Senin, 04 Agustus 2014

SHOLAT WITIR, PENUTUP SHOLAT TARAWIH



Shalat witir adalah penutup shalat malam dan juga menjadi penutup shalat tarawih di bulan Ramadhan. Itu sunnahnya.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari adalah shalat witir.“[1]

Jumlah raka’at shalat witir minimalnya adalah 1 raka’at, maksimalnya adalah 11 raka’at. Jika berwitir dengan tiga raka’at, bisa dilakukan dengan dua raka’at salam, lalu ditambah 1 raka’at salam. Boleh pula shalat tersebut dilakukan dengan tiga raka’at langsung salam. Cara yang kedua dilakukan dengan sekali tasyahud dan bukan dua kali tasyahud. Karena jika dijadikan dua kali tasyahud, maka miriplah dengan shalat maghrib. Padahal shalat sunnah tidak boleh diserupakan dengan shalat wajib.[2]

 

Qunut Witir

Al Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarinya beberapa kalimat yang saya ucapkan dalam shalat witir, yaitu

اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ.  وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ.  وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ.  وَبَارِكْ لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ.  وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ.  فَإِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ.  وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ.  تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.

Allahummahdinii fiiman hadait, wa’aafinii fiiman ‘afait, watawallanii fiiman tawallait, wabaarik lii fiima a’thoit, waqinii syarro maa qadhoit, fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarokta robbanaa wata’aalait.[3] (Ya Allah, berilah aku petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk, dan berilah aku keselamatan di antara orang-orang yang telah Engkau beri keselamatan, uruslah diriku di antara orang-orang yang telah Engkau urus, berkahilah untukku apa yang telah Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan apa yang telah Engkau tetapkan, sesungguhnya Engkau Yang memutuskan dan tidak diputuskan kepadaku, sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau jaga dan Engkau tolong. Engkau Maha Suci dan Maha Tinggi).”[4]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan do’a qunut pada cucunya Hasan, beliau tidak mengatakan padanya: Bacalah do’a qunut tersebut pada sebagian waktu saja. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa membaca qunut witir terus menerus adalah sesuatu yang dibolehkan.”[5] 

[Tulisan di atas dicuplik dari Buku Panduan Ramadhan cetakan keenam tahun 2014 karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang dibagikan gratis kepada kaum muslimin, diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta. Bagi yang ingin mendownload buku tersebut silakan buka di sini]

[1] HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751.
[2] Lihat Syarhul Mumthi’, 4: 16 dan Syarh ‘Umdatul Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 219.
[3] Jika imam membaca doa qunut, yang dipakai adalah kata ganti plural, maka menjadi: Allahummahdinaa fiiman hadait, wa’aafinaa fiiman ‘afait, watawallanaa fiiman tawallait, wabaarik lanaa fiima a’thoit, waqinaa syarro maa qadhoit. Fainnaka taqdhi walaa yuqdho ‘alaik, wainnahu laa yadzillu man waalait, tabaarokta robbanaa wata’aalait.
[4] HR. Abu Daud no. 1425, An Nasai no. 1745, At Tirmidzi no. 464. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[5] Fatawa Nur ‘alad Darb, 2: 1062.

Ibnu Taimiyah berkata setelah menyebutkan pendapat para ulama tentang qunut witir, “Hakekatnya, qunut witir adalah sejenis do’a yang dibolehkan dalam shalat. Siapa yang mau membacanya, silakan. Dan yang enggan pun dipersilakan. Sebagaimana dalam shalat witir, seseorang boleh memilih tiga, lima, atau tujuh raka’at semau dia. Begitu pula ketika ia melakukan witir tiga raka’at, maka ia boleh melaksanakan 2 raka’at salam lalu 1 raka’at salam, atau ia melakukan tiga raka’at sekaligus. Begitu pula dalam hal qunut witir, ia boleh melakukan atau meninggalkannya sesuka dia. Di bulan Ramadhan, jika ia membaca qunut witir pada keseluruhan bulan Ramadhan, maka itu baik. Jika ia berqunut di separuh akhir bulan Ramadhan, itu pun baik. Jika ia tidak berqunut, juga baik.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 271)

11 Sya’ban 1435 H di Pesantren Darush Sholihin
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal
Twitter @RumayshoCom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar