Selasa, 29 Juli 2014

KISAH HAJI BAKRI, PEJUANG DARI KOTA SUNGAI PENUH



H. Bakri Gelar Depati Simpan Negeri seorang pemangku adat dari Dusun Baru merupakan seorang bangsawan yang cukup disegani di alam Kerinci. Setelah Belanda berhasil menaklukkan  alam Kerinci yang ditandai dengan kekalahan yang diderita oleh para pejuang dan hulubalang di Pulau Tengah dan peperangan Rakyat Kerinci, secara resmi perlawanan rakyat berakhir ditandai dengan berakhirnya perlawanan H. Umar yang selesai tahun 1906, H. Umar mundur dari perlawanan menghadapi penjajah Belanda atas pertimbangan untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak dari kalangan rakyat tak berdosa.   

Dengan bercokolnya Imperialis Belanda di bumi alam Kerinci pada akhir 1906 maka berakhir pula Pemerintahan Depati Empat Delapan Helai Kain yang telah berlangsung selama lebih dari 7 abad yang dimulai dari abad ke XIII hingga abad ke XX. Tahun 1906 merupakan puncak keberhasilan Belanda dalam menaklukkan perlawanan para pejuang, sejak saat itu resmilah Belanda menduduki alam Kerinci.
                
Pada tanggal 1 Februari 1906  daerah Kerinci di jadikan satu Afdeling, dan disatukan dengan Keresidenan Jambi, saat itu Residen di jabat oleh O.B. Rofach. Selanjutnya pada tahun 1916 Kerinci di bagi dua distrik yaitu Onder Distrik Sanggaran Agung berkedudukan di Sanggaran Agung dan Onder Distrik Semurup berkedudukan di Semurup. Catatan yang berhasil penulis himpun sebelum tahun 1914, Kepala Distrik Kerinci Indrapura dijabat oleh H. Bakri, seorang tokoh terkemuka di alam Kerinci. Pada tahun 1914 H. Bakri gugur sebagai syuhada karena terlibat kontak senjata dengan serdadu Belanda.

                
Sebelum gugur ditembak penjajah Belanda, H. Bakri pada pagi harinya dipanggil menghadap Kontler Belanda (Tuan Sakiram) di kantor Kontler Belanda. H. Bakri dipanggil sehubungan dengan protes dan resolusi yang disampaikannya kepada pemimpin Belanda yang berkuasa saat itu. Data yang dihimpun meneyebutkan pada saat H. Bakri menghadap Kontler terjadi perbedaan pandangan antara pemimpin pemerintahan lokal H. Bakri Depati Simpan Negeri dengan pihak pemimpin Belanda ( Kontler ). Perdebatan berlangsung memanas dan seru.
                
Dari penuturan yang disampaikan cucu H. Bakri dan beberapa informasi yang disampaikan oleh informan menyebutkan sehari sebelum Insiden terjadi, H. Bakri mendapat surat panggilan, dan pada malamnya H. Bakri mengumpulkan Istri dan anak anaknya di kediaman pribadi di simpang jalan Dusun Baru arah ke Dusun Empih menuju Rawang. H. Bakri sempat meminta izin kepada salah seorang istrinya asal Sanggaran Agung untuk melakukan jihad fi sabilillah, awalnya sang istri anak anak dan salah seorang kemenakannnya yang mulai beranjak dewasa A. Kadir Djamil  tidak mengizinkan, akan tetapi setelah mendapat penjelasan dan sikap H. Bakri yang bercita cita mati syahid membela tumpah darah, sebagai pemimpin (Kepala Distrik) ia dikenal kukuh memegang prinsip, akhirnya keluarga mengizinkan. Pada malam itu  H. Bakri beserta keluarga melakukan shalat dan zikir serta doa bersama.
                
Pada pagi hari setelah melakukan shalat sunat dan shalat Subuh H. Bakri dengan memakai pakaian putih putih dengan sorban dikepala menyandang senapan laras panjang yang telah di isi peluru berjalan kaki dari kediamannya sepanjang 1 km menuju kantor Kontler. Saat itu kondisi masih sepi, hanya ada Kontler di dalam ruangan kerja. H. Bakri mengetuk pintu  ruangan kerja Kontler, dan pada saat itu tuan Kontler tengah mempersiapkan peralatan kerja, menyusun arsip dan menata meja kerja.

Melihat kedatangan H. Bakri, tanpa basa basi Kontler mengeluarkan kata kata yang tidak bersahabat, keduanya terlibat pertengkaran mulut yang intinya Belanda menolak tuntutan H. Bakri yang meminta Belanda untuk meninjau kembali pajak yang terlalu memberatkan rakyat. Walau H. Bakri seorang Kepala Distrik ia seorang  nasionalis itu tidak tega membiarkan Belanda memungut pajak yang berlebihan dan mempekerjakan rakyat sebagai Rodi untuk membangun jalan dan kanal di Danau Kerinci.

Merasa terhina dengan kata-kata Kontler yang kasar & tidak bersahabat, H. Bakri dengan spontan dan gerakan reflek mengarahkan senapan laras panjang ke arah dada tuan Kontler, dengan sekali letusan peluru bersarang di dada tuan Kontler, saat itu juga tuan Kontler tewas di terjang peluru yang di muntahkan oleh senapan laras panjang. Setelah menembak pemimpin Belanda, H. Bakri dengan tenang meninggalkan kantor kontler yang masih sepi.
                
Setelah mendengar letusan dari arah kantor Konler, sejumlah serdadu Belanda langsung memasuki kantor tuan kontler, dan betapa  terkejutnya mereka melihat pemimpinnya telah tewas bersimbah darah, dalam kedaan panik  para serdadu Belanda berhamburan keluar kantor dan mencari tahu siapa pelaku penembakan, serdadu Belanda mendapat laporan dari salah seorang opas/mata mata Belanda yang bertemu dengan H. Bakri, mata mata  Belanda  itu melihat sosok pria yang baju putih yang dipakai seorang pria terdapat percikan darah dan tangan pun juga terdapat percikan darah, pria itu adalah H. Bakri.
                
Mendapat laporan, para serdadu Belanda berhamburan mengejar Pihak serdadu Belanda melakukan pengejaran menyeberangi Sungai Bungkal (Sekarang dari arah jalan jembatan Muradi, Pen) hingga ke arah Dusun Koto Renah. Pada saat itu pemukiman belum terlalu padat, hanya ada beberapa rumah penduduk dan gubuk peladang yang berladang di sekitar Dusun Koto Tinggi, dari arah ketinggian serdadu Belanda melihat ada sosok pria yang tengah berada di “Pelak/Tanah Munggok“ (sebidang tanah ukuran sekitar 6 x 5 meter tempat petani istirahat dan shalat) ditengah-tengah sawah.

Dari jarak sekitar 100 – 150 meter dari pinggiran sawah, Serdadu Belanda melakukan penembakan sporadis dan bertubi tubi kearah H. Bakri yang saat itu tengah menunaikan shalat. Puluhan warga Dusun Empih dan Dusun Baru serta keluarga istri H. Bakri berkumpul menyaksikan peristiwa itu dari jarak jauh melakukan teriakan meminta agar H. Bakri menghindar dari serangan Belanda.

Saat selesai Shalat Sunat, H. Bakri melihat sejenak dan mendengar suara panggilan keluarganya, namun H. Bakri hanya membalas dengan kibasan kain sorban yang mengisyaratkan agar keluarga dan masyarakat menghindar dari area lokasi serangan, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi korban dikalangan warga.

Setelah memerintahkan keluarganya untuk menghindarkan diri, sekitar pukul 12.30  H. Bakri melaksanakan Shalat Zhuhur. Meski dalam tekanan dan serangan peluru yang ditembakkan serdadu Belanda dari jarak jauh, dan namun tembakan yang diarahkan serdadu Belanda pada saat itu tidak mengenai sasaran, H. Bakri kembali melakukan Shalat Sunat dua rakat, saat mengucapkan salam sebuah peluru menembus kaki H. Bakri. Tembakan berikutnya sebuah peluru yang ditembakkan serdadu Belanda bersarang di dadanya, dan sambil mengucapkan Kalimah Tauhid dengan senyum di bibir ia menghembuskan nafas terakhir sesuai dengan  cita-citanya untuk mati Syahid.

Oleh Belanda Jenazah H. Bakri yang bersimbah darah itu sempat diperlakukan dengan tidak wajar, seorang opas melakukan tindakan yang keji dan tidak manusiawi terhadap jenazah H. Bakri. Seorang mata-mata dan penghianat dari penduduk pribumi memperlakukan jasad beliau (yang InSya Alloh mati Syahid) secara sangat biadab diluar batas prikemanusiaan. Akhirnya, pada sore hari Jenazah H. Bakri dimakamkan sebagai seorang syuhada tidak jauh dari jirat nenek Siak Lengin (Ulama besar Penyebar agama Islam di alam Kerinci abad ke XIII) di  Koto Pandan.

Beberapa masyarakat  yang  berada tidak jauh dari kuburan H. Bakri di Koto Pandan pada malam hari sekitar pukul 22.00 WIB, melihat peristiwa aneh di atas  kuburan H. Bakri, penduduk melihat ada gumpalan seperti asap memutih naik membubung ke angkasa yang hilang lenyap ditelan kegelapan malam.
                
Pada tengah malam menjelang dini hari beberapa tengganai/keluarga dari istri tua H. Bakri yang berada di Dusun Empih secara diam-diam melakukan penggalian terhadap makam H. Bakri, beberapa orang tengganai dan kerabat dekat memindahkan jenazah H. Bakri ke pemakaman keluarga di Dusun Empih, dan hingga akhir Orde Baru tak satupun masyarakat umum yang mengetahui adanya pemindahan kuburan H. Bakri, bahkan pihak Belanda dan masyarakat hingga zaman kemerdekaan masih meyakini makam H. Bakri berada di Koto Pandan.
                
Akibat peristiwa itu pihak Belanda melakukan penangkapan terhadap Istri H. Bakri yang berasal dari Sanggaran Agung beserta putranya yang masih Balita dan beberapa keluarga dekat ikut ditangkap, di interogasi dan dilakukan penahanan. Termasuk salah satu kemenakannya H. Abdul Kadir Djamil. 
                
----------------------------------------------------------------------------

Wawancara penulis dengan tokoh sejarahwan dan budayawan alam Kerinci Iskandar Zakaria, Syofyan dan Husnul cucu H. Bakri Depati Simpan Negeri, dan Hj. Aida Rosnan, BA (Anggota Tim Peneliti kepahlawan Panglima Perang Kerinci Depati Parbo) mengemukakan, bahwa ada seorang tokoh pejuang dan Komandan laskar rakyat di daerah Bangko dan Bungo-Tebo Pangeran H. Umar dikenal sebagai sosok pejuang yang gigih dan pantang menyerah, karena terdesak oleh Belanda, Pangeran H. Umar mundur ke Tanah Tumbuh dan melanjutkan perjalanan ke daerah Pungut Kerinci. Bersama Pangeran Mudo dan beberapa hulubalang dan sejumlah pemuda dari Siulak disatukan untuk menghadapi serangan dan mengusir serdadu Belanda dari alam Kerinci.

Kebiasaan para pejuang kelompok Pangeran H. Umar dan  Pangeran Mudo melakukan taktik perang Gerilya dimalam hari, di daerah Siulak Pasukan Gerilya ini berhasil mencegat dan menewaskan 9 orang serdadu Belanda, keberanian Pangeran H. Umar dan pejuang-pejuang yang dipimpinnya mengundang simpatik dari para pejuang pejuang Kerinci lainnya, dan para pejuang pejuang itu bergabung untuk menambah kekuatan pejuang ini.
                
Dilain pihak penjajah Belanda merasa cemas dan gerah melihat sepak terjang dan perlawanan yang dilakukan kelompok pejuang Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo. Dengan taktik licik Belanda berkali kali berusaha untuk menangkap Pangeran H. Umar dan Pangeran Mudo, namun niat busuk Belanda tidak dapat terwujud, akhirnya Belanda mengeluarkan sebuah keputusan yang intinya melarang rakyat untuk membantu perjuangan Pangeran H. Umar, bahkan Belanda memberi hukuman kepada rakyat jika di dusun mereka terjadi perlawanan yang dilakukan H. Umar, maka Belanda akan menghukum rakyat tersebut dengan menjatuhkan denda yang sangat memberatkan rakyat.

Ada beberapa dusun yang dijadikan basis perlawanan pasukan Pangeran H. Umar seperti Dusun Siulak Kecil pernah membayar denda kepada Belanda berupa 11 Ekor kerbau, di Siulak Mukai di denda 11  ekor kerbau, di Semurup F.1.200, Dusun Sungai Abu F.15.000, Dusun Jujun F.1.200, dan sejumlah dusun lainnya. Besarnya denda tergantung dengan keturian yang diderita Belanda saat melakukan peperangan dengan para pejuang kelompok Pangeran H. Umar, cs.
                
Melihat penderitaan yang di alami oleh rakyat, seorang Tokoh Masyarakat di Dusun Baru Sungai Penuh H. Bakri gelar Depati Simpan Negeri mendatangi sejumlah tokoh masyarakat di daerah Kemendapoan Semurup dan Depati VII. H. Bakri pada waktu itu mengemukakan kepada para tokoh masyarakat agar tidak usah lagi melakukan perlawanan terhadap Belanda secara terang terangan, hal ini mengingat kondisi persenjataan yang dimiliki Belanda yang lengkap dan  memiliki serdadu yang banyak, jika terus dilakukan perlawanan maka rakyatlah tak yang paling menderita.

Nasehat H. Bakri dapat diterima oleh para hulubalang, dan beberapa utusan hulubalang (tahun 1906) menyampaikan kepada H. Umar yang tengah melakukan pertempuran dengan Belanda di daerah Pungut. Setelah menerima utusan hulubalang menyampaikan pesan tokoh tokoh masyarakat, maka Pangeran H. Umar  menghentikan perlawanannya dan menghindar ke daerahnya.

Di lain pihak, seluruh daerah Jambi telah di duduki dan di kuasai Belanda, sedangkan Pangeran H. Umar bersikukuh tetap melanjutkan perjuangan dan tidak mau menyerah kepada Belanda. Saat melakukan pertempuran dengan Belanda, seorang putrinya ikut gugur dalam medan pertempuran di Pungut. Dan akhirnya secara diam diam Pangeran H. Umar menyeberang ke Singapura dan Malaya.

Pihak Belanda yang tidak tahu kepergian H. Umar terus memburu H. Umar, dan untuk menutupi jejak H. Umar, maka H. Bakri rakyat dan hulubalang mengisukan bahwa H. Umar telah tewas dalam pertempuran. Laporan perwakilan pemerintah Belanda di Kerinci melaporkan ke Jambi bahwa H. Umar telah tewas. Sejak kepergian H. Umar ke luar negeri maka secara umum pertempuran pejuang Kerinci dengan Belanda berangsur surut, perlawanan rakyat secara politis tahun 1907 berakhir. Selama 6 tahun para pejuang berjuang hidup  mati  mempertahankan dan mengusir Imperialis Belanda.

Sejak alam Kerinci berhasil di duduki Belanda, penderitaan rakyat alam Kerinci sangat berat, Belanda yang dikenal sebagai bangsa penjajah dalam aksinya selalu mencekik rakyat dan membuat penderitaan yang berkepanjangan. Melihat penderitaan rakyat yang semakin berat, H. Bakri seorang tokoh masyarakat yang disegani yang berasal dari Dusun Baru Sungai Penuh menyampaikan Resolusi kepada Belanda agar meninjau kembali peraturan dan pungutan pajak yang dibebankan kepada rakyat Kerinci, tuntutan yang disampaikan H. Bakri kepada pihak Belanda di tolak oleh pemerintah Belanda yang ada di Kerinci.
                
Semula ia pernah melarang rakyat untuk menantang Belanda karena tidak ingin melihat rakyat menjadi korban karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap dan modern. Namun karena kebencian terhadap perlakuan Belanda dan karena melihat penderitaan rakyat, akhirnya ia sendiri yang tampil dan angkat senjata dan memerangi Belanda. Dan untuk mengenang perjuangan H. Bakri Pemerintah Kabupaten Kerinci mengabadikan sebuah ruas jalan utama di Kota Sungai Penuh dengan nama jalan H. Bakri.
                
Hasnul Basri, Syofyan dan Dasima,  tiga orang cucu H. Bakri secara terpisah kepada penulis mengemukakan, sosok H. Bakri dikenal sebagai tokoh dan pemimpin yang tegas dan pemberani. Sebagai pemangku adat H. Bakri dikenal sangat disegani dan dekat dengan  masyarakat. Sebagai satu satunya saudara laki laki dilingkungan keluarganya, dan paman dari banyak kemenakan, H. Bakri dikenal sebagai sosok pria penyantun, dermawan dan berwibawa. Sebagai pemangku adat dengan gelar Depati Simpan Negeri beliau selalu mengedepankan azas musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi anak betino dan anak kemenakan.
                
Tengganai (Keluarga) dari pihak istri H. Bakri yang berada di Dusun Empih diam-diam menggali kuburan H. Bakri dan memakamkan kembali Jenazah H. Bakri di Pemakaman Keluarga di Dusun Empih. Dan sampai saat ini Jenazah H. Bakri dimakamkan dalam satu liang dengan makam Istrinya. Dan hal ini dimaksudkan agar tidak diketahui oleh pihak Belanda yang saat itu masih berduka karena kehilangan pemimpinnya.

Sejarawan dan Budayawan Kerinci, Iskandar Zakaria dan Depati Hasril Meizal  menyebutkan; pada masa penjajahan Belanda di bumi alam Kerinci, penderitaan rakyat alam Kerinci sungguh sangat berat, disamping memungut pajak yang mencekik rakyat, Penjajah Belanda diluar batas prikemanusiaan dengan cara paksa memerintahkan rakyat alam Kerinci untuk melakukan kerja paksa. Beberapa catatan yang berhasil dihimpun menyebutkan bahwa Belanda dengan kekuasaannya memerintahkan rakyat untuk kerja paksa dalam membangun sarana transportasi jalan yang menghubungkan Kerinci - Tapan - Padang dan Kerinci - Jambi, serta memaksa rakyat untuk membangun sejumlah ruas jalan di alam Kerinci sendiri.

Belanda juga secara paksa memerintahkan rakyat untuk kerja paksa dalam menggali dan membangun Sungai Banjir Kanal (Sungai Buatan) sepanjang lebih 2 km  untuk menyalurkan air Danau Kerinci ke Batang Merangin. Belanda memerintahkan seorang tokoh masyarakat alam Kerinci H. Bakri Depati Simpan Negeri untuk memimpin rakyat membangun kanal di danau Kerinci, sedangkan Belanda dengan keras dan kejam mengontrol rakyat bekerja paksa membangun banjir kanal, pekerjaan itu sendiri dilakukan pada tahun 1908.

Puluhan rakyat Kerinci meninggal dunia dalam kerja paksa yang diprakarsai Belanda, penderitaan yang dirasakan sangat berat, selain kerja paksa juga pemungutan pajak yang sangat mencekik dan mencederai nilai nilai manusia dan kemanusiaan rakyat.

Sebagai Pejuang Kerinci, H. Bakri gelar Depati Simpan Negeri  disamping melakukan strategi diplomasi dengan para pemimpin Belanda juga harus turun tangan menghadapi Belanda, dengan tangannya sendiri H. Bakri berhasil menewaskan seorang pemimpin Belanda. Ia pun harus tewas ditembak Belanda di tengah sawah.

Walau diangkat sebagai kepala Distrik Kerinci dan Indrapura, secara politis H. Bakri tetap menunjukkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Tanpa diketahui pihak Belanda sebelumnya H. Bakri  melalui orang orangnya membantu perjuangan para pejuang di dusun dusun yang melakukan perlawanan paska ditaklukkannya Pulau Tengah melalui pertempuran seru, heroik dan paling lama dalam sejarah pertempuran pejuang dengan Belanda antara tahun 1902-1906 di Kerinci.
                   
Paska pertempuran di Pulau Tengah dan mundurnya H. Umar, otomatis perjuangan rakyat Kerinci terhadap Belanda berangsur surut, Belanda dengan kekuatan personil yang besar, persenjataan lengkap dan modern menanamkan kukunya di bumi alam Kerinci. Sejak tahun 1906 hingga tahun 1914 nyaris tidak terjadi perlawanan berarti, dan baru pada tahun 1914 terjadi insiden antara Pemerintah Belanda (Kontler) dengan H. Bakri yang secara ksatria menantang kebijakan pemerintah Belanda yang memungut pajak yang mencekik rakyat.

Memang pada awalnya H. Bakri terpaksa mengikuti perintah perintah kontler Belanda yang “Keterlaluan” dalam menjajah rakyat Kerinci, puncak dari kesabarannya H. Bakri dengan semangat perang Jihad Fi Sabilillah rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk mempertahankan prinsip anti penjajahan dan untuk membela rakyat Kerinci yang di zalimi penjajah Belanda. Kematian H. Bakri tidak hanya ditangisi oleh keluarganya, seluruh pemangku adat di alam Kerinci, Kepala Mendapo dan rakyat di alam Kerinci merasa kehilangan atas kematian H. Bakri sebagai sosok pemimpin berhati Dermawan dan Pembela rakyat Kerinci yang ditindas oleh Belanda.

  
“Sekilas tentang H. Bakri, gelar Depati Simpan Negeri“

H. Bakri gelar Depati Simpan Negeri dilahirkan di wilayah  adat  Dusun Baru Sungai  Penuh, ibunya  bernama  Hj. Aisyah dan ayahnya bernama  H.A. Latif, kakek dan nenek dari pihak ibunya bernama  H. Deraham dan Timah Jaidah (Catatan Budhi Vrihaspathi Jauhari Bin Fahmi Kadir). H. Bakri merupakan putra kedua dan satu satunya anak laki laki dari 6 bersaudara, kakak sulungnya seorang perempuan bernama Hj. Aminah dikenal dengan panggilan kecil Takawo, ke empat orang saudara perempuannya adalah Nanti (tidak memiliki ahli waris), Siti Biat, Hj. Rahmah (Tanyo), dan Siti Pandan.
                
Masa kecilnya hingga gugur ditembak serdadu Belanda (1914), dihabiskan di tanah kelahirannya alam Kerinci. Kehidupan masa lalu keluarga H. Bakri termasuk golongan Bangsawan, hal ini dapat kita lihat dari ayahanda dan ibundanya serta kedua saudara perempuannya Aminah dan Rahmah termasuk H. Bakri telah menunaikan ibadah Haji yang saat itu sangat jarang dan sulit untuk berangkat keluar negeri (Makkah) untuk melaksanakan rukun islam ke lima, disamping medan jalan yang berat dan jarak tempuh yang memakan waktu berbulan-bulan, serta keuangan yang cukup ternyata keluarga H. Bakri mampu memenuhi panggilan Tuhan untuk melaksanakan ibadah Haji.
                
Dimasa muda H. Bakri dikenal luas sebagai pemuka masyarakat, ia dipilih oleh anak Jantan dan anak Betino di Lingkungan Datuk Kodrat Putih untuk memangku jabatan sebagai Pemangku Adat di Dusun Baru dengan Gelar Depati Simpan Negeri, dan H. Bakri dikenal sebagai sosok agamis. Di usia muda ia telah menunaikan ibadah haji dan di Makkah ia juga  mempelajari Ilmu Tasauf dan ilmu ilmu ke Tuhanan.
                
H. Bakri dikaruniai 7 orang putra-putri, masing masing Bj. Buruk, M. Tenzin, Timban, Hadijah, Maroliyah, Itam dan Hasyim. Pada saat peristiwa gugurnya H. Bakri semua anak anak dan istri istrinya mengungsi dan disembunyikan oleh keluarga, bahkan anak tertua dari istri pertama pada saat itu disembunyikan di atas loteng rumah di Dusun Empih sebagian lain mengungsi ke Sangaran Agung, Belui  dan  Sungai Penuh.
                
Dari 6 Bersaudara H. Bakri memiliki banyak anak kemenakan, seorang saudara  perempuannya bernama Nanti tidak memiliki ahli waris (anak). Dari sejumlah kemenakan tercatat Hj. Zainab, Delin, H.M. Sudin, Tafkir, Hj. Taksariah, H.A. Kadir Djamil, Jakfar, Ahmad, H. Kamaruddin, Arih Piyuk, Abdul Muluk, H.A. Rauf, Juhariah, Ukumiah, Zahara, Kunci, Sarifah, Ali Sulaiman, Minah  dan  Hapasah. Sebagian besar dari keluarga inilah yang saat ini menjadi bagian dari masyarakat adat yang tergabung dalam komunitas keluarga Datuk Kodrat Putih wilayah adat Dusun Baru yang merupakan bagian dari wilayah adat Depati Nan Bertujuh yang merupakan ”Suluh Bindang Alam Kerinci”.
                
------------------------------------------------------------------------

Peristiwa tewasnya Kontler Belanda (Tuan Sakiram) di Sungai Penuh  dan gugurnya  H. Bakri membuat suasana Sungai Penuh dan alam Kerinci umumnya menjadi gempar, pihak  serdadu Belanda semakin memperketat pengawasan dan melakukan patroli di setiap dusun dusun untuk mengantisipasi munculnya pergerakan rakyat dalam menentang Belanda. Pihak Belanda dengan kekuasaan dan kekuataan yang dimiliki memberlakukan jam malam, beberapa rakyat yang melanggar aturan pemberlakuan jam malam ditangkap dan dipenjarakan.

Dampak dari kematiaan Kontler, secara sepihak penguasa Belanda yang ada saat itu melakukan penyitaan terhadap semua harta benda milik H. Bakri, puluhan rumah sewa dan tanah di kawasan jembatan putih arah ke Koto Renah (sekarang termasuk Jalan Kapten Muradi), hingga seputaran Simpang Empat bekas gedung bioskop Karia dan tanah di lokasi seputaran arah Masjid Raya hingga Koto Tinggi, kecuali harta pusaka turun temurun, dilakukan penyitaan dan pelelangan yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintahan Belanda yang ada di Kerinci saat itu.

Kisah penembakan Pejabat Belanda di Sungai Penuh yang dilakukan oleh H. Bakri sempat menggemparkan dan menjadi pembicaraan serius pemerintahan Belanda di Batavia dan mendapat perhatian dari Ratu Belanda Wihelmina. Sepanjang sejarah penjajahan Belanda baru pertama kali terjadi pemimpin Belanda di daerah di tembak mati di dalam ruangan kerja yang dikawal ketat oleh pihak militer dan serdadu Belanda. Kejadian ini menjadi pukulan telak bagi pihak Belanda, dilain pihak tekat dan jiwa heroik H. Bakri menjadi sumber inpirasi bagi para pejuang lainnya untuk melanjutkan perjuangan membebaskan Kerinci dari cengkraman penjajahan Belanda.
                
Di bandingkan dengan daerah daerah lain yang dijajah oleh Belanda, selama 350 tahun, hanya Kerinci yang dijajah dalam waktu singkat. Alam Kerinci mulai dimasuki Belanda tahun 1902, pertempuran besar dan perlawanan terjadi pada tahun 1903 hingga 1906. Dengan  ketetapan Ratu Belanda tanggal 1 Februari 1906 yang menjadikan sebagai daerah Afdeling hingga tahun 1942 praktis rakyat Kerinci hanya mengalami masa penjajahan Belanda tidak lebih dari 40 Tahun .
                
Catatan yang penulis himpun dan hasil wawancara dengan kerabat dekat H. Bakri mengungkapkan, beberapa waktu setelah gugurnya H. Bakri sebagai kusuma bangsa, para pemangku adat dan anak jantan - anak betino dilingkungan Datuk Kodrat Putih Dusun Baru melantik dan mengangkat salah seorang kemenakan H. Bakri untuk menjadi penerus kepemimpinan adat/pemangku adat Depati Simpan Negeri. Pilihan secara aklamasi jatuh kepada Abdul Kadir Bin H. Djamil untuk melanjutkan estafet kepemimpinan adat dilingkungan Datuk Kodrat Putih Dusun Baru. Abdul Kadir Kadir Djamil diberi tugas dan tanggung jawab dengan mendapat gelar pusaka pengganti H. Bakri sebagai Depati Simpan Negeri, pada periode berikutnya Abdul Kadir Djamil menjabat sebagai Mangku Depati dan pendiri sekaligus pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci.
                
Pada saat peristiwa gugurnya H. Bakri ditembak Belanda, A. Kadir Djamil seorang kemenakan H. Bakri masih berusia remaja. Saat itu A. Kadir Djamil baru berumur 14 Tahun. Pihak Belanda yang marah besar melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Istri, Putra H. Bakri, termasuk A. Kadir Djamil seorang kemenakan H. Bakri, yang saat itu dinilai Belanda mengetahui peristiwa H. Bakri menembak Konlter. Beberapa minggu Abdul Kadir Djamil beserta istri H. Bakri dan beberapa orang keluarga di integrorasi oleh pihak Belanda. Namun akhirnya dilepas karena tidak terbukti keterlibatan mereka.
                
Di kalangan keluarga, Abdul Kadir Djamil dikenal sebagai sosok pemimpin dan panutan bagi  pemangku pemangku adat dalam wilayah kerapatan adat alam Kerinci. Sejak zaman Belanda terutama sejak tahun 1914 hingga dekade akhir dan tahun 1970 an, H. Abdul Kadir Djamil  dikenal sebagai tokoh adat, budayawan, cendekiawan dan ulama di alam Kerinci. H. Abdul Kadir Djamil pada zamannya dikenal  sepakai pakar hukum adat alam Kerinci dan menguasai sejarah dan kebudayaan alam Kerinci. Sosok pria kharismatik ini dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para ilmuawan luar negeri dan dalam negeri yang melakukan penelitian sejarah, adat dan kebudayaan alam Kerinci. Pada akhir abad ke XX  H. Abdul Kadir Djamil dikenal sebagai tokoh yang mengerti membaca, menulis, menerjemahkan,  dan  memahami  aksara  naskah Kuno dan aksara Incung daerah Kerinci.
                                     
H. Abdul Kadir Djamil lahir di Dusun Baru pada tahun 1901 (Budhi Fahmi Kadir), beliau wafat tahun 1982 dalam usia 82 Tahun. Pada saat Belanda memasuki alam Kerinci pada tahun 1903 Abdul Kadir Djamil baru berumur 2 tahun dan pada saat  Panglima Perang Depati Parbo menunaikan Ibadah Haji ke Makkah, Abdul Kadir Djamil yang ikut dalam rombongan Depati Parbo pada waktu itu masih berusia 26 Tahun. Abdul Kadir Djamil adalah seorang Pemuda terpelajar yang pada saat itu mendengar langsung kisah perjuangan Rakyat Kerinci (1903-1906) sumber utama pelaku sejarah; Depati Parbo.
                
Saat melaksanakan ibadah Haji di Makkah yang memakan waktu beberapa Bulan, H. Abdul Kadir Djamil mendalami agama Islam termasuk memperdalam hokum-hukum syariat Islam. Dan pada zamannya H. Abdul Kadir Djamil dikenal sebagai pembela (Vokrol) yang menguasai hukum dan bahasa Belanda. Di paruh baya usianya, ia juga menjadi ulama dan Sekretaris Umum Pengurus Lembaga Kerapatan Adat Alam Kerinci hingga akhir hayatnya. Pada awal kemerdekaan hingga awal Orde Lama, beliau pernah menjabat Kepala Kantor Departemen Sosial. H. Abdul Kadir Djamil gelar Depati Simpan Negeri merupakan sumber rujukan bagi para pemangku adat di alam Kerinci dan nara sumber bagi para peneliti Eropa di zamannya.

Sejarah Kebudayaan Alam Kerinci
Budhi Vrihaspathi Jauhari Rio Temenggung
Depati Eka Putra, SH. M.PdI
Leo Candra, S.ST.Par, M.Si

1 komentar:

  1. aslm.mudah2an ada upaya lagi yang berkesinambungan utk terus menggali dari berbagai sumber dan mengembangkan sejarah kepahlawanan H. Bakri sehingga menjadi sebuah referensi sejarah perjuangan rakyat kerinci.

    BalasHapus