutang sehingga (B) belum sepenuhnya menerima surat saham terse­but. Pada penutupan bursa saham di akhir hari, (B) berkewajiban menjual kembali saham tersebut kepada (A).

Pembayaran antara keduanya pada kedua tran­saksi tersebut hanya dilakukan dengan mem­bayar selisih harga jual dari harga beli. Transaksi semacam ini termasuk transaksi riba yang di­haramkan dalam Islam.
"Dari sahabat Ibnu 'Abbas Rodhiallohu ‘Anhuma, ia menuturkan: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda: "Barang siapa yang membeli bahan makanan maka janganlah ia menjualnya kembali hing­ga ia selesai menerimanya." Ibnu 'Abbas berkata: Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu barang hukumnya seperti hukum bahan makanan. Thowus berkata: "Aku bertanya kepada Ibnu 'Abbas: Bagaima­na kok demikian ? Ia menjawab: Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda (sebatas kedok belaka)" (HR. Muttafaqun 'alaih)

Sebagaimana jual beli ini juga dapat termasuk jual beli 'inah yang diharamkan dalam Islam. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
"Bila kalian telah (sibuk dengan) mengikuti ekor-ekor sapi (beternak), ber jual beli dengan cara 'innah dan meninggalkan jihad, niscaya Alloh akan melekatkan ke­hinaan di tengkuk- tengkuk kalian, kemudian kehinaan tidak akan dicabut dari kalian hingga kalian kembali kepada keadaan kalian semula dan bertaubat kepada Alloh." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al Baihaqi dan dinyatakan shohih oleh al-Albani)

Jual beli 'innah ialah Anda menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran ter­hutang. Setelah jual beli ini selesai, Anda kembali membeli barang tersebut dengan pembayaran kontan dan tentunya dengan harga yang lebih murah.

Pendek kata, saham tak ubahnya barang ko­moditi lainnya. Dalam proses jual-belinya tetap harus mengindahkan berbagai hukum dan asas yang telah digariskan dalam Islam.

Catatan Kaki
¾    Al-Mantsur Fi al-Qowa'id oleh az-Zarkasyi 1/50, & al-Asybah wa an Nazhoir oleh Jalaluddin as Suyuthi 105.
¾   Broker adalah pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual-beli atau antara penjual dan pembeli; makelar; pialang (Radaksi, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia). 
               

FATWA BADAN FIQIH

Berikut nukilan fatwa dari Badan Fiqih Islam di bawah Organisasi Robithoh Alam Islami/Liga Muslim Dunia (Muslim World League)

Segala puji hanya milik Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi yang tiada nabi setelahnya, yaitu pemimpin kita sekaligus Nabi kita Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam dan kepa­da keluarga, dan sahabatnya Rodhiallohu ‘anhum

Amma ba'du: Sesungguhnya anggota rapat al-Majma' al-Fiqhi di bawah Robithoh Alam Isla­mi pada rapatnya ke-14 yang diadakan di kota Makkah al-Mukaromah dan dimulai dari hari Sabtu tanggal 20 Sya'ban 1415 H yang berte­patan dengan tanggal 21 Januari 1995 M, telah membahas permasalahan ini (jual-beli saham perusahaan-pen) dan kemudian menghasilkan keputusan berikut:

  1.  Karena hukum dasar dalam perniagaan adalah halal dan mubah, maka mendirikan suatu perusahaan publik yang bertujuan dan bergerak dalam hal yang mubah adalah dibolehkan menurut syari'at.
  2. Tidak diperselisihkan akan keharaman ikut serta menanam saham pada perusahaan-perusahaan yang tujuan utamanya diharam­kan, misalnya bergerak dalam transaksi riba, atau memproduksi barang-barang haram, atau memperdagangkannya.
  3. Seorang muslim tidak boleh membeli saham perusahaan atau badan usaha yang pada se­bagian usahanya menjalankan praktek riba, sedangkan pembelinya mengetahui hal itu.
  4.  Bila ada seseorang yang terlanjur membeli saham suatu perusahaan sedangkan ia tidak mengetahui bahwa perusahaan tersebut menjalankan transaksi riba, lalu di kemudian hari ia mengetahui hal tersebut maka ia wajib untuk keluar dari perusahaan tersebut.
Keharaman membeli saham perusahaan terse­but telah jelas berdasarkan keumuman dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah yang mengha­ramkan riba. Hal ini dikarenakan membeli sa­ham perusahaan yang menjalankan transaksi riba sedangkan pembelinya telah mengetahui akan hal itu, berarti pembeli telah ikut ambil andil dalam transaksi riba.

Yang demikian itu karena saham merupakan bagian dari modal perusahaan sehingga pe­miliknya ikut memiliki sebagian dari aset pe­rusahaan. Oleh karenanya, seluruh harta yang dipiutangkan perusahaan dengan mewajibkan bunga atau harta yang diutang oleh perusa­haan dengan ketentuan membayar bunga, maka pemilik saham telah memiliki bagian dan andil darinya. Hal ini disebabkan orang-orang (pelaksana perusahaan-pen) yang mengutang­kan atau menerima piutang dengan ketentuan membayar bunga, sebenarnya adalah per­wakilan dari pemilik saham, dan mewakilkan seseorang untuk melakukan pekerjaan yang di­haramkan hukumnya tidak boleh.

Semoga sholawat dan salam yang berlimpah senantiasa dikaruniakan kepada Nabi Muham­mad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam keluarga dan sahabatnya. Dan segala puji hanya milik Alloh, Tuhan semesta Alam.1

International Islamic Fiqih Academy, organi­sasi fiqih international di bawah naungan OKI (Organisasi Konferensi Islam), pada sidangnya ke-7, keputusan no: 63 (1/7) juga memfatwakan hal yang sama.

Mungkin Anda berkata: Bila hukum asal mem­perjualbelikan saham adalah halal, mengapa para ulama menambahkan beberapa persyaratan lain agar suatu saham boleh diperdagangkan?

Saudaraku! Tidak perlu heran, karena saham tidak berbeda dari berbagai harta kekayaan lain­nya semisal padi, emas, hewan ternak dan lain­nya. Walaupun berbagai harta ini halal diper­jualbelikan, akan tetapi tidak berarti Anda dapat melakukannya sesuka Anda. Beberapa batasan dan ketentuan harus Anda indahkan agar pernia­gaan Anda selaras dengan syari'at. Karenanya, Anda tidak dibenarkan menukar tambahkan emas dengan emas, apapun alasan Anda.

"Janganlah engkau jual emas ditukar dengan emas melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya, jangan­lah engkau jual perak ditukar dengan perak melainkan sama dengan sama, dan janganlah engkau lebihkan sebagiannya di atas sebagian lainnya. Dan janganlah engkau jual sebagiannya yang diserahkan dengan kon­tan ditukar dengan lainnya yang tidak diserahkan de­ngan kontan." (HR. Bukhori dan Muslim)

Saudaraku! kemewahan dan kemajuan sarana prasarana di tempat memperdagangkan saham dan berbagai surat berharga lainnya, janganlah menjadikan umat Islam silau sehingga melalaikan berbagai ketentuan syari'at dalam perniagaan. Hukum syari'at Islam senantiasa dikaitkan de­ngan inti setiap ucapan dan tindakan, bukan de­ngan penampilan luar dan berbagai hal sekunder lainnya. Wallohu Ta'ala a'lam bi ash-showab.

Semoga sholawat dan salam senantiasa dilim­pahkan kepada Nabi Muhammad Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan sahabatnya. Aamiin.

Notes : Silahkan di klik : CARA MEMBUKA REKENING EFEK

Catatan Kaki
1.     Ensiklopedi Keputusan-keputusan al-Majma’ al Fiqhi al-Islami, yang bermarkas di kota Makkah al Mukarromah, hlm: 297, rapat ke 14, keputusan no: 4.

Assalamu'alikum.. apakah one day trading itu diperbolehkan.. terima kasih.
Jawabannya Silahkan Klik :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar