Ketika si anak tercinta
ingin menjalani ujian akhir nasional, kita sering perhatikan bahwa orang tua
atau si anak sendiri bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berpuasa selama
seminggu.” Ketika ada yang mengajukan apply
ke suatu perusahaan, ia pun bernazar, “Jika saya diterima di perusahaan
tersebut, saya bernadzar untuk umroh pada bulan Ramadhan besok.” Inilah di
antara contoh nazar.
Nazar berarti mewajibkan
pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya tidak wajib. Penjelasan nazar
secara detail dapat ditelusuri dalam artikel sederhana berikut ini.
Dalil
yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا
يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang untuk bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak
sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.”
(HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ
النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ
الْبَخِيلِ
“Janganlah bernazar. Karena nazar
tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang
yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ
مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ
يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ
الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat
dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah
takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang
bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk
dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim
no. 1640)
Hadits-hadits di atas
menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas
ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka
nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil
yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا
تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian, hendaklah mereka
menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka
menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ
نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau
apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
(QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji
orang-orang yang menunaikan nazarnya,
إِنَّ الأبْرَارَ
يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا
عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ
يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air
kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum,
yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar
dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS.
Al Insan: 5-7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ
اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk
taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk
bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR.
Bukhari no. 6696)
Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu,
dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ،
ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ
أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ
يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …
“Sebaik-baik kalian adalah
orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan
orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan
generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu
kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak
menunaikan nazar.
Dari ayat dan hadits di
atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam
Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.
Kompromi
Pendapat
Jika kita melihat dua
pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya sunnah. Pendapat
jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal kita ketahui
bersama ada kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan
dan wasilah pada maksiat, maka bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat nazar bisa
jadi makruh, padahal penunaiannya wajib?!
Cara kompromi yang lebih
baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita katakan
bahwa nazar itu ada dua macam:
Pertama
nazar
mu’allaq
untuk memperoleh manfaat. Maksud nazar ini adalah dengan bersyarat, yaitu jika
permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya,
seseorang yang bernazar, “Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka
saya akan bersedekah sebesar Rp.2.000.000.”
Kedua
nazar
muthlaq,
artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang yang bernazar, “Aku
ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar
Rp.2.000.000”.
Kita katakan bahwa
hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernazar dimaksudkan untuk nazar
macam yang pertama. Karena nazar macam pertama sebenarnya dilakukan tidak
ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang yang bernazar mendapatkan
manfaat. Orang yang bernazar dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah
ketika penyakitnya sembuh. Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah
mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit (bakhil).
Perlu juga diketahui
bahwa kenapa dilarang untuk bernazar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits
larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud
ketika seseorang bernazar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi
maksud nazar karena nazar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam
hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam
hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ
شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar sama sekali tidak memajukan
atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari
orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang
dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar adalah larangan irsyad
(alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhol, yaitu
sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan
bernazar. Atau kita bisa bernazar dengan nazar yang tanpa syarat seperti kita
katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernazar dengan mewajibkan
diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya
dalam rangka bersyukur pada Allah.
Macam
Nazar dan Hukumnya
Nazar dilihat dari hal
yang dinazari (al mandzur)
dibagi menjadi dua macam:
Pertama, Nazar Taat.
Seperti seseorang
mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat
sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau
melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar
untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang
bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka
bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal
yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat
nazar.
Hukum Penunaian Nazar Taat
Hukum penunaiannya adalah
wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang
menunjukkan wajibnya adalah,
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ
اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang bernazar untuk
taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no.
6696)
Dalil lainnya, dari Ibnu
‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
– قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ
»
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar
radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu
i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR.
Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)
Jika Nazar Tidak Mampu Ditunaikan
Jika nazar yang diucapkan
mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak
mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti
mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan
kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar
seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar
taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib
ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan
kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
1.
Memberi makan kepada sepuluh orang miskin,
atau
2.
Memberi pakaian kepada sepuluh orang
miskin, atau
3.
Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga
hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. (Lihat Surat
Al Maidah ayat 89)
Kedua, Nazar Yang Bukan Bentuk Taat.
Nazar jenis kedua ini
dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.
(1) Nazar Mubah
Seperti seseorang
bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti
ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib.
Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah
nazar.
(2) Nazar Maksiat
Seperti seseorang
bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.”
Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ
يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk
bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR.
Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh?
Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits,
النذر نذران : فما كان
لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
“Nazar itu ada dua macam. Jika
nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar
maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya
adalah menunaikan kafaroh sumpah.”
(HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As
Silsilah Ash Shohihah no. 479)
Semoga sajian singkat ini
bermanfaat.
Alhamdulillahilladzii bi
ni’matihi tatimmush shoolihaat.
Referensi:
Min’atul Mun’im fii Syarh
Shahih Muslim, Shofiyurrahman Al Mubarakfuri, terbitan Darul Salam, cetakan
pertama, 1420 H, 3/96-96
Shahih Fiqh Sunnah, Abu
Malik Kamal As Sayid Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah, 2/315-331
Disusun di
Panggang-Gunung Kidul, 3 Jumadats Tsaniyah 1432 H (06/05/2011)
Artikel Kajian Bubur Ayam
di Masjid Al Kautsar-Pogung Baru, Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar