Bagaimana jika seseorang
shalat menahan kentut, apakah shalatnya sah?
Ada hadits yang bisa
menjawab hal ini, yaitu hadits dari ‘Aisyah.
Dari ‘Aisyah, ia berkata
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ
الأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan telah
dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan akhbatsan (kencing
atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560).
Bagi ulama yang
berpendapat bahwa khusyu’ termasuk dalam kewajiban dalam shalat, berarti maksud
kata “laa” dalam hadits menunjukkan tidak sahnya shalat dengan menahan kencing.
Sedangkan menurut jumhur atau mayoritas ulama bahwa khusyu’ dihukumi sunnah,
bukan wajib. Sehingga “laa” yang dimaksud dalam hadits adalah menafikan
kesempurnaan shalat atau hadits itu diartikan “tidak sempurna shalat dari orang
yang menahan kencing”.
Jika demikian, bagaimana hukum menahan kencing atau buang air saat shalat?
Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa jika cuma merasakan ingin buang air kecil
atau air besar tanpa menahannya, seperti itu masih dibolehkan shalat. Dalam
hadits dikatakan kencing atau buang air yang membuat masalah hanyalah jika
ditahan. Bila tidak dalam keadaan menahan, maka tidak masalah untuk shalat
karena hati masih bisa berkonsentrasi untuk shalat.
Syaikh Ibnu Utsaimin juga
menyatakan bahwa menahan kentut (angin) sama hukumnya seperti menahan kencing
dan buang air besar.
Menurut jumhur
(mayoritas) ulama, menahan kentut dihukumi makruh.
Imam Nawawi berkata,
“Menahan kencing dan buang air besar (termasuk pula kentut, -pen) mengakibatkan
hati seseorang tidak konsen di dalam shalat dan khusyu’nya jadi tidak sempurna.
Menahan buang hajat seperti itu dihukumi makruh menurut mayoritas ulama
Syafi’iyah dan juga ulama lainnya. Jika waktu shalat masih longgar (artinya: masih
ada waktu luas untuk buang hajat, -pen), maka dihukumi makruh. Namun bila waktu
sempit untuk shalat, misalnya jika makan atau bersuci bisa keluar dari waktu
shalat, maka (walau dalam keadaan menahan kencing), tetap shalat di waktunya
dan tidak boleh ditunda.”
Imam Nawawi berkata pula,
“Jika seseorang shalat dalam keadaan menahan kencing padahal masih ada waktu
yang longgar untuk melaksanakan shalat setelah buang hajat, shalat kala itu
dihukumi makruh. Namun, shalat tersebut tetaplah sah menurut kami -ulama
Syafi’i- dan ini yang jadi pendapat jumhur atau mayoritas ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 5:
46)
Semoga bermanfaat, hanya
Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal
Ikrom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan
Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1426 H, 2: 511-517.
Al Minhaj Syarh Shahih
Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At
Turots, cetakan ke-12.
—
Disusun di malam hari, 22
Jumadats Tsaniyyah 1435 H di rumah tercinta Panggang, Gunungkidul
Akhukum
fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Twitter @RumayshoCom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar