Kita sudah tahu bahwa
terlarang shalat di masjid yang ada
kubur. Namun masih ada yang bersihkeras, tetap menganggap
tidak terlarangnya hal itu. Mereka beralasan bahwa masjid Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri (Masjid Nabawi) di dalamnya terdapat kubur Nabi.
Lantas kenapa masalah?
Di antara hadits yang
menunjukkan larangan shalat di kubur adalah:
Dari Abu Martsad Al
Ghonawi, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah shalat menghadap kubur
dan janganlah duduk di atasnya” (HR. Muslim no. 972).
Dari Jundab, ia berkata
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ
قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا
الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ingatlah bahwa orang sebelum
kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai
masjid. Ingatlah, janganlah
jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian”
(HR. Muslim no. 532).
Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Tidak boleh membangun masjid di atas kubur karena seperti itu adalah wasilah
(perantara) menuju kesyirikan dan dapat mengantarkan pada ibadah kepada
penghuni kubur. Dan tidak boleh pula kubur dijadikan tujuan (maksud) untuk
shalat. Perbuatan ini termasuk dalam menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena
alasan menjadikan kubur sebagai masjid ada dalam shalat di sisi kubur. Jika seseorang pergi ke pekuburan
lalu ia shalat di sisi kubur wali –menurut sangkaannya-, maka ini termasuk
menjadikan kubur sebagai masjid. Perbuatan semacam ini terlaknat sebagaimana
laknat yang ditimpakan pada Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kubur nabi
mereka sebagai masjid” (Al Qoulul Mufid, 1: 404).
Cukup, syubhat di atas
dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini:
1.
Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas
kubur. Bahkan yang benar, masjid Nabawi dibangun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup.
2.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di kubur di
masjid sehingga bisa disebut dengan orang sholeh yang di kubur di masjid. Yang
benar, beliau dikubur di rumah beliau.
3. Pelebaran masjid Nabawi hingga sampai pada
rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan rumah ‘Aisyah bukanlah hal yang
disepakati oleh para sahabat radhiyallahu
‘anhum. Perluasan itu terjadi ketika sebagian besar sahabat telah
meninggal dunia dan hanya tersisa sebagian kecil dari mereka. Perluasan
tersebut terjadi sekitar tahun 94 H, di mana hal itu tidak disetujui dan
disepakati oleh para sahabat. Bahkan ada sebagian mereka yang mengingkari
perluasan tersebut, di antaranya adalah seorang tabi’in, yaitu Sa’id bin Al
Musayyib. Beliau sangat tidak ridho dengan hal itu.
4.
Kubur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
di masjid, walaupun sampai dilebarkan. Karena kubur beliau di ruangan
tersendiri, terpisah jelas dari masjid. Masjid Nabawi tidaklah dibangun dengan
kubur beliau. Oleh karena itu, kubur beliau dijaga dan ditutupi dengan tiga
dinding. Dinding tersebut akan memalingkan orang yang shalat di sana menjauh
dari kiblat karena bentuknya segitiga dan tiang yang satu berada di sebelah
utara (arah berlawanan dari kiblat). Hal ini membuat seseorang yang shalat
di sana akan bergeser dari arah kiblat. (Al Qoulul Mufid, 1: 398-399)
Hanya Allah yang memberi
taufik.
Referensi:
Al Qoulul Mufid ‘ala
Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin,
terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1424 H.
Akhukum
fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Twitter @RumayshoCom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar