H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri seorang pemangku
adat dari Dusun Baru merupakan seorang bangsawan yang cukup disegani di alam
Kerinci. Setelah Belanda berhasil menaklukkan
alam Kerinci yang ditandai dengan kekalahan yang diderita oleh para
pejuang dan hulubalang di Pulau Tengah dan peperangan Rakyat Kerinci, secara
resmi perlawanan rakyat berakhir ditandai dengan berakhirnya perlawanan H. Umar
yang selesai tahun 1906, H. Umar mundur dari perlawanan menghadapi penjajah
Belanda atas pertimbangan untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak dari
kalangan rakyat tak berdosa.
Dengan bercokolnya Imperialis Belanda di bumi alam
Kerinci pada akhir 1906 maka berakhir pula Pemerintahan Depati Empat Delapan Helai
Kain yang telah berlangsung selama lebih dari 7 abad yang dimulai dari abad ke
XIII hingga abad ke XX. Tahun 1906 merupakan puncak keberhasilan Belanda dalam
menaklukkan perlawanan para pejuang, sejak saat itu resmilah Belanda menduduki
alam Kerinci.
Pada tanggal 1 Februari 1906 daerah Kerinci di jadikan satu Afdeling, dan
disatukan dengan Keresidenan Jambi, saat itu Residen di jabat oleh O.B. Rofach.
Selanjutnya pada tahun 1916 Kerinci di bagi dua distrik yaitu Onder Distrik
Sanggaran Agung berkedudukan di Sanggaran Agung dan Onder Distrik Semurup
berkedudukan di Semurup. Catatan yang berhasil penulis himpun sebelum tahun
1914, Kepala Distrik Kerinci Indrapura dijabat oleh H. Bakri, seorang tokoh
terkemuka di alam Kerinci. Pada tahun 1914 H. Bakri gugur sebagai syuhada
karena terlibat kontak senjata dengan serdadu Belanda.
Sebelum gugur ditembak penjajah Belanda, H. Bakri pada
pagi harinya dipanggil menghadap Kontler Belanda (Tuan Sakiram) di kantor
Kontler Belanda. H. Bakri dipanggil sehubungan dengan protes dan resolusi yang
disampaikannya kepada pemimpin Belanda yang berkuasa saat itu. Data yang
dihimpun meneyebutkan pada saat H. Bakri menghadap Kontler terjadi perbedaan
pandangan antara pemimpin pemerintahan lokal H. Bakri Depati Simpan Negeri
dengan pihak pemimpin Belanda ( Kontler ). Perdebatan berlangsung memanas dan
seru.
Dari penuturan yang disampaikan cucu H. Bakri dan
beberapa informasi yang disampaikan oleh informan menyebutkan sehari sebelum
Insiden terjadi, H. Bakri mendapat surat panggilan, dan pada malamnya H. Bakri
mengumpulkan Istri dan anak anaknya di kediaman pribadi di simpang jalan Dusun
Baru arah ke Dusun Empih menuju Rawang. H. Bakri sempat meminta izin kepada
salah seorang istrinya asal Sanggaran Agung untuk melakukan jihad fi
sabilillah, awalnya sang istri anak anak dan salah seorang kemenakannnya yang
mulai beranjak dewasa A. Kadir Djamil
tidak mengizinkan, akan tetapi setelah mendapat penjelasan dan sikap H. Bakri
yang bercita cita mati syahid membela tumpah darah, sebagai pemimpin (Kepala
Distrik) ia dikenal kukuh memegang prinsip, akhirnya keluarga mengizinkan. Pada
malam itu H. Bakri beserta keluarga
melakukan shalat dan zikir serta doa bersama.
Pada pagi hari setelah melakukan shalat sunat dan
shalat Subuh H. Bakri dengan memakai pakaian putih putih dengan sorban dikepala
menyandang senapan laras panjang yang telah di isi peluru berjalan kaki dari
kediamannya sepanjang 1 km menuju kantor Kontler. Saat itu kondisi masih sepi, hanya
ada Kontler di dalam ruangan kerja. H. Bakri mengetuk pintu ruangan kerja Kontler, dan pada saat itu tuan
Kontler tengah mempersiapkan peralatan kerja, menyusun arsip dan menata meja
kerja.
Melihat kedatangan H. Bakri, tanpa basa basi Kontler
mengeluarkan kata kata yang tidak bersahabat, keduanya terlibat pertengkaran
mulut yang intinya Belanda menolak tuntutan H. Bakri yang meminta Belanda untuk
meninjau kembali pajak yang terlalu memberatkan rakyat. Walau H. Bakri seorang
Kepala Distrik ia seorang nasionalis itu
tidak tega membiarkan Belanda memungut pajak yang berlebihan dan mempekerjakan
rakyat sebagai Rodi untuk membangun jalan dan kanal di Danau Kerinci.
Merasa terhina dengan kata-kata Kontler yang kasar
& tidak bersahabat, H. Bakri dengan spontan dan gerakan reflek mengarahkan
senapan laras panjang ke arah dada tuan Kontler, dengan sekali letusan peluru
bersarang di dada tuan Kontler, saat itu juga tuan Kontler tewas di terjang
peluru yang di muntahkan oleh senapan laras panjang. Setelah menembak pemimpin
Belanda, H. Bakri dengan tenang meninggalkan kantor kontler yang masih sepi.
Setelah mendengar letusan dari arah kantor Konler,
sejumlah serdadu Belanda langsung memasuki kantor tuan kontler, dan betapa terkejutnya mereka melihat pemimpinnya telah
tewas bersimbah darah, dalam kedaan panik
para serdadu Belanda berhamburan keluar kantor dan mencari tahu siapa
pelaku penembakan, serdadu Belanda mendapat laporan dari salah seorang
opas/mata mata Belanda yang bertemu dengan H. Bakri, mata mata Belanda
itu melihat sosok pria yang baju putih yang dipakai seorang pria
terdapat percikan darah dan tangan pun juga terdapat percikan darah, pria itu
adalah H. Bakri.
Mendapat laporan, para serdadu Belanda berhamburan
mengejar Pihak serdadu Belanda melakukan pengejaran menyeberangi Sungai Bungkal
(Sekarang dari arah jalan jembatan Muradi, Pen) hingga ke arah Dusun Koto
Renah. Pada saat itu pemukiman belum terlalu padat, hanya ada beberapa rumah
penduduk dan gubuk peladang yang berladang di sekitar Dusun Koto Tinggi, dari
arah ketinggian serdadu Belanda melihat ada sosok pria yang tengah berada di
“Pelak/Tanah Munggok“ (sebidang tanah ukuran sekitar 6 x 5 meter tempat petani
istirahat dan shalat) ditengah-tengah sawah.
Dari jarak sekitar 100 – 150 meter dari pinggiran
sawah, Serdadu Belanda melakukan penembakan sporadis dan bertubi tubi kearah H.
Bakri yang saat itu tengah menunaikan shalat. Puluhan warga Dusun Empih dan
Dusun Baru serta keluarga istri H. Bakri berkumpul menyaksikan peristiwa itu dari
jarak jauh melakukan teriakan meminta agar H. Bakri menghindar dari serangan
Belanda.
Saat selesai Shalat Sunat, H. Bakri melihat sejenak
dan mendengar suara panggilan keluarganya, namun H. Bakri hanya membalas dengan
kibasan kain sorban yang mengisyaratkan agar keluarga dan masyarakat menghindar
dari area lokasi serangan, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi korban
dikalangan warga.
Setelah memerintahkan keluarganya untuk menghindarkan
diri, sekitar pukul 12.30 H. Bakri
melaksanakan Shalat Zhuhur. Meski dalam tekanan dan serangan peluru yang
ditembakkan serdadu Belanda dari jarak jauh, dan namun tembakan yang diarahkan
serdadu Belanda pada saat itu tidak mengenai sasaran, H. Bakri kembali
melakukan Shalat Sunat dua rakat, saat mengucapkan salam sebuah peluru menembus
kaki H. Bakri. Tembakan berikutnya sebuah peluru yang ditembakkan serdadu
Belanda bersarang di dadanya, dan sambil mengucapkan Kalimah Tauhid dengan
senyum di bibir ia menghembuskan nafas terakhir sesuai dengan cita-citanya untuk mati Syahid.
Oleh Belanda Jenazah H. Bakri yang bersimbah darah itu
sempat diperlakukan dengan tidak wajar, seorang opas melakukan tindakan yang
keji dan tidak manusiawi terhadap jenazah H. Bakri. Seorang mata-mata dan
penghianat dari penduduk pribumi memperlakukan jasad beliau (yang InSya Alloh
mati Syahid) secara sangat biadab diluar batas prikemanusiaan. Akhirnya, pada
sore hari Jenazah H. Bakri dimakamkan sebagai seorang syuhada tidak jauh dari
jirat nenek Siak Lengin (Ulama besar Penyebar agama Islam di alam Kerinci abad
ke XIII) di Koto Pandan.
Beberapa masyarakat
yang berada tidak jauh dari
kuburan H. Bakri di Koto Pandan pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIB,
melihat peristiwa aneh di atas kuburan
H. Bakri, penduduk melihat ada gumpalan seperti asap memutih naik membubung ke
angkasa yang hilang lenyap ditelan kegelapan malam.
Pada tengah malam menjelang dini hari beberapa
tengganai/keluarga dari istri tua H. Bakri yang berada di Dusun Empih secara
diam-diam melakukan penggalian terhadap makam H. Bakri, beberapa orang
tengganai dan kerabat dekat memindahkan jenazah H. Bakri ke pemakaman keluarga
di Dusun Empih, dan hingga akhir Orde Baru tak satupun masyarakat umum yang
mengetahui adanya pemindahan kuburan H. Bakri, bahkan pihak Belanda dan
masyarakat hingga zaman kemerdekaan masih meyakini makam H. Bakri berada di
Koto Pandan.
Akibat peristiwa itu pihak Belanda melakukan
penangkapan terhadap Istri H. Bakri yang berasal dari Sanggaran Agung beserta
putranya yang masih Balita dan beberapa keluarga dekat ikut ditangkap, di interogasi
dan dilakukan penahanan. Termasuk salah satu kemenakannya H. Abdul Kadir Djamil.
----------------------------------------------------------------------------
Wawancara penulis dengan tokoh sejarahwan dan
budayawan alam Kerinci Iskandar Zakaria, Syofyan dan Husnul cucu H. Bakri
Depati Simpan Negeri, dan Hj. Aida Rosnan, BA (Anggota Tim Peneliti kepahlawan
Panglima Perang Kerinci Depati Parbo) mengemukakan, bahwa ada seorang tokoh
pejuang dan Komandan laskar rakyat di daerah Bangko dan Bungo-Tebo Pangeran H. Umar
dikenal sebagai sosok pejuang yang gigih dan pantang menyerah, karena terdesak
oleh Belanda, Pangeran H. Umar mundur ke Tanah Tumbuh dan melanjutkan perjalanan
ke daerah Pungut Kerinci. Bersama Pangeran Mudo dan beberapa hulubalang dan
sejumlah pemuda dari Siulak disatukan untuk menghadapi serangan dan mengusir
serdadu Belanda dari alam Kerinci.
Kebiasaan para pejuang kelompok Pangeran H. Umar
dan Pangeran Mudo melakukan taktik
perang Gerilya dimalam hari, di daerah Siulak Pasukan Gerilya ini berhasil
mencegat dan menewaskan 9 orang serdadu Belanda, keberanian Pangeran H. Umar
dan pejuang-pejuang yang dipimpinnya mengundang simpatik dari para pejuang pejuang
Kerinci lainnya, dan para pejuang pejuang itu bergabung untuk menambah kekuatan
pejuang ini.
Dilain pihak penjajah Belanda merasa cemas dan gerah
melihat sepak terjang dan perlawanan yang dilakukan kelompok pejuang Pangeran
H. Umar dan Pangeran Mudo. Dengan taktik licik Belanda berkali kali berusaha
untuk menangkap Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo, namun niat busuk Belanda
tidak dapat terwujud, akhirnya Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang intinya
melarang rakyat untuk membantu perjuangan Pangeran H. Umar, bahkan Belanda
memberi hukuman kepada rakyat jika di dusun mereka terjadi perlawanan yang
dilakukan H. Umar, maka Belanda akan menghukum rakyat tersebut dengan
menjatuhkan denda yang sangat memberatkan rakyat.
Ada beberapa dusun yang dijadikan basis perlawanan
pasukan Pangeran H. Umar seperti Dusun Siulak Kecil pernah membayar denda
kepada Belanda berupa 11 Ekor kerbau, di Siulak Mukai di denda 11 ekor kerbau, di Semurup F.1.200, Dusun Sungai
Abu F.15.000, Dusun Jujun F.1.200, dan sejumlah dusun lainnya. Besarnya denda
tergantung dengan keturian yang diderita Belanda saat melakukan peperangan
dengan para pejuang kelompok Pangeran H. Umar, cs.
Melihat penderitaan yang di alami oleh rakyat, seorang
Tokoh Masyarakat di Dusun Baru Sungai Penuh H. Bakri gelar Depati Simpan Negeri
mendatangi sejumlah tokoh masyarakat di daerah Kemendapoan Semurup dan Depati
VII. H. Bakri pada waktu itu mengemukakan kepada para tokoh masyarakat agar
tidak usah lagi melakukan perlawanan terhadap Belanda secara terang terangan, hal
ini mengingat kondisi persenjataan yang dimiliki Belanda yang lengkap dan memiliki serdadu yang banyak, jika terus
dilakukan perlawanan maka rakyatlah tak yang paling menderita.
Nasehat H. Bakri dapat diterima oleh para hulubalang, dan
beberapa utusan hulubalang (tahun 1906) menyampaikan kepada H. Umar yang tengah
melakukan pertempuran dengan Belanda di daerah Pungut. Setelah menerima utusan
hulubalang menyampaikan pesan tokoh tokoh masyarakat, maka Pangeran H. Umar menghentikan perlawanannya dan menghindar ke daerahnya.
Di lain pihak, seluruh daerah Jambi telah di duduki
dan di kuasai Belanda, sedangkan Pangeran H. Umar bersikukuh tetap melanjutkan
perjuangan dan tidak mau menyerah kepada Belanda. Saat melakukan pertempuran
dengan Belanda, seorang putrinya ikut gugur dalam medan pertempuran di Pungut.
Dan akhirnya secara diam diam Pangeran H. Umar menyeberang ke Singapura dan
Malaya.
Pihak Belanda yang tidak tahu kepergian H. Umar terus
memburu H. Umar, dan untuk menutupi jejak H. Umar, maka H. Bakri rakyat dan
hulubalang mengisukan bahwa H. Umar telah tewas dalam pertempuran. Laporan perwakilan
pemerintah Belanda di Kerinci melaporkan ke Jambi bahwa H. Umar telah tewas. Sejak
kepergian H. Umar ke luar negeri maka secara umum pertempuran pejuang Kerinci
dengan Belanda berangsur surut, perlawanan rakyat secara politis tahun 1907
berakhir. Selama 6 tahun para pejuang berjuang hidup mati mempertahankan
dan mengusir Imperialis Belanda.
Sejak alam Kerinci berhasil di duduki Belanda, penderitaan
rakyat alam Kerinci sangat berat, Belanda yang dikenal sebagai bangsa penjajah
dalam aksinya selalu mencekik rakyat dan membuat penderitaan yang
berkepanjangan. Melihat penderitaan rakyat yang semakin berat, H. Bakri seorang
tokoh masyarakat yang disegani yang berasal dari Dusun Baru Sungai Penuh
menyampaikan Resolusi kepada Belanda agar meninjau kembali peraturan dan
pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat Kerinci, tuntutan yang disampaikan
H. Bakri kepada pihak Belanda di tolak oleh pemerintah Belanda yang ada di
Kerinci.
Semula ia pernah melarang rakyat untuk menantang
Belanda karena tidak ingin melihat rakyat menjadi korban karena persenjataan
Belanda jauh lebih lengkap dan modern. Namun karena kebencian terhadap perlakuan
Belanda dan karena melihat penderitaan rakyat, akhirnya ia sendiri yang tampil
dan angkat senjata dan memerangi Belanda. Dan untuk mengenang perjuangan H. Bakri
Pemerintah Kabupaten Kerinci mengabadikan sebuah ruas jalan utama di Kota
Sungai Penuh dengan nama jalan H. Bakri.
Hasnul Basri, Syofyan dan Dasima, tiga orang cucu H. Bakri secara terpisah
kepada penulis mengemukakan, sosok H. Bakri dikenal sebagai tokoh dan pemimpin
yang tegas dan pemberani. Sebagai pemangku adat H. Bakri dikenal sangat disegani
dan dekat dengan masyarakat. Sebagai
satu satunya saudara laki laki dilingkungan keluarganya, dan paman dari banyak
kemenakan, H. Bakri dikenal sebagai sosok pria penyantun, dermawan dan
berwibawa. Sebagai pemangku adat dengan gelar Depati Simpan Negeri beliau
selalu mengedepankan azas musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang dihadapi anak betino dan anak kemenakan.
Tengganai (Keluarga) dari pihak istri H. Bakri yang
berada di Dusun Empih diam-diam menggali kuburan H. Bakri dan memakamkan
kembali Jenazah H. Bakri di Pemakaman Keluarga di Dusun Empih. Dan sampai saat
ini Jenazah H. Bakri dimakamkan dalam satu liang dengan makam Istrinya. Dan hal
ini dimaksudkan agar tidak diketahui oleh pihak Belanda yang saat itu masih
berduka karena kehilangan pemimpinnya.
Sejarawan dan Budayawan Kerinci, Iskandar Zakaria dan
Depati Hasril Meizal menyebutkan; pada
masa penjajahan Belanda di bumi alam Kerinci, penderitaan rakyat alam Kerinci
sungguh sangat berat, disamping memungut pajak yang mencekik rakyat, Penjajah
Belanda diluar batas prikemanusiaan dengan cara paksa memerintahkan rakyat alam
Kerinci untuk melakukan kerja paksa. Beberapa catatan yang berhasil dihimpun
menyebutkan bahwa Belanda dengan kekuasaannya memerintahkan rakyat untuk kerja
paksa dalam membangun sarana transportasi jalan yang menghubungkan Kerinci - Tapan
- Padang dan Kerinci - Jambi, serta memaksa rakyat untuk membangun sejumlah
ruas jalan di alam Kerinci sendiri.
Belanda juga secara paksa memerintahkan rakyat untuk
kerja paksa dalam menggali dan membangun Sungai Banjir Kanal (Sungai Buatan)
sepanjang lebih 2 km untuk menyalurkan
air Danau Kerinci ke Batang Merangin. Belanda memerintahkan seorang tokoh
masyarakat alam Kerinci H. Bakri Depati Simpan Negeri untuk memimpin rakyat
membangun kanal di danau Kerinci, sedangkan Belanda dengan keras dan kejam
mengontrol rakyat bekerja paksa membangun banjir kanal, pekerjaan itu sendiri
dilakukan pada tahun 1908.
Puluhan rakyat Kerinci meninggal dunia dalam kerja paksa
yang diprakarsai Belanda, penderitaan yang dirasakan sangat berat, selain kerja
paksa juga pemungutan pajak yang sangat mencekik dan mencederai nilai nilai
manusia dan kemanusiaan rakyat.
Sebagai Pejuang Kerinci, H. Bakri gelar Depati Simpan
Negeri disamping melakukan strategi diplomasi
dengan para pemimpin Belanda juga harus turun tangan menghadapi Belanda, dengan
tangannya sendiri H. Bakri berhasil menewaskan seorang pemimpin Belanda. Ia pun
harus tewas ditembak Belanda di tengah sawah.
Walau diangkat sebagai kepala Distrik Kerinci dan
Indrapura, secara politis H. Bakri tetap menunjukkan perlawanan terhadap
pemerintah Belanda. Tanpa diketahui pihak Belanda sebelumnya H. Bakri melalui orang orangnya membantu perjuangan
para pejuang di dusun dusun yang melakukan perlawanan paska ditaklukkannya
Pulau Tengah melalui pertempuran seru, heroik dan paling lama dalam sejarah
pertempuran pejuang dengan Belanda antara tahun 1902-1906 di Kerinci.
Paska pertempuran di Pulau Tengah dan mundurnya H. Umar,
otomatis perjuangan rakyat Kerinci terhadap Belanda berangsur surut, Belanda
dengan kekuatan personil yang besar, persenjataan lengkap dan modern menanamkan
kukunya di bumi alam Kerinci. Sejak tahun 1906 hingga tahun 1914 nyaris tidak
terjadi perlawanan berarti, dan baru pada tahun 1914 terjadi insiden antara
Pemerintah Belanda (Kontler) dengan H. Bakri yang secara ksatria menantang
kebijakan pemerintah Belanda yang memungut pajak yang mencekik rakyat.
Memang pada awalnya H. Bakri terpaksa mengikuti perintah
perintah kontler Belanda yang “Keterlaluan” dalam menjajah rakyat Kerinci, puncak
dari kesabarannya H. Bakri dengan semangat perang Jihad Fi Sabilillah rela
mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan prinsip anti penjajahan dan
untuk membela rakyat Kerinci yang di zalimi penjajah Belanda. Kematian H. Bakri
tidak hanya ditangisi oleh keluarganya, seluruh pemangku adat di alam Kerinci, Kepala
Mendapo dan rakyat di alam Kerinci merasa kehilangan atas kematian H. Bakri
sebagai sosok pemimpin berhati Dermawan dan Pembela rakyat Kerinci yang
ditindas oleh Belanda.
“Sekilas tentang H. Bakri, gelar Depati Simpan Negeri“
H. Bakri gelar Depati Simpan Negeri dilahirkan di
wilayah adat Dusun Baru Sungai Penuh, ibunya
bernama Hj. Aisyah dan ayahnya bernama H.A. Latif, kakek dan nenek dari pihak ibunya
bernama H. Deraham dan Timah Jaidah (Catatan
Budhi Vrihaspathi Jauhari Bin Fahmi Kadir). H. Bakri merupakan putra kedua dan
satu satunya anak laki laki dari 6 bersaudara, kakak sulungnya seorang perempuan
bernama Hj. Aminah dikenal dengan panggilan kecil Takawo, ke empat orang saudara
perempuannya adalah Nanti (tidak memiliki ahli waris), Siti Biat, Hj. Rahmah
(Tanyo), dan Siti Pandan.
Masa kecilnya hingga gugur ditembak serdadu Belanda
(1914), dihabiskan di tanah kelahirannya alam Kerinci. Kehidupan masa lalu
keluarga H. Bakri termasuk golongan Bangsawan, hal ini dapat kita lihat dari
ayahanda dan ibundanya serta kedua saudara perempuannya Aminah dan Rahmah
termasuk H. Bakri telah menunaikan ibadah Haji yang saat itu sangat jarang dan
sulit untuk berangkat keluar negeri (Makkah) untuk melaksanakan rukun islam ke
lima, disamping medan jalan yang berat dan jarak tempuh yang memakan waktu
berbulan-bulan, serta keuangan yang cukup ternyata keluarga H. Bakri mampu
memenuhi panggilan Tuhan untuk melaksanakan ibadah Haji.
Dimasa muda H. Bakri dikenal luas sebagai pemuka masyarakat,
ia dipilih oleh anak Jantan dan anak Betino di Lingkungan Datuk Kodrat Putih
untuk memangku jabatan sebagai Pemangku Adat di Dusun Baru dengan Gelar Depati
Simpan Negeri, dan H. Bakri dikenal sebagai sosok agamis. Di usia muda ia telah
menunaikan ibadah haji dan di Makkah ia juga
mempelajari Ilmu Tasauf dan ilmu ilmu ke Tuhanan.
H. Bakri dikaruniai 7 orang putra-putri, masing masing
Bj. Buruk, M. Tenzin, Timban, Hadijah, Maroliyah, Itam dan Hasyim. Pada saat
peristiwa gugurnya H. Bakri semua anak anak dan istri istrinya mengungsi dan
disembunyikan oleh keluarga, bahkan anak tertua dari istri pertama pada saat
itu disembunyikan di atas loteng rumah di Dusun Empih sebagian lain mengungsi
ke Sangaran Agung, Belui dan Sungai Penuh.
Dari 6 Bersaudara H. Bakri memiliki banyak anak
kemenakan, seorang saudara perempuannya
bernama Nanti tidak memiliki ahli waris (anak). Dari sejumlah kemenakan
tercatat Hj. Zainab, Delin, H.M. Sudin, Tafkir, Hj. Taksariah, H.A. Kadir
Djamil, Jakfar, Ahmad, H. Kamaruddin, Arih Piyuk, Abdul Muluk, H.A. Rauf,
Juhariah, Ukumiah, Zahara, Kunci, Sarifah, Ali Sulaiman, Minah dan
Hapasah. Sebagian besar dari keluarga inilah yang saat ini menjadi bagian
dari masyarakat adat yang tergabung dalam komunitas keluarga Datuk Kodrat Putih
wilayah adat Dusun Baru yang merupakan bagian dari wilayah adat Depati Nan
Bertujuh yang merupakan ”Suluh Bindang Alam Kerinci”.
------------------------------------------------------------------------
Peristiwa tewasnya Kontler Belanda (Tuan Sakiram) di
Sungai Penuh dan gugurnya H. Bakri membuat suasana Sungai Penuh dan
alam Kerinci umumnya menjadi gempar, pihak
serdadu Belanda semakin memperketat pengawasan dan melakukan patroli di setiap
dusun dusun untuk mengantisipasi munculnya pergerakan rakyat dalam menentang
Belanda. Pihak Belanda dengan kekuasaan dan kekuataan yang dimiliki
memberlakukan jam malam, beberapa rakyat yang melanggar aturan pemberlakuan jam
malam ditangkap dan dipenjarakan.
Dampak dari kematiaan Kontler, secara sepihak penguasa
Belanda yang ada saat itu melakukan penyitaan terhadap semua harta benda milik
H. Bakri, puluhan rumah sewa dan tanah di kawasan jembatan putih arah ke Koto
Renah (sekarang termasuk Jalan Kapten Muradi), hingga seputaran Simpang Empat
bekas gedung bioskop Karia dan tanah di lokasi seputaran arah Masjid Raya
hingga Koto Tinggi, kecuali harta pusaka turun temurun, dilakukan penyitaan dan
pelelangan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintahan Belanda yang ada di
Kerinci saat itu.
Kisah penembakan Pejabat Belanda di Sungai Penuh yang
dilakukan oleh H. Bakri sempat menggemparkan dan menjadi pembicaraan serius
pemerintahan Belanda di Batavia dan mendapat perhatian dari Ratu Belanda
Wihelmina. Sepanjang sejarah penjajahan Belanda baru pertama kali terjadi
pemimpin Belanda di daerah di tembak mati di dalam ruangan kerja yang dikawal
ketat oleh pihak militer dan serdadu Belanda. Kejadian ini menjadi pukulan
telak bagi pihak Belanda, dilain pihak tekat dan jiwa heroik H. Bakri menjadi
sumber inpirasi bagi para pejuang lainnya untuk melanjutkan perjuangan
membebaskan Kerinci dari cengkraman penjajahan Belanda.
Di bandingkan dengan daerah daerah lain yang dijajah
oleh Belanda, selama 350 tahun, hanya Kerinci yang dijajah dalam waktu singkat.
Alam Kerinci mulai dimasuki Belanda tahun 1902, pertempuran besar dan
perlawanan terjadi pada tahun 1903 hingga 1906. Dengan ketetapan Ratu Belanda tanggal 1 Februari
1906 yang menjadikan sebagai daerah Afdeling hingga tahun 1942 praktis rakyat
Kerinci hanya mengalami masa penjajahan Belanda tidak lebih dari 40 Tahun .
Catatan yang penulis himpun dan hasil wawancara dengan
kerabat dekat H. Bakri mengungkapkan, beberapa waktu setelah gugurnya H. Bakri
sebagai kusuma bangsa, para pemangku adat dan anak jantan - anak betino
dilingkungan Datuk Kodrat Putih Dusun Baru melantik dan mengangkat salah
seorang kemenakan H. Bakri untuk menjadi penerus kepemimpinan adat/pemangku
adat Depati Simpan Negeri. Pilihan secara aklamasi jatuh kepada Abdul Kadir Bin
H. Djamil untuk melanjutkan estafet kepemimpinan adat dilingkungan Datuk Kodrat
Putih Dusun Baru. Abdul Kadir Kadir Djamil diberi tugas dan tanggung jawab
dengan mendapat gelar pusaka pengganti H. Bakri sebagai Depati Simpan Negeri,
pada periode berikutnya Abdul Kadir Djamil menjabat sebagai Mangku Depati dan
pendiri sekaligus pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci.
Pada saat peristiwa gugurnya H. Bakri ditembak
Belanda, A. Kadir Djamil seorang kemenakan H. Bakri masih berusia remaja. Saat
itu A. Kadir Djamil baru berumur 14 Tahun. Pihak Belanda yang marah besar
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Istri, Putra H. Bakri, termasuk A.
Kadir Djamil seorang kemenakan H. Bakri, yang saat itu dinilai Belanda
mengetahui peristiwa H. Bakri menembak Konlter. Beberapa minggu Abdul Kadir
Djamil beserta istri H. Bakri dan beberapa orang keluarga di integrorasi oleh
pihak Belanda. Namun akhirnya dilepas karena tidak terbukti keterlibatan
mereka.
Di kalangan keluarga, Abdul Kadir Djamil dikenal
sebagai sosok pemimpin dan panutan bagi
pemangku pemangku adat dalam wilayah kerapatan adat alam Kerinci. Sejak
zaman Belanda terutama sejak tahun 1914 hingga dekade akhir dan tahun 1970 an,
H. Abdul Kadir Djamil dikenal sebagai
tokoh adat, budayawan, cendekiawan dan ulama di alam Kerinci. H. Abdul Kadir
Djamil pada zamannya dikenal sepakai
pakar hukum adat alam Kerinci dan menguasai sejarah dan kebudayaan alam
Kerinci. Sosok pria kharismatik ini dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para
ilmuawan luar negeri dan dalam negeri yang melakukan penelitian sejarah, adat
dan kebudayaan alam Kerinci. Pada akhir abad ke XX H. Abdul Kadir Djamil dikenal sebagai tokoh yang
mengerti membaca, menulis, menerjemahkan,
dan memahami aksara
naskah Kuno dan aksara Incung daerah Kerinci.
H. Abdul Kadir Djamil lahir di Dusun Baru pada tahun
1901 (Budhi Fahmi Kadir), beliau wafat tahun 1982 dalam usia 82 Tahun. Pada
saat Belanda memasuki alam Kerinci pada tahun 1903 Abdul Kadir Djamil baru
berumur 2 tahun dan pada saat Panglima
Perang Depati Parbo menunaikan Ibadah Haji ke Makkah, Abdul Kadir Djamil yang
ikut dalam rombongan Depati Parbo pada waktu itu masih berusia 26 Tahun. Abdul Kadir
Djamil adalah seorang Pemuda terpelajar yang pada saat itu mendengar langsung
kisah perjuangan Rakyat Kerinci (1903-1906) sumber utama pelaku sejarah; Depati
Parbo.
Saat melaksanakan ibadah Haji di Makkah yang memakan
waktu beberapa Bulan, H. Abdul Kadir Djamil mendalami agama Islam termasuk
memperdalam hokum-hukum syariat Islam. Dan pada zamannya H. Abdul Kadir Djamil
dikenal sebagai pembela (Vokrol) yang menguasai hukum dan bahasa Belanda. Di paruh
baya usianya, ia juga menjadi ulama dan Sekretaris Umum Pengurus Lembaga
Kerapatan Adat Alam Kerinci hingga akhir hayatnya. Pada awal kemerdekaan hingga
awal Orde Lama, beliau pernah menjabat Kepala Kantor Departemen Sosial. H. Abdul
Kadir Djamil gelar Depati Simpan Negeri merupakan sumber rujukan bagi para
pemangku adat di alam Kerinci dan nara sumber bagi para peneliti Eropa di zamannya.
Sejarah Kebudayaan Alam Kerinci
Budhi Vrihaspathi Jauhari Rio Temenggung
Depati Eka Putra, SH. M.PdI
Leo Candra, S.ST.Par, M.Si
aslm.mudah2an ada upaya lagi yang berkesinambungan utk terus menggali dari berbagai sumber dan mengembangkan sejarah kepahlawanan H. Bakri sehingga menjadi sebuah referensi sejarah perjuangan rakyat kerinci.
BalasHapus