Bagaimanakah jika makmum
ikut membawa mushaf dalam shalat tarawih atau shalat malam? Mengenai bolehnya
membawa mushaf sendiri dalam shalat telah diterangkan dalam tulisan sebelumnya.
Dalam hal ini, makmum
sebenarnya tidak begitu punya hajat dalam membawa mushaf seperti itu. Makmum
tersebut bisa jadi meninggalkan beberapa hal yang disunnahkan di dalam shalat.
Nantinya ia malah melakukan amalan yang tidak disyari’atkan saat itu.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui seperti itu ada dasarnya.
Hendaklah makmum bersikap khusyu’ dan thuma’ninah, janganlah membawa mushaf
seperti itu. Namun hendaklah ia sedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas
tangan kiri sebagaimana yang dituntunkan dalam shalat. Ketika shalat, tangan
kanan diletakkan di atas tangan kiri, bisa jadi pada telapak tangan kanan
berada di telapak tangan kiri, bisa jadi pada pergelangan tangan, atau pada
lengan. Lalu tangan tersebut diletakkan di dada. Inilah yang lebih tepat dan
lebih utama. Kalau seseorang membawa mushaf dalam shalatnya, itu malah membuat
ia lalai karena mesti disibukkan untuk membulak-balikkan halaman mushaf. Juga ia
pun akan lalai dari mendengarkan imam. Jadi meninggalkan seperti itu menurutku
lebih baik. Hendaklah makmum mendengar dan diam, tak perlulah membawa mushaf
tatkala itu.
Adapun jika memang ingin
membetulkan imam, makmum cukup membetulkan bacaan ayat yang ia tahu. Jika ia
tidak bisa, barangkali ada makmum lainnya yang bisa. Seandainya imam pun keliru
dalam membaca, maka tidaklah berbahaya selama kekeliruan bukan pada surat Al
Fatihah. Yang jadi masalah untuk shalat jika kekeliruannya dalam Al Fatihah saja
karena membaca Al Fatihah adalah bagian dari rukun shalat. Adapun jika sebagian
ayat ditinggalkan dari surat selain Al Fatihah, maka shalatnya tetap sah
seandainya tidak ada yang bisa mengingatkan kala itu.
Andai saja ada satu dari
jamaah membawa mushaf untuk mengingatkan imam, maka tidaklah masalah saat
butuh. Namun kalau semuanya mesti membawa mushaf dalam shalatnya, itulah yang
menyelisihi ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Fatawa Ibnu Baz, 11:
340, dinukil dari Masail
Shalatil Lail, hal. 90-91).
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Masail Shalatil Lail,
Dr. Muhammad bin Fahd bin ‘Abdul ‘Aziz Al Furaih, taqdim: Syaikh Sholeh Al
Fauzan, terbitan Dar Ibnul Jauzi, tahun 1432 H.
—
Disusun
sore hari setelah Ashar di Pesantren Darush Sholihin, 2 Ramadhan 1435 H
Akhukum
fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Twitter @RumayshoCom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar